Setelah sekian lama "istirahat", coretan-coretan sederhana kembali menyapa. Banyak yang ingin disampaikan, namun ada kegelisahan tersendiri menyikapi beberapa pertanyaan tentang induk organisasi sepak bola di Tanah Air kita.
Beberapa waktu lalu, dalam sebuah acara jumpa pers, saya didatangi rekan wartawan dari sebuah media online. Pertanyaanya sudah saya duga karena beberapa hari sebelumnya ada kegiatan diskusi membahas kriteria yang pas untuk menjabat Ketua Umum PSSI.
"Bang," begitu ia menyapa saya. "Menurut Abang, seperti apa kriteria yang pas untuk menjadi Ketum PSSI?"
Phuuiiihhh. Pertanyaan yang terkadang saya anggap hanya buang-buang waktu untuk didiskusikan, namun perlu dan asyik dibicarakan. Ya gak?
Dalam beberapa obrolan santai dengan sejumlah pihak, saya sebut 3 kunci untuk menjadi Ketum PSSI... menjadi Ketum yaaa, bukan menjadi Ketum yg baik, sukses, dan bla bla bla.
Pertama, ia harus orang bola. Maksudnya, selain mengerti olahraga sepak bola sang calon Ketum PSSI wajib-kudu-harus paham bagaimana organisasi sepak bola di Tanah Air hingga pengelolaan para pemilik suara... dan hal itu bukan gampang dipahami.
Kedua, sang calon Ketum wajib-kudu-harus punya dana segar tak berkesudahan atau link yang cihui untuk mendapatkan sokongan para raksasa ekonomi di negeri ini dan jaminan jangka panjang. Tanpa kekuatan finansial di belakangnya, untuk saat ini calon Ketum masih akan kesulitan memahami pengelolaan sepak bola di Tanah Air. Paham kan maksudnya?
Ketiga, calon Ketum wajib-kudu-harus orang istana. Maksudnya, sang calon punya pemikiran politik yang sejalan dengan rezim berkuasa. Walau sering disebut kurang memberikan dukungan dana dan perhatian untuk pengelolaan sepak bola di negeri ini (kecuali saat ada tim yang juara), tetap saja pemerintah melalui Kemenpora punya kepentingan menggandeng PSSI.
Kepada rekan wartawan itu, saya sampaikan begini, "Selama PSSI tidak independen dalam mengelola roda organisasi dan kompetisi lewat badan liga yang mereka tunjuk, siapapun calonnya, berapapun bintang di pundaknya, akan sulit bekerja sesuai program yang dijual saat kampanye pemilihan."
"Maksudnya gak independen gimana, bang?" Nah, jadi panjang kan.
Jawaban tegas saya begini, "Adakah jaminan jadwal kompetisi yang disusun dengan susah payah dan dilaporkan ke pihak-pihak terkait dapat terlaksana tanpa perlu menghadapi kemungkinan pembatalan oleh pihak keamanan hanya beberapa hari sebelum kick-off? Bagaimana mungkin klub bisa hidup dengan tenang tanpa ada kepastian jadwal pertandingan?"
Kawan saya, wartawan muda itu pun angguk-angguk kepala. Semoga dia mengerti maksud dan arah pembicaraan saya. Tidak mudah mengelola sepak bola di negeri ini, tidak semudah melontarkan amarah dan caci-maki seolah kitalah pihak paling benar. (Weshley Hutagalung)
Beberapa waktu lalu, dalam sebuah acara jumpa pers, saya didatangi rekan wartawan dari sebuah media online. Pertanyaanya sudah saya duga karena beberapa hari sebelumnya ada kegiatan diskusi membahas kriteria yang pas untuk menjabat Ketua Umum PSSI.
"Bang," begitu ia menyapa saya. "Menurut Abang, seperti apa kriteria yang pas untuk menjadi Ketum PSSI?"
Phuuiiihhh. Pertanyaan yang terkadang saya anggap hanya buang-buang waktu untuk didiskusikan, namun perlu dan asyik dibicarakan. Ya gak?
Dalam beberapa obrolan santai dengan sejumlah pihak, saya sebut 3 kunci untuk menjadi Ketum PSSI... menjadi Ketum yaaa, bukan menjadi Ketum yg baik, sukses, dan bla bla bla.
Pertama, ia harus orang bola. Maksudnya, selain mengerti olahraga sepak bola sang calon Ketum PSSI wajib-kudu-harus paham bagaimana organisasi sepak bola di Tanah Air hingga pengelolaan para pemilik suara... dan hal itu bukan gampang dipahami.
Kedua, sang calon Ketum wajib-kudu-harus punya dana segar tak berkesudahan atau link yang cihui untuk mendapatkan sokongan para raksasa ekonomi di negeri ini dan jaminan jangka panjang. Tanpa kekuatan finansial di belakangnya, untuk saat ini calon Ketum masih akan kesulitan memahami pengelolaan sepak bola di Tanah Air. Paham kan maksudnya?
Ketiga, calon Ketum wajib-kudu-harus orang istana. Maksudnya, sang calon punya pemikiran politik yang sejalan dengan rezim berkuasa. Walau sering disebut kurang memberikan dukungan dana dan perhatian untuk pengelolaan sepak bola di negeri ini (kecuali saat ada tim yang juara), tetap saja pemerintah melalui Kemenpora punya kepentingan menggandeng PSSI.
Kepada rekan wartawan itu, saya sampaikan begini, "Selama PSSI tidak independen dalam mengelola roda organisasi dan kompetisi lewat badan liga yang mereka tunjuk, siapapun calonnya, berapapun bintang di pundaknya, akan sulit bekerja sesuai program yang dijual saat kampanye pemilihan."
"Maksudnya gak independen gimana, bang?" Nah, jadi panjang kan.
Jawaban tegas saya begini, "Adakah jaminan jadwal kompetisi yang disusun dengan susah payah dan dilaporkan ke pihak-pihak terkait dapat terlaksana tanpa perlu menghadapi kemungkinan pembatalan oleh pihak keamanan hanya beberapa hari sebelum kick-off? Bagaimana mungkin klub bisa hidup dengan tenang tanpa ada kepastian jadwal pertandingan?"
Kawan saya, wartawan muda itu pun angguk-angguk kepala. Semoga dia mengerti maksud dan arah pembicaraan saya. Tidak mudah mengelola sepak bola di negeri ini, tidak semudah melontarkan amarah dan caci-maki seolah kitalah pihak paling benar. (Weshley Hutagalung)