Monday, November 30, 2020

Puja-puji dan Caci-Maki di antara Solskjaer-Arteta

Cinta dan benci. Dua kata yang kuat makna, tetapi juga bisa menyakitkan. Sebuah situasi yang dihadapi Ole Gunnar Solskjaer dan Mikel Arteta.

Ada berapa banyak pelatih/manajer di liga elite Eropa yang saat bermain pernah membela tim yang mereka pimpin saat ini? Nama Frank Lampard, Ole Gunnar Solskjaer, dan Mikel Arteta ada di dalamnya.

Solskjaer datang ke Old Trafford menggantikan Jose Mourinho pada Desember 2018. Puja dan puji mengiringi perjalanan awal Ole sebagai caretaker. Rentetan delapan kemenangan bak angin segar bagi fans. Man. United setelah awal gelap di Old Trafford sepeninggal Sir Alex Ferguson. DNA permainan Setan Merah telah kembali.

Maret 2019, setelah memberikan 14 kemenangan dalam 19 pertandingan awal sebagai manajer Man. United, kontrak diberikan pada Ole. Namun, ketika jabatan itu dipermanenkan, angin keraguan malah berembus ke arah mantan striker Man. United ini.

Setelah diberikan jabatan permanen, Man. United di tangan Solskjaer menelan 11 kekalahan dan 10 kali dalam 33 pertandingan.

Muncul tagar #OLEOUT di sebagian fans Setan Merah. Mereka di kelompok ini tidak percaya
Solskjaer punya cukup strategi untuk bersaing dengan manajer seperti Juergen Klopp, Pep Guardiola, Jose Mourinho, hingga Carlo Ancelotti.

Begitu pula Mikel Arteta. Seolah sosok Arsene Wenger bisa dihilangkan dari fans Arsenal yang frustasi melihat timnya ketika Arteta hanya punya 5 kekalahan dalam 22 laga awal sebagai manajer tim.

Masa depan Arsenal sepertinya cerah untuk kembali ke jalur perburuan gelar juara Premier League. Selain DNA sebagai mantan pemain Arsenal, Arteta pernah mengecap ilmu sebagai asisten Pep Guardiola di Manchester City.

Tapi, angin yang sama seperti Solskjaer berembus ke Stadion Emirates. Menjamu Wolverhampton, Mikel Arteta memberikan 5 kekalahan dalam 8 laga terakhir Arsenal. Muncullah #ARTETAOUT di media sosial.

Begitu mudahnya puja dan puji itu berubah menjadi caci-maki. Tak ada lagi kesabaran dalam lintasan pacu sepak bola, termasuk arena bernama Premier League.

Bagi Ole Gunnar Solksjaer dan Mikel Arteta, adalah sebuah penderitaan melihat perubahan sikap fans yang awalnya mendukung, namun kini murung. Sekali lagi, sepak bola kini semakin jauh dari kata "sabar" karena perubahan begitu cepat, persaingan tak menunggu adaptasi yang lama.

Martin Luther King Jr pernah berkata, "Kebencian itu menghancurkan, cinta itu membangun." Di dunia sepak bola, keduanya seperti berjarak sehelai rambut. @Weshley Hutagalung

Sunday, November 29, 2020

Diego Maradona, Pahlawan atau Legenda Sepak Bola?

 Ada sebuah ungkapan dalam sepak bola, "pemain hebat mencermati situasi, tetapi pemain brilian menciptakan situasi tersebut." Di mana posisi Diego Armando Maradona?

Seperti apa kita melepas kepergian Diego Maradona yang kembali menghadap Sang Pencipta pada Rabu, 25 November 2020 dalam usia 60 tahun?

Bagi yang belum pernah menyaksikan Diego Maradona beraksi di puncak kariernya, mungkin kepergian Maradona sama artinya dengan terhanyut dalam berita-berita duka sepak bola dunia.

Tetapi, bila mau melihat rekaman-rekaman pertandingan Maradona, baik di timnas Argentina atau bersama FC Barcelona dan Napoli, melepas kepergian Maradona memang membawa kita kepada pertanyaan: di mana posisi Maradona pada ungkapan di atas?

Ungkapan bombastis legenda sepak bola Inggris, Sir Bobby Robson, bisa mempertegas posisi Maradona. Katanya, "Bahkan, bersama Maradona, Arsenal bisa saja menjadi juara Piala Dunia."

Arsenal, sebuah klub sepak bola di Inggris, menjadi juara Piala Dunia, arena tim nasional terbaik di muka bumi berlaga? Jelas tidak mungkin! Tapi, bersama Maradona seolah semuanya menjadi mungkin. Itulah penggambaran talenta El Diego di dunia sepak bola.

Di masa puncak kariernya, Diego Maradona memang seolah bisa menentukan hasil terbaik untuk timnas Argentina dan Napoli. Tentu sebuah ungkapan yang berlebihan. Tetapi, itulah pengakuan terhadap pesepak bola bertalenta tinggi yang layak disebut legenda.

Bersama Maradona di lapangan, seluruh anggota tim seolah mendapat suntikan kepercayaan diri dan memiliki pusat solusi dalam diri El Diego. Ketika menemui kebuntuan, percayakan saja pada Maradona untuk mencari jalan keluar. Ia akan menciptakan situasi di lapangan bagi kebutuhan timnya. Berapa banyak pesepak bola yang ada pada posisi seperti itu?

"Pahlawan itu datang dan pergi. Tetapi, legenda akan bertahan selamanya." Begitu mantan bintang basket Amerika, Kobe Bryant, pernah berkata semasa hidupnya.

Legenda itu tidak dilahirkan begitu saja, melainkan lewat kumpulan perbuatan yang kerap melampaui akal dan pikiran banyak orang. Selamat jalan, legenda! @Weshley Hutagalung

Sunday, November 15, 2020

Seperti Ibrahimovic, Usia Tak Membelenggu Harapan

"Saya pikir, saya ini seperti anggur. Semakin tua, kualitasnya semakin baik." Adalah Zlatan Ibrahimovic yang mengeluaran pernyataan ini ketika banyak keraguan terhadap kontribusinya seiring usia yang tak lagi muda.

Pada 3 Oktober 2020, Zlatan Ibrahimovic berusia 39 tahun. Bukan usia muda untuk bermain di level elite sepak bola Eropa... apalagi menjadi tumpuan serangan tim. Tapi, bagi Ibra, usia "hanyalah angka".

Ketika Serie A 2020-2021 memasuki pekan ke-7, Zlatan Ibrahimovic mempersembahkan 8 gol bagi AC Milan. Tujuh gol itu dicetak dalam 5 pertandingan. Atas pencapaian Milan memimpin klasemen di pekan ke-7, siapa yang menduga sebelumnya?

Mundur dalam satu dekade terakhir, kekuatan Milan memang seperti hilang ditelan bumi setelah meraih scudetto musim 2010-2011 dan runner-up 2011-2012. Bahkan, di pengujung musim 2014-2015 Milan bertengger di peringkat ke-10.

Di sinilah peran besar Ibrahimovic mengembalikan posisi Milan sebagai tim yang pantas disegani di Italia (bahkan Eropa). Ibra membantu Milan pada pencapaian 24 laga kompetitif tak terkalahkan... sebelum akhirnya dihentikan klub Prancis, Lille, di ajang Liga Europa, 5 November 2020, dengan skor 0-3 di markas sendiri.

Membandingkan usia dan peran Ibra, mari melihat sepak terjang Wayne Rooney. Mantan striker timnas Inggris dan Man. United ini berisia 35 tahun pada 24 Oktober 2020. Rooney tersingkir dari pertarungan elite sepak bola dengan bergabung bersama Derby County, di kompetisi Championship alias Divisi II Liga Inggris.

Masih ingat David Villa? Striker yang pernah membela Valencia dan Barcelona ini sudah pensiun pada 13 November 2019 setelah membela klub Jepang, Vissel Kobe. Kini, ia berusia 38 tahun.

Jelas bukan pekerjaan sederhana bagi pemain di atas usia 35 tahun untuk tetap menjadi andalan timnya. Fokus dan komitmen Ibra pada profesinya sebagai pesepak bola tak bisa dipungkiri berperan membawanya pada posisi sekarang ini. Ia tak mudah mengalah hanya karena usia.

Ada kata-kata bijak soal usia ini, bukan mengarah pada penyangkalan, namun berusaha menjaga kualitas produktivitas. "Anda akan terlihat muda seperti keyakinan Anda, tua seperti keragu-raguan Anda. Anda muda seperti bagaimana kepercayaan diri Anda dan tua layaknya ketakutan Anda."

Tak hanya itu, mari cermati ungkapan berikut ini: "Kita muda seperti harapan yang kita punya. Keputusasaan kita memperlihatkan ketuaan kita." Mari belajar menjaga harapan dari Ibra. @Weshley Hutagalung

Monday, November 2, 2020

Dalam Olahraga, Diam Tak (Selalu) Berarti Emas

Kata orang, diam itu adalah emas. Tetapi, di dunia olahraga diam itu sama dengan kegagalan. Bagaimana mungkin di dalam satu tim sepak bola ada pemain yang tidak mau saling berkomunikasi?

Kisah Karim Benzema dan Vinicius Junior di kubu Real Madrid adalah sebuah pembelajaran bagi kita yang ingin mencapai hasil maksimal bersama rekan setim.

Ketika terkuak rumor Benzema ogah mengoper bola ke Vinicius. Bahkan saat break, ia meminta rekannya yang lain, Ferland Mendy, agar tidak memberikan bola ke Vinicius di laga melawan Borussia Moenchengladbach.

Di pertandingan melawan Moenchengladbach (2-2), Benzema melakukan 47 sentuhan bola. Vinicius Junior sedikit di bawahnya, 46 sentuhan. Namun, hanya 3 kali Benzema memberikan bola ke Vinicius, dan semuanya terjadi di babak I.

Bagaimana mungkin ada 2 pemain dalam tim yang tidak saling percaya dan bergerak seirama demi mencapai tujuan bersama?

Situasi di antara Benzema dan Vinicius memang diberitakan sudah mencair. Keduanya bahu-membahu membawa Real Madrid mengalahkan Huesca 4-1 di ajang La Liga 3 hari setelah kejadian di Gladbach.

Sebagai pelatih Real Madrid, wajar bila Zinedine Zidane dikejar wartawan atas situasi di dalam timnya, apalagi bila ada pemain tidak mau bekerja sama.

Menarik jawaban Zidane yang menegaskan betapa pentingnya komunikasi di antara pemain dan apa yang terjadi di lapangan tetap di lapangan. Tak boleh ada pemain yang mendiamkan masalah, karena di dalam olahraga, diam itu berarti celaka.

Legenda bisbol Amerika, Babe Ruth, punya perumpaan tentang betapa pentingnya komunikasi di antara pemain dalam tim. Tanpa ada komunikasi, tak mungkin terjalin kerja sama dan rasa percaya.

"Bila Anda memiliki kumpulan individu berstatus pemain bintang di dalam tim namun mereka tidak bermain sebagai tim, klub Anda tidak berharga sama sekali. Cara bermain sebuah tim menentukan kesuksesannya."

Bila membaca-baca dari beberapa nasihat, komunikasi di dalam tim artinya semua anggota berhak menyuarakan isi pemikiran dan ide mereka. Bila kita merasa ada anggota tim yang minim kontribusi, sebaiknya kita mencari tahu apa alasan dan penyebab sesungguhnya.

Benarkah tudingan Benzema bahwa Vinicius tidak fokus pada tim dan merusak pola permainan yang disusun demi meraih kemenangan? Bila tidak ada komunikasi di antara mereka, akan sulit bagi Zidane menerapkan strategi yang melibatkan Benzema dan Vinicius. Kalau sudah begini, siapa yang dirugikan? @Weshley Hutagalung

Saturday, October 31, 2020

Gareth Bale Sekarang dan Gareth Bale Dahulu

Selain sebagai pemain sepak bola, apakah kesamaan Gareth Bale, Cristiano Ronaldo, Lionel Messi, dan David Beckham yang terlintas di benak kita?

Empat nama ini hanyalah contoh dari sekian banyak orang yang menjalani perubahan dalam kehidupannya. Terkadang, perubahan itu baru bisa dimaksimalkan untuk kebaikan ketika kita keluar dari comfort zone alias zona nyaman.

Apakah Gareth Bale yang kembali ke Tottenham Hotspur musim 2020-2021 adalah pemain yang sama ketika membela Tottenham pada kurun waktu 2007-2013? Sebuah pertanyaan sederhana, namun membawa kita pada sebuah hukum kepastian, yaitu sesuatu yang pasti dalam hidup ini adalah perubahan.

Dalam sebuah jumpa pers, pelatih Jose Mourinho mengingatkan kita akan perubahan dalam kehidupan. Bila ingin bertahan, harus ada transformasi alias perubahan fungsi.

Saya setuju bahwa tak ada pemain sepak bola di dunia ini yang masih sama dengan 7-10 tahun sebelumnya. Ada yang menjadi lebih baik, ada yang semakin buruk. Kok bisa?
Itulah dampak perubahan yang pasti terjadi. Tergantung kepada kita, mau menjadi seperti apa dan bagaimana ketika perubahan itu (pasti) datang.

Jose Mourinho mengambil contoh Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi serta membandingkan keduanya 7 tahun lalu dan perubahan posisi bermain mereka.

Baik Ronaldo dan Messi menjalani apa yang dimaksud dalam transformasi itu. Keduanya mengubah kualitas permainan dengan tujuan memaksimalkan peran mereka dalam tactical game tim saat itu.

Begitu pula David Beckham. Masih kuat dalam ingatan seperti apa gaya dan peran David Beckham ketika mengenakan jersey Manchester United. Kecepatan dan akurasi operannya menjadi sebuah karakter.

Ketika Beckham pindah ke Real Madrid, usianya 28 tahun. Bukan pekerjaan mudah untuk mempertahankan gaya bermain seperti di Manchester United dan bertarung di kompetisi yang jauh berbeda dari Premier League, Inggris.

Terkenal sebagai winger di Man. United, Beckham bertransformasi dengan bermain lebih ke tengah, termasuk mendampingi Zinedine Zidane dan Luis Figo.

Usia yang bertambah tak bisa dilawan dengan mempertahankan karakter sebagai winger, bukan? Begitu pula Gareth Bale, "si anak hilang" yang pulang kembali ke Tottenham dengan status pemain pinjaman dari Real Madrid.

Jangan berharap akan melihat Bale bermain sadis dengan sayatan-sayatan dan kecepatannya saat membela Tottenham di periode pertama sebelum pindah ke Real Madrid (2013).

Tujuh tahun berlalu dan Gareth Bale kembali ke Spurs tentu tidak seperti orang yang sama. Apakah Bale berhasil mengoptimalkan proses perubahan dan keluar dari zona nyaman ketika pernah menjadi bintang utama Spurs? @Weshley Hutagalung

Monday, October 19, 2020

Sepak Bola Tanpa Penonton, Bisakah Terjadi di Indonesia?

Sepak bola tanpa penggemar tak ada artinya... football without fans is nothing. Familiar dengan ungkapan ini? Bagaimana dengan sepak bola tanpa penonton?

Tentu saat mengucapkan ini, Jock Stein tak pernah berpikir akan ada pandemi dalam jangka panjang yang melanda hampir di semua negara. Pemikiran tersebut dapat diterima dalam situasi normal. Setuju? Bisa ya, bisa tidak.

Jock Stein adalah legenda sepak bola Skotlandia dan terkenal bersama Celtic (1965–1978). Ia tutup usia setelah laga Skotlandia vs Wales pada 10 September 1985. Serangan jantung membuat perjalanan usianya terhenti di angka 62 tahun.

Kembali ke sepak bola tanpa penonton. Bila melihat kompetisi yang saat ini bergulir di Eropa, jelas ucapan Jock Stein tak lagi relevan. Suara penonton lewat pengeras suara diharapkan memberikan atmosir seolah-olah stadion dipenuhi puluhan ribu penonton. Fans masih bisa menikmati dari rumah.

Pasti, ketidakhadiran penonton di stadion sangat dirasakan para pemain. Seolah ada yang tidak lengkap dalam "hidup" mereka di lapangan.

Begitu pula pengelola klub. Kebayang 'kan berapa besar kehilangan pemasukan klub dari penjualan tiket pertandingan? Ketika akhir musim lalu Premier League dilanjutkan tanpa penonton, kabarnya klub-klub kehilangan pemasukan mencapai £ 177 juta atau hampir mencapai 3,4 triliun rupiah.

Bisa membayangkan berapa kerugian klub-klub bila sepanjang musim tak ada tiket yang dijual ke penonton? Ambil contoh Arsenal. Stadion Emirates berkapasitas 60.704 penonton. Pemasukan dari tiket terusan semusim mencapai £ 61,2 juta. Revenue dari tiket per laga sepanjang musim bisa mencapai £ 96,2 juta.

Ketika hendak memulai Premier League 2020-2021, Deloitte yang dikenal sebagai perusahaan konsultasi finansial memperingatkan klub-klub akan kehilangan £ 500 juta (Rp 9,5 triliun) dari yang biasa mereka terima semusim. Menakutkan, tapi tidak menghentikan.

Tentu sepak bola tak (harus) mati. Kompetisi di Eropa, yang biasa kita nikmati, telah berjalan untuk musim 2020-2021 dengan berbagai perubahan dan penyesuaian. Lalu, bagaimana dengan sepak bola di Indonesia?

Nah, ini yang menarik. Izin menggelar liga belum didapat. Bahkan, bola panas sempat dilemparkan ke Presiden RI, Joko Widodo. Heran juga, kenapa semua-semua dilemparkan ke Presiden ya?

Kapolri tidak atau belum memberikan izin sepak bola kita bergulir kembali sesuai keinginan PSSI. Bahkan, liga tanpa penonton demi mengurangi kemungkinan sepak bola menjadi cluster Covid-19, masih dianggap berisiko tinggi. Pasti ada perhitungan tersendiri (classified information) yang dicermati pihak kepolisian.

Seandainya... ya seandainya Kepolisian RI memberikan izin kompetisi di Tanah Air bergulir tahun ini tanpa penonton, apakah klub-klub di Indonesia bisa jalan tanpa penjualan tiket?

Informasi langsung dari pengelola klub di Liga 1 yang bersifat classified information, ada materi soal penonton ini. Ternyata, pemasukan dari penjualan tiket pertandingan jauh dari harapan. Apalagi, kebocoran penjualan tiket masih menjadi momok bagi pengelola klub. Sponsor tetap merupakan nyawa utama pengelolaan klub.

Bukan bermaksud meniadakan peran penonton, tetapi sepak bola Indonesia harus bisa belajar mengosongkan stadion bila memang izin didapat dengan berbagai syarat. Klub wajib berjalan dengan penuh penyesuaian demi menyelamatkan sepak bola Indonesia. Suporter pun harus mampu menahan diri, bila memang mengaku cinta sepak bola dan negara ini. @Weshley Hutagalung

Wednesday, October 14, 2020

TikTok dan Pesepak Bola Muda Indonesia

Katanya, sanjungan dan pujian berlebihan akan merusak si pemberi dan penerimanya. Apalagi tanpa disadari dampaknya bisa mengubah fokus dan komitmen seseorang.

Baru-baru ini, perhatian saya tertarik pada judul berita di Kompas.com. Intinya mewaspadai pengaruh pujian dan perhatian berlebih kepada pemain Indonesia di tim U-19 yang tengah menggelar pemusatan latihan di luar negeri.

Siapa sih yang tak suka melihat kemenangan diberikan tim muda Indonesia, walau itu hanya dalam laga uji coba. Mari kita akui, kita haus akan kemenangan, haus akan prestasi... haus akan gelar juara.

Tapi, dari tulisan di Kompas.com itu, terdapat garis merah yang perlu sama-sama kita pahami. Dari coach Jaino Matos, ada pesan bahwa puja dan puji berlebihan kepada tim asuhan Shin Tae-yong yang tengah berada di Kroasia itu bisa menjadi kerikil dalam perjalanan menuju Piala Dunia U-20 tahun depan.

Apalagi... kemenangan itu masih dalam program latihan, uji coba... penuh coba-coba... bukan menghadapi lawan yang sesungguhnya.

Pesepak bola muda itu gampang terkena star syndrome. Benarkah? Pujian berlebihan memang bak perangkap yang dapat menggagalkan pemain muda berbakat untuk bersinar di level senior. Apalagi pujian dibombardir atas kemenangan dalam laga uji coba. Duh.

Sebagai pelatih, Jaino Matos mengatakan taktik dan strategi itu mudah diajarkan, di mana pun di dunia ini taktik bermain itu dapat dipelajari. Yang membedakan adalah sikap, termasuk menyikapi pujian yang berlebihan.

Dalam beberapa perbincangan dengan sejumlah insan sepak bola, kebiasaan pemain kita dalam latihan mendapat sorotan. Mereka menyebut frekuensi bercanda para pemain sepak bola di Indonesia saat latihan sudah keterlaluan.

"Berapa jam sih waktu dipakai untuk berlatih? Kan gak lama. Tak bisakah mereka benar-benar fokus dan total mengarahkan semua perhatian pada profesi pilihannya?"

Ada yang menyoroti aksi tawa dan canda pemain saat latihan sehari setelah timnya menelan kekalahan. Seolah kekalahan kemarin itu tidak berarti apa-apa.

Ada yang mengkritik kebiasaan para pemain masih membuat content TikTok walau sudah berada di pinggir lapangan dan mengenakan pakaian serta sepatu untuk latihan. Tidakkah cukup waktu di luar latihan dipakai untuk hal lain, termasuk menjadi content creator?

Fokus. Ketika kita kehilangan fokus dan arah tujuan atas sebuah kegiatan, kerap kali waktu dirasa kurang.

Padahal, semua kita punya 24 jam dalam sehari. Pembedanya adalah optimalisasi waktu yang kita miliki serta komitmen akan pilihan profesi. @Weshley Hutagalung

Tuesday, October 13, 2020

Ketika Arsene Wenger Menatap Matahari

Pandanglah matahari, maka engkau akan terlepas dari bayang-bayangmu. Sebuah nasihat bagi kita yang ingin menatap masa depan dan tak terikat oleh masa lalu. Termasuk bagi Arsene Wenger.

Dalam sebuah wawancara dengan BBC Sport, yang dipublikasikan 13 Oktober 2020, Arsene Wenger memberi alasan kenapa ia belum pernah kembali masuk ke Stadion Emirates, markas Arsenal, sejak ia kehilangan pekerjaan sebagai manajer The Gunners pada Mei 2018.

Tidak mudah melupakan stadion yang ia rencanakan dan "bangun" dengan design yang sangat membantu tim meraih prestasi. Selama 22 tahun ia memimpin Arsenal, ia membawa perubahan besar dari karakter tim dan pengelolaan klub. Ia menghadirkan 17 gelar juara bagi Arsenal, termasuk 3 mahkota Premier League (1997–98, 2001–02, dan 2003–04).

Di Stadion Emirates, suasana kamar ganti tim tuan rumah dan tim tamu ternyata tidak sama. Hal kecil saja, kamar ganti tim tuan rumah itu kedap suara dan beralaskan karpet. Sehingga pemain nyaman memakai sepatu bola dari lapangan ke kamar ganti dan sebaliknya.

Hal berbeda terjadi di kamar ganti tim tamu. Paham kan? Itulah salah satu racikan Wenger yang disampaikan pengelola stadion saat saya berkesempatan menjadi tamu Emirates Airline di markas Arsenal itu.

Lalu, kenapa Arsene Wenger tidak mau datang menyaksikan Arsenal bertanding di Stadion Emirates? Apakah Wenger memutus hubungan dengan klub yang "mendepaknya" setelah hubungan mesra selama 22 tahun?

"Saya seperti tipe orang yang mengakhiri hubungan dan tidak melakukan kontak komunikasi dengan anaknya walau masih tetap mencintai mereka," begitu kata Wenger memberi perumpaan hubungannya dengan Arsenal.

Wenger memilih untuk menjaga jarak dengan Arsenal, bukan secara emosi melainkan fisik. Ada penegasan Wenger soal sikapnya ini.

"Penting bagi orang untuk tidak melihat saya hidup dalam bayang-bayang. Seolah Anda masih ingin memberikan pengaruh pada klub dengan cara Anda."

Waktu berlalu melewati kita dan ia selalu meninggalkan bayang-bayang. Pertanyaannya, apakah kita berjalan menatap matahari, seperti Wenger, atau berbalik mengejar bayang-bayang masa lalu? @Weshley Hutagalung

Wednesday, October 7, 2020

Keputusan! Disyukuri Versus Disesali

Keputusan. Setiap kita harus mengambil keputusan dalam menjalani kehidupan. Keputusan yang tepat akan membuat kita hidup dan bisa menerima masa lalu.

Apa yang paling didambakan seorang atlet? Bertanding dan meraih kemenangan. Peluh dan pengorbanan selama latihan akan ditumpahkan pada sebuah momentum spesial, yakni pembuktian di pertandingan.

Adakah pilihan lain? Tentu saja. Setiap kita dihadapkan pada pilihan, termasuk Sergio Romero. Pria Argentina berusia 33 tahun ini berstatus kiper di Manchester United. Hanya, posisinya kini disebut turun menjadi kiper ketiga setelah manajemen memulangkan Dean Henderson dari Sheffield United yang meminjamnya.

Romero bukannya tak laku, terbukti Everton ingin menggaetnya sebagai pesaing bagi Jordan Pickford untuk meningkatkan level permainan keduanya. Tapiii... isunya deal gak jadi karena sang istri, Eliana Guercio, keberatan dengan sejumlah syarat dari Everton. Soal gaji? Hmmm.

Tak heran, manajer gaek, Harry Redknap, mengeluarkan kritikan. Apakah keputusan mencari kesempatan bermain di Everton bagi Romero terhadang gaji "wah" sang kiper di Manchester United yang mencapai 100 ribu pound (Rp 1,9 miliar) per pekan?

"Pemainlah yang harus duduk dengan manajer dan berkata saya ingin bermain... saya tak senang dengan situasi saat ini... saya harus pergi ke klub baru menjadi kiper kedua bahkan pertama... bisakah kalian melepaskan saya?" Begitu kata Redknapp.

Keputusan berada di tangan Romero atau sang istri?

Ada ungkapan bijak tentang keputusan seperti ini, "Bukan melulu tentang membuat keputusan yang tepat, melainkan tentang mengambil pilihan dan menjadikannya tepat."

Adakah Romero berada dalam situasi ini... membiarkan diri menjadi kiper ketiga Man. United, yang notabene sulit mendapatkan jam bermain, namun tetap mendapatkan bayaran aduhai hingga kontraknya selesai Juni 2021? Tak ada lagikah ambisi menjadi nomor satu dan kembali membela tim nasional Argentina?

Seringkali, keputusan terpenting yang harus kita ambil adalah yang tersulit dalam hidup, untuk diri sendiri, masa depan, dan generasi penerus. Apalagi bila keputusan itu diserahkan kepada orang lain yang punya pemikiran dan harapannya sendiri. Bahaya! @Weshley Hutagalung

Monday, September 28, 2020

Bercanda dengan Corona

Kabar buruk datangnya tiba-tiba. Pesan singkat di ponsel mengabarkan kepergian sahabat untuk selamanya. Usianya belum terlalu tua. Namun, tubuhnya tak tahan lagi menghadapi virus Corona atau Covid 19.

Kesedihan saya tentu tak sebanding dengan apa yang dirasakan istri dan empat anaknya yang masih kecil. Para sahabat yang lain pun merasakan kepedihan yang mendalam. Hanya bisa melihat dari jauh saat mengantarkan dia ke tempat peristirahatan terakhir.

Pandemi Corona memang mengkhawatirkan. Dampaknya sudah menyentuh hampir semua sendi kehidupan. Tak terkecuali industri sepak bola. Beberapa negara di dunia memutuskan untuk menghentikan kompetisi. Namun, di sejumlah negara maju, kompetisi liga tetap dijalankan dengan prosedur kesehatan yang sangat ketat.

Penonton dilarang datang ke stadion. Para pemain secara rutin diwajibkan test swab dengan hasil yang tidak ditutup-tutupi. Beberapa pemain yang terdeteksi reaktif, langsung diwajibkan isolasi mandiri. Tak peduli dia pemain bintang atau pemain cadangan.

Ketatnya prosedur kesehatan yang diterapkan membuat pemain sekelas Zlatan Ibrahimovic tak berkutik. Bintang AC Milan ini hanya bisa mengumpat candaan saat dia terdeteksi reaktif Covid 19.

Saya dites negatif kemarin dan positif hari ini. Tidak ada gejala atau apapun. Covid punya keberanian untuk menantang saya. Ide yang buruk.” Demikian seloroh Ibra.

Pun demikian, Ibra tak bisa melawan. Dia harus mematuhi semua protokol kesehatan yang diberlakukan. Selain Ibra, beberapa pemain di Liga Italia juga terindikasi reaktif meski protokal kesehatan sudah diberlakukan ketat.

Seorang kawan di akun sosmednya mengatakan, kompetisi sepak bola harus berjalan. Tentu dengan protokol kesehatan yang ketat. Masak sepak bola kalah sama Pilkada?

Entah apa relevansinya antara sepak bola dengan Pilkada. Yang jelas, Corona sudah merajalela. Sungguh mengherankan jika masih ada orang yang meremehkan atau bercanda dengan virus mematikan yang bernama Corona. #  IG @gatot_widakdo

Sepak Bola Kita, Roda, Poros, dan Penumpang

Pernah membayangkan seperti apa roda berjalan tanpa poros? Tentu roda itu akan berjalan tanpa arah dan oleng untuk kemudian roboh. Bagaimana hidup kita bila tanpa pegangan?

Baru-baru ini, saya mendengar nasihat yang mengingatkan kita akan pentingnya pengendalian dalam hidup. Seperti halnya roda tanpa poros, ia akan berjalan tanpa tujuan. Masak hidup kita seperti itu?

Saya teringat dalam beberapa perbincangan soal sepak bola di negeri ini dan besarnya harapan melihat prestasi lahir dari tim nasional Indonesia. Dengan kekayaan sumber daya manusia, kenapa susah sekali membangun sepak bola berkualitas dan memberikan masyarakat gelar bergengsi?

Tentu komposisi jumlah masyarakat tidak berbanding lurus dengan kepastian membangun budaya sepak bola berprestasi. Kepada para penanya, jawaban saya jelas dan kembali berbentuk pertanyaan, "Di manakah posisi sepak bola di negeri ini?" Pertanyaan yang harus dijawab seluruh pihak terlibat, dari federasi hingga mereka yang memberikan izin keramaian.

Bayangkan sepak bola itu ibarat 2 roda kereta berjalan tanpa poros yang pasti dan diganti sesuka hati oleh sang pengemudi yang silih berganti. Terkadang, ia duduk di belakang kemudi kereta karena terdampar atas situasi, bukan keinginan hati.

Jadi, di mana posisi sepak bola di negeri ini?

Ada sebuah ungkapan bijak seperti ini, "Dengan sedikit bantuan di arah yang tepat, kita dapat membuat sebuah perubahan besar."

Perubahan itu bisa terjadi bila kita memiliki poros yang jelas, kokoh, dan dikendalikan oleh pengemudi yang bukan berstatus penumpang. @Weshley Hutagalung

Friday, September 25, 2020

Tangis Suarez dan Perjalanan Barcelona Kembali Menuju Kejayaan

Perpisahan Luis Suarez dengan klubnya Barcelona dinaungi dengan nuansa  mengharukan. Pemain asal Uruguay ini bahkan tak mampu membendung air matanya. Bagi Suarez, Barcelona adalah rumah yang telah memberikan banyak kenangan indah, yang juga dirasakan anak dan istrinya.

Namun, Barcelona hanyalah rumah singgah yang akan dia tinggalkan dengan segala catatan kejayaannya. Selama enam musim di klub Catalan ini, Suarez sukses merebut empat gelar La Liga, Empat Gelar Copa Del Rey dan satu trofi Liga Champions tahun 2015.

“Banyak teman dan itu yang membuat saya bahagia. Saya ingin mengingat semua momen indah dalam sejarah Barcelona,” ucap Suarez dengan dengan raut wajah yang sedih.

Sebenarnya bukan hanya Suarez yang meninggalkan Camp Nou. Empat pemain lain juga sudah lebih dahulu pamit. Keempat pemain itu, yakni Arthur Melo, Ivan Rakitic, Arturo Vidal dan Nelson Samedo. Barcelona bahkan nyaris ditinggal pemain bintangnya, Lionel Messi. Namun, dengan berbagai pertimbangan Messi mengalah untuk bertahan.

Perginya pemain-pemain ini, tak lepas dari langkah “Revolusi” Barcelona. Setelah kalah memalukan 2-8 dari Bayern Muenchen di perempat final Liga Champions. Banyak orang yakin bahwa era keemasan Barca sudah runtuh.

Langkah pertama, Barcelona menggaet pelatih asal Belanda: Ronald Koeman. Saat dipinang Barcelona, Koeman sudah sesumbar bahwa dia lebih mengutamakan tim daripada kehebatan individu.

Koeman pun menginginkan peremajaan.  Empat pemain sudah direkrut, yakni Miralem Pjanic, Francisco Trincao, Pedri dan Matheus Fernandes. Barca juga memulangkan Coutinho dari Bayern Muenchen.

Koeman paham akan posisinya. Seperti yang pernah diucapkan Edin Hand, pelatih yang pernah menangani timnas Irlandia di tahun 1980-1985, hanya ada dua hal yang pasti dalam hidup ini. Pertama adalah kematian dan yang kedua adalah pemecatan seorang pelatih.

Ronald Koeman tentu akan membutuhkan waktu. Untuk mendapatkan kejayaan, tidak bisa dengan cara instan. Semua akan melalui proses. Perjalanan Barcelona untuk kembali menuju kejayaan dimulai dari posisinya saat ini.

Pendukung Barca kini pun sedang menangis bersama Suarez. Akan tetapi, bukan hal yang tak mungkin jika suatu saat kepedihan ini akan berbalik jadi kegembiraan.#  IG @gatot_widakdo

Berubah dari Diri Sendiri, karena Kesehatan Tak Bisa Ditunda

"Kita tidak dapat mengubah kebiasaan orang lain, namun kita bisa menentukan seperti apa perubahan diri sendiri."

Pandemi Covid-19 ini belum memperlihatkan penurunan, belum menunjukkan suasana bakal segera kembali normal. Banyak aspek kehidupan kita diobok-obok, termasuk sektor olahraga.

Seperti apa sih hidup "new normal" itu? Bila jauh dari kata "tanggung jawab dan disiplin" memang new normal itu seperti slogan-slogan garing makna.

Dalam tulisan kali ini, saya ingin mengutip pesan yang mungkin sudah beredar di mana-mana. Tapi, inilah kunci untuk dapat hidup "normal baru" tanpa mengorbankan masa depan kita bersama. @Weshley Hutagalung

"Mengingatkan kembali"

Di pintu masuk kebun binatang, tertulis tarif: Tiket Rp 50.000,-/orang. Karena beberapa lama tidak ada pengunjung, harga tiket diturunkan menjadi Rp 25.000,-/orang. 

Namun masih tidak ada juga pengunjung yang datang. Akhirnya, tarif tiket kembali diturunkan menjadi Rp 10.000,-/orang.

Aneh, tetap tidak ada pengunjung yang mau masuk! Ada apa ini? Akhirnya ditulislah pengumuman: "MASUK GRATIS". 

Jedeeer... tiba-tiba banyak orang yang berebutan ingin masuk ke kebun binatang tersebut.

Ketika pengunjung di dalam penuh, sang pawang membuka semua pintu kandang binatang buas, seperti :
● Singa
● Harimau
● Macan
● Serigala
● Ular, dsb.

Sontak, pengunjung PANIK!!!

Kemudian, pintu keluar di KUNCI. Lalu, di pintu keluar itu dituliskan begini: "Keluar Bayar Rp 500.000,-"

Kemudian BANYAK orang berebut membayar dengan maksud menyelamatkan diri.

Sahabatku, inilah ironi kehidupan. Ketika ditawarkan HIDUP SEHAT, yakni:
● Pakai masker
● Jaga jarak
● Hindari keramaian
● Cuci tangan pakai sabun
● Makan makanan sehat & bergizi
● Istirahat yang cukup
● Olahraga, dsb

Demi menjaga KESEHATAN sebagai upaya PENCEGAHAN PENYAKIT, banyak orang enggan... bahkan TIDAK MAU.

Tetapi, kalau sudah masuk RUMAH SAKIT, berapapun mahal biayanya PASTI dibayar asal bisa sembuh, sekalipun harus jual ASET dan berUTANG! Ya kan?

Jack Ma pernah mengatakan: "Jika pisang dan uang diletakkan di hadapan seekor monyet, maka monyet akan memilih pisang. Monyet tidak mengerti bahwa uang bisa digunakan untuk membeli banyak pisang."

Demikian pula dalam kenyataan hidup. "Jika uang dan kesehatan diletakkan di hadapan orang, pasti orang akan memilih uang. Karena terlalu banyak orang yang tidak mengerti bahwa kesehatan dapat berguna mendapatkan lebih banyak uang dan kebahagiaan".

APAPUN BISA DITUNDA, KECUALI KESEHATAN.#

Wednesday, September 23, 2020

Bermain Sesuai Aturan

Liga Serie A Italia baru saja berputar. Namun, belum lagi semua tim memainkan laga perdana, sudah ada kontroversial yang muncul. Penyelenggara Serie A memutuskan menghukum AS Roma dengan kekalahan 0-3.

Klub ibu kota ini dianggap melanggar aturan dengan memainkan pemain ilegal saat bertanding melawan tuan rumah Verona yang berkesudahan 0-0. Pemain ilegal yang dimaksud adalah Amadou Diawara.

Diawara sejatinya memang pemain AS Roma. Namun, entah kenapa, pemain yang tahun ini baru memasuki usia 23 tahun, lupa didaftarkan AS Roma menjelang laga melawan Verona. AS Roma pun dihukum kalah 0-3. Hasil 0-0 tidak diperhitungkan lagi.

Untuk klub sekelas AS Roma, kejadian ini sangat memalukan. Apapun dalihnya, peraturan harus tetap ditegakan. Dalam sepak bola semua harus tunduk dengan Law of the game yang telah ditetapkan. Ini berlaku untuk yang di dalam lapangan maupun di luar lapangan.

Di lapangan, sepak bola adalah permainan sederhana.  Hal ini didasari pada 17 undang-undang yang pertama kali disetujui pada 1863 yang telah direvisi dan diperbarui agar sesuai dengan permainan modern. Aturannya sama, apakah Anda bermain di taman lokal atau di final Piala Dunia. 

Pertandingan berlangsung selama 90 menit dan diperebutkan oleh dua tim, masing-masing dengan 11 pemain. Satu pemain di setiap tim harus menjadi penjaga gawang dan pemenangnya adalah mereka yang mencetak gol terbanyak.

Untuk menjaga permainan sesuai dengan aturan, hadirlah yang namanya perangkat pertandingan. Perangkat pertandingan ini harus dihormati.

“Pekerjaan saya bukanlah mengubah permainan, tetapi membuatnya bekerja untuk kepuasan semua orang,” kata Pierluigi Collina. Wasit asal Italia berkepala plontos ini dikenal sangat tegas dalam memimpin pertandingan. Ketegasannya membuat dia sangat disegani oleh pemain dan pelatih.

Di luar lapangan, Law of the Game juga harus dihormati dan dipatuhi. FIFA sebagai otoritas tertinggi sepak bola di dunia membuat statuta yang menjadi kitab. Statuta ini diimplementasikan dan diadposi oleh semua federasi yang menjadi anggotanya. Jadi, segala hal harus mengacu pada statuta.

Kasus klub AS Roma mungkin kelihatan sepele. Namun, aturan harus tetap ditegakan. Akan bahaya kalau hal sepele dibiarkan tanpa penegakan aturan. IG: @gatot_widakdo

Tuesday, September 22, 2020

Lionel Messi Diteropong dari Karakter Pemimpin Ideal

Teman ideal itu seperti apa? Pemimpin ideal itu seperti apa? Apakah Lionel Messi masuk kategori itu untuk rekan setim?

Ada sebuah ungkapan tentang teman ideal, walau bukan sebuah kepastian layaknya teori yang sudah teruji. Begini katanya, "Teman/pemimpin ideal itu harus mengatakan lebih banyak yang dia maksud. Ia harus selalu berarti lebih dari apa yang dikatakannya." Komunikasi dan realisasi.

Komunikasi dan mendorong kerjasama. Inilah salah karakter pemimpin yang baik. A good leader itu fokus pada tim dengan memiliki perencanaan untuk menggerakkan tim ke arah yang sama dengan apa yang ia sampaikan. Menggerakkan... menjaga harapan!

Melihat Messi dengan ban kapten di lengan memang tak bisa pek ketiplek membandingkannya dengan Carles Puyol, salah satu kapten terbaik yang pernah dimiliki FC Barcelona. Atau Diego Maradona di timnas Argentina.

Mantan pelatih Real Madrid dan timnas Spanyol, Vicente del Bosque, memang menilai Messi bukan karakter pemimpin yang ideal bagi sebuah tim. Katanya di Harian El Pais, Messi bukan rekan yang baik bagi seluruh anggota tim. Kata kuncinya "seluruh". Ada perilaku pilih kasih? Kita semua paham cara Messi berteman.

Mungkin yang dimaksud Del Bosque adalah dengan bakat sepak bola istimewa yang dimiliknya, Messi akan menjadi pesepak bola yang ideal bila menjadi pemimpin yang baik bagi timnya... dan yang dimaksud adalah seluruh tim, bukan hanya rekan yang menyenangkannya.

Tidak mudah untuk menjadi sempurna di mata orang lain. Namun, bukan berarti kita tak bisa berusaha menjadi sosok yang ideal bagi orang lain, bukan? @Weshley Hutagalung

Monday, September 21, 2020

Sepak Bola Menolak Perayaan atas Penderitaan Lawan

"Hasil latihan dan kerja keras akan membantu meningkatkan keahlian dan kemampuan seseorang. Tetapi, semua itu nyaris tak bernilai ketika kita tidak memiliki karakter dan sikap hormat."

Respect! Dalam sepak bola, gerakan untuk menghormati pihak lain menjadi sangat penting. Bukan hanya lawan, tetapi juga rekan sendiri, mereka yang bekerja untuk sepak bola, dan tentu saja fans.

Mampukah seluruh stakeholders, mereka yang terlibat dalam seluruh aspek sepak bola, saling mengormati? Itulah harapan kita. Bukankah kita ingin menikmati pertandingan sepak bola sebagai sebuah kegiatan yang saling menghargai?

Menang, imbang, atau tumbang. Itulah hasil pasti dari sepak bola. Dalam mencapainya, dibutuhkan sebuah kesatuan usaha dari elemen tim. Siapa sih yang mau turun bertanding untuk kalah?

Namun, sepak bola juga mengajarkan kita untuk bersiap menghadapi kegagalan... atau kesialan. Seperti yang dihadapi bek Chelsea, Andreas Christensen, saat berhadapan dengan Liverpool di pekan kedua Premier League 2020-2021.

Menerima kartu merah di pengujung babak I, Andreas Christensen bisa menjadi tumbal kekalahan 0-2 Chelsea. Ya, saat ia menerima kartu merah (45+1') akibat melakukan pelanggaran terhadap Sadio Mane skor masih 0-0.

Teriakan tanda bersyukur dari bangku cadangan Liverpool ketika wasit Paul Tierney akhirnya menarik kartu merah setelah memakai bantuan VAR, memperlihatkan di mana posisi Juergen Klopp dalam mengartikan slogan "respect" yang digadang-gadangkan UEFA.

"Apakah kalian gila? Kita tidak akan pernah melakukan hal itu, oke?" Begitu reaksi geram Klopp terhadap respons kubu Liverpool di bangku cadangan, yang kemudian diakui adalah staf tim, bukan pemain, atas kartu merah untuk Christensen.

Bergembira atas petaka orang lain, apalagi kubu berseberangan dengan kita, sepertinya bukan perilaku yang aneh bagi sebagian orang. Di mana makna respect?

Respect, sebuah gerakan sosial yang dikumandangkan UEFA sejak 2008 itu jelas mengajak kita untuk bekerja dengan mengutamakan persatuan, sikap hormat lintas jenis kelamin, ras, agama, dan kemampuan di lapangan. @Weshley Hutagalung


Friday, September 18, 2020

Thiago Alcantara Memilih dan Menikmati Tantangan


Ada nasihat berbunyi, "Hidup adalah tentang menerima tantangan sepanjang perjalanan, memilih untuk terus bergerak maju, serta mampu menikmati perjalanan tersebut."

Tantangan diterima. Begitu cuitan Thiago Alcantara di akun Twitter miliknya setelah ia resmi menjadi pemain Liverpool bernomor punggung 6.

Jumat, 18 September 2020, fans Liverpool menyambut hangat kedatangan gelandang Thiago Alcantara dari Bayern Muenchen. Ada harapan akan perubahan gaya bermain tim asuhan Juergen Klopp yang berhasil menjuarai Premier League 2019-2020.

Di mana Thiago bermain di antara gelandang-gelandang kepercayaan Klopp? Biarlah itu menjadi PR sang manajer. Karena bukan tanpa alasan Klopp mengincar Thiago sejak lama.

Pandangan Klopp mungkin tak jauh berbeda dari Pep Guardiola ketika keluar dari Barcelona dan bersiap menuju Bayern Muenchen untuk bekerja sejak musim 2013-2014..

Ketika Pep Guardiola diminta melatih Bayern Muenchen, dia ngotot ingin mendapatkan Thiago Alcantara dari Barcelona. "Beli Thiago, atau saya tidak akan datang ke Muenchen." Begitu ucapan Pep yang diceritakan Karl-Heinz Rummenigge, bos Muenchen, menyampaikan kepergian Thiago ke Liveprool.

Di Muenchen, Thiago berkembang dari remaja bertalenta tinggi menjadi pemimpin lapangan tengah... pemain kreatif papan atas.

Kepada Rummenigge, Thiago mengaku ingin merasakan tantangan baru dan berbeda setelah membela FC Bayern selama 7 musim. Selama itu, Thiago ikut membantu Muenchen meraih 7 gelar juara Bundesliga, 4 DFB-Pokal, hingga juara Liga Champions 2019-2020.

Keputusan Thiago keluar dari tim sekelas Barcelona saat memasuki periode menguasai Eropa jelas tidak mudah. Tapi, Thiago sadar di lini tengah Barcelona saat itu ada Xavi Hernandez dan Andres Iniesta yang menjadi nyawa permainan tiki-taka. Ia harus berkembang dan mengambil keputusan.

Di Bayern Muenchen, Thiago tumbuh menjadi pemain yang matang serta tetap bisa menikmati perjalanan walau ditinggal "gurunya" Pep Guardiola dan digantikan Carlo Ancelotti, Jupp Heynckess, Niko Kovac, hingga Hans-Dieter Flick.

Thiago membuktikan dia hidup dengan pilihan serta menerima dan menikmati tantangan. @Weshley Hutagalung

Sunday, September 13, 2020

Kekejaman di antara Memphis Depay, Lionel Messi, dan Cristiano Ronaldo

 Salah satu cara tercepat untuk merasakan ketidakbahagiaan adalah membandingkan diri kita dengan orang lain. Jadi, bisakah Anda membayangkan perasaan Memphis Depay ketika dibandingkan dengan Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo?

Berita keinginan Lionel Messi meninggalkan FC Barcelona terus saja berkembang. Memang, Messi masih akan bertahan di Camp Nou musim 2020-2021, namun gerak-gerik manajemen Barcelona mencari pengganti Messi sampai membuat Louis van Gaal memberikan peringatan.

Dari Lautaro Martinez di Internazionale, Sadio Mane dan Mohamed Salah di Barcelona, Kylian Mbappe (PSG), Jadon Sancho (Borussia Dortmund) hingga entah ide siapa muncul nama Memphis Depay yang kini memperkuat Lyon di Liga Prancis.

Memphis Depay adalah penyerang Belanda yang namanya mungkin lebih kita kenal sebagai mantan pemain Manchester United ketimbang klub yang membesarkannya, PSV Eindhoven.

Dua tahun membela Man. United, apakah Depay bisa disebut sukses dengan total mencetak 7 gol dari 53 pertandingan di semua kompetisi? Kalau jawabannya ya, tetap saja sulit membayangkan Barcelona memakai jasa Depay seandainya Messi jadi pergi.

Pria Belanda yang pernah melatih Barcelona 1997-2000 dan 2002-2003, Louis van Gaal, sampai "tega" membandingkan Depay dengan Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo.

Bermaksud memberi nasihat kepada Ronald Koeman, pria Belanda yang kini melatih Barcelona, Van Gaal menegaskan talenta Depay tidak menyamai milik Messi dan Ronaldo. Gak ada bantahan atas pendapat ini.

Dibaca dari pemberitaan Tuttomercatoweb, Van Gaal memuji Depay sebagai pemain bagus, apalagi ketika mendapat keleluasaan bermain alias free role.

Tapi, sim salabim berharap langsung ada pengganti setara Messi dengan segala kontribusi dan puluhan trofi juara, yang telah mengenakan jersey tim utama Barcelona sejak 2004 adalah sebuah kebodohan, bukan?

Sekali lagi, membandingkan diri kita dengan orang lain adalah cara tercepat untuk TIDAK bahagia. Jadi, bisa 'kan membayangkan perasaan Memphis Depay mengetahui perbandingan dirinya dengan Lionel Messi dan juga Cristiano Ronaldo?  @Weshley Hutagalung