Wednesday, November 16, 2022

MIMPI BESAR ANTONY BUKAN DI MAN. UNITED ATAU BRASIL

"Mimpi saya cuma satu, yakni membawa orang tua saya keluar dari Favela. Tak ada rencana lain. Saya akan mewujudkannya atau mati karena mengusahakannya."

Ucapan Antony Matheus dos Santos, pria berusia 22 tahun yang kini membela Brasil di Piala Dunia 2022 tak sama dengan mimpi banyak pemain sepak bola di dunia.

Hal itu disadari betul oleh Antony. Tak muncul ucapan: "juara Piala Dunia" atau "juara Copa America," begitu pula "juara Liga Champions"... dan berbagai gelar juara lainnya. 

Pertanyaan "Apa mimpi terbesar sebagai pemain sepak bola" dijawab Antony dengan melibatkan keluarga, orang tua yang telah melahirkan dan membesarkan dirinya di kawasan Favela, daerah miskin dan disebut pusat kriminalitas Rio de Janeiro.

Tak ada impian lain bagi Antony selain memboyong keluarga keluar dari Favela dan memberi kehidupan yang layak lewat penghasilannya sebagai pemain sepak bola.

Terdaftar sebagai pemain Manchester United, Antony disebut memperoleh gaji mingguan sebesar 200 ribu pound alias 3,7 miliar rupiah. Gaji per tahun mencapai 10,4 juta atau mencapai 193,8 miliar rupiah.

Cinta dan impian telah membawa Antony mengoptimalkan talenta dalam bermain sepak bola. Bayangkan bila Antony membatasi impiannya hanya sebatas lamunan dan angan sambil kongkow-kongkow bersama anak-anak seusianya di Favela. Tak mungkin ia menjadi bagian tim Brasil meraih medali emas sepak bola Olimpiade 2020 yang digelar Jepang pada Juli-Agustus 2021.

Sempat mengalami kesulitan ketika berlatih sepak bola serius bersama akademi Sao Paulo pada usia 10 tahun, mimpi Antony untuk membahagiakan orang tuanya mengatasi segala penat dan letih, serta keraguan pelatih akademi terhadap bakatnya mengolah si kulit bundar.  @Weshley Hutagalung


KAPAK PERANG CRISTIANO RONALDO

Kejujuran dan keterusterangan itu kadang malah bisa membuat kita rentan. Apalagi bila momentum dan tujuannya berbenturan dengan pihak lain atau kepentingan yang lebih besar.

Apa yang dilakukan Cristiano Ronaldo dengan blak-blakan membuka "kotoran" di dapur Manchester United tentu bukan ketidaksengajaan.

Ronaldo paham, ucapannya adalah jalan bagi dirinya menjadi sorotan publik. Keterusterangan Ronaldo membuatnya rentan menjadi sasaran tembak. Gagal membangun strategi bertahan, Ronaldo menjadi musuh besar Setan Merah.

Klub Inggris mana yang mau menampung Ronaldo Januari nanti dan kemudian menjadi sasaran kebencian fans Man. United? Arsenal... Chelsea... Liverpool? 

Ronaldo memasuki Piala Dunia 2022 dengan membawa banyak senjata mengarah ke kepalanya. Permainan buruk di Qatar 2022 seolah hanya mempertegas kenapa Erik ten Hag tak lagi mengandalkan dirinya.

Kejujuran Ronaldo bahwa ia merasa tidak dihargai pelatih sendiri... merasa dikhianati manajemen klub yang memanggilnya pulang, hingga menyebut tak ada perubahan berarti di Man. United sejak ditinggal Sir Alex Ferguson seperti menggali kapak perang.

Klub mana yang mau rahasia dapur diumbar ke publik oleh pegawai yang dibayar mahal dan diharapkan menjadi magnet bagi kehadiran prestasi dan kucuran finansial? 

Mulut sudah dibuka, kumpulan kata pedas dan menyakitkan telah dilontarkan. Lalu, adakah "rumah" bagi Cristiano Ronaldo di Kota Manchester usai Piala Dunia 2022?  @Weshley Hutagalung


Wednesday, July 6, 2022

Rahem Sterling di antara Pilihan, Kesempatan, dan Perubahan

(beIN Sport)
Raheem Sterling (beinsport)

Choice, chance, dan change”. Pilihan, kesempatan, dan perubahan. Ada ungkapan bijak soal 3 C ini dalam setiap keputusan kita. Termasuk yang dilakukan sejumlah pemain sepak bola dunia.

Nama Rahem Sterling yang selama ini identik dengan Manchester City era Pep Guardiola walau kepindahannya dari Liverpool terjadi di era Manuel Pellegrini. 

Ia pindah dari Kota Liverpool ke Kota Manchester pada musim panas 2015. Ada yang menyebut kepindahan dengan biaya transfer sebesar 49 juta pound itu menjadikan Sterling pesepak bola Inggris termahal.

Tujuh musim bersama Man. City, Sterling punya catatan 131 gol dalam 339 pertandingan semua kompetisi. Empat gelar juara Premier League digenggam, walau masih belum kesampaian mengangkat trofi Liga Champions.

Dari Barcelona, Real Madrid, hingga Bayern Muenchen sebenarnya disebut tertarik mendatangkan Sterling. Kubu City sendiri disebut masih ingin mempertahankan sang pemain. Tapi, kenapa Sterling dikabarkan memilih pindah ke Kota London membela Chelsea?

Tentu semua ada alasan. Juga, semua ada risikonya. Usia Sterling sudah 27 tahun. Masa keemasan pemain sepak bola. Walau ia memulai karier tim tim senior Liverpool masih tergolong muda, 17 tahun dan 107 hari. Debut tim senior Liverpool dijalani Sterling pada 24 Maret 2012.

Sepuluh tahun berlalu, dari Liverpool ke Manchester City, dan segera berlabuh ke Chelsea. Sterling sudah berada di batas membuat pilihan (choice), mengambil kesempatan (chance), dan bersiap dengan perubahan (chance).

Ia tidak memilih keluar dari Inggris meski banyak yang ingin melihat pembuktian skill Sterling bila berlaga di Spanyol. Ia memutuskan bertahan di panggung Pemier League dengan klub berbeda kota.

Sterling jelas paham, situasi di Chelsea setelah "ditinggal" Romelu Lukaku bisa membuat perhatian dan harapan fans The Blues diarahkan pada dirinya. @Weshley Hutagalung

Friday, April 15, 2022

Dani Alves, "Kakek" yang Harus Menderita di Kapal Mewah

"Bukan ala sprint 100 meter, melainkan seperti lari maraton. Biarkan berjalan dengan alami. Seluruh anggota Barcelona harus menjaga harmonisasi, keseimbangan, dan rasa hormat di dalam tim."

Ada poin-poin menarik dan penting untuk kita cermati dari ucapan Dani Alves, bek senior Barcelona yang memasuki periode kedua di FC Barcelona, kepada media Sport di Spanyol.

Daniel Alves da Silva begitu nama lengkap pria kelahiran 6 Mei 1983. Usianya sudah mencapai 38 tahun, namun Barcelona seperti menemukan kembali bek kanan yang pernah membela tim tersebut era 2008-2016. Salah satu bek terbaik di posisinya.

Setelah meninggalkan Barcelona menuju Juventus (2016-2017), lalu berpetualang di Paris Saint-Germain (2017-2019), kembali ke Brasil bersama Sao Paolo (2019-2021), Dani Alves "pulang" ke Kota Barcelona.

Tidak mudah bagi pemain sepak bola untuk kembali ke klub yang membesarkan dan ikut dibesarkannya. Apalagi, Dani Alves sempat "hilang" dari pemberitaan sepak bola ketika mondok di Sao Paulo, klub elite Brasil.

Mungkin, banyak pihak yang kaget ketika 12 November 2021 manajemen Barcelona mengumumkan Dani Alves kembali masuk tim, hanya 6 hari setelah Xavi dipublisikan sebagai pelatih baru Barca. Apakah ini permintaan Xavi kepada manajemen klub?

Bukankah saat itu usia Dani Alves sudah 38 tahun? Apakah Barcelona tidak punya stok pemain dari akademi kalau tak sanggup membeli pemain dari klub luar?

Stok sih ada, namun Barcelona butuh sesuatu yang lebih dari anak muda, semangat menggebu, dan mencari panggung pembuktian. Alves memberi sesuatu yang dibutuhkan. 

Menderita Seminggu

Waktu berjalan, Dani Alves menjawab keraguan itu lewat kakinya di lapangan sepak bola, bukan melalui mulut atau jari-jari yang menari di sosial media.

Beberapa waktu lalu, lewat wawancara di Sport, Dani Alves berbagi kunci sukses bagaimana ia menemukan kembali jalan masuk ke pintu bernama "panggung utama".

Alves sadar, saat ia kembali ke Barcelona, hal yang harus ia perlihatkan adalah tak ada yang berubah soal gairah di lapangan hijau dibandingkan era pertama ia menjadi bagian dari Camp Nou.

Untuk dapat mengisi slot pemain yang dipilih Xavi, Dani Alves berjuang sama kerasnya dengan anak-anak muda Barcelona. Sergino Dest (21 tahun), Oscar Mingueza (22). atau Ronald Araujo (23) pasti geleng-geleng kepala dibuat Alves yang tak mau menyerah begitu saja dalam perebutan tempat di sisi kanan pertahanan Barcelona.

Istilahnya, untuk dapat menikmati pertandingan di akhir pekan, Alves kudu menderita sepanjang minggu itu. Dalam 8 pertandingan awal musim ini membela Barcelona di La Liga, Alves turun sebagai starter sebanyak 7 kali.

Hanya di laga el clasico, ketika Barcelona mengempaskan Real Madrid 4-0 di Santiago Bernabeu, Davi Alves masuk ke lapangan lewat bangku cadangan. Ia menggantikan bek kiri, Jordi Alba.

Kakek di Kamar Ganti

Dani Alves ikut berkontribusi menghadirkan keseimbangan Barcelona era kebangkitan bersama Xavi Hernandez. Dari 8 pertandingan La Liga yang dibela Alves musim 2021-2022, hanya melawan Granada hasilnya tidak berbuah 3 poin alias bermain imbang (1-1).

Sebagai pemain "baru" dan berstatus paling tua di skuat Barcelona saat ini (Gerard Pique 35 tahun serta Jordi  Alba dan Sergio Busquets 33), Dani Alves punya cara agar dirinya tidak menjadi "opa-opa" di kamar ganti.

"Adalah penting untuk percaya diri, merasa lebih tampan dari pemain lain... merasa lebih menarik dari anak-anak muda Barcelona." Seperti itu keyakinan Dani Alves yang membuatnya tidak merasa terasing sebagai "manula" di kubu Barcelona.

Mental. Dani Alves percaya, dengan mental yang tepat, ia dapat mengendalikan seluruh tubuhnya untuk menikmati kembali setiap tetesan keringat saat latihan maupun pertandingan. Ketika pikiran kita lemah, berbagai gangguan dari luar dapat menghancurkan seluruh usaha dan karier yang dibangun. Hal ini diyakini Alves.

Dengan pemikiran yang kuat, Dani Alves menguasai benaknya bahwa kalau dahulu ia bisa bermain baik untuk Barcelona, kenapa hal itu tidak diulangi kembali? Bahkan menjadi lebih baik! Usia? Dani Alves tidak membicarakan usia, melainkan sikap dan kemauan.

2 Blok Barcelona

Bersama Xavi (42 tahun) yang dahulu menjadi rekannya di lapangan, Dani Alves turut menjaga harmonisasi dua blok di Barcelona. Blok berpengalaman di staf pelatih dan pemain serta blok satu lagi yang lebih muda.

Alves yakin, kombinasi blok berpengalaman (bukan soal usia) dan muda tersebut patut dijaga untuk mempertahankan tradisi di Barcelona. Proses perubahan hasil perpaduan kedua blok itu perlu dijaga dari tuntutan hasil yang terburu-buru. 

Meminjam istilah Alves, perubahan yang berjalan secara alamiah. Bukan berharap hasil seperti sprint 100 meter. Yang penting, seluruh pihak di Barcelona tahu bagaimana berperan dalam menjadi harmonisasi, keseimbangan, dan saling menghomati.

Kata Alves, fans tak usah menuntut Barcelona lebih baik dari peringkat II klasemen yang di awal kompetisi seolah sulit dicapai. Biarkan proses perbaikan yang dilakukan Xavi berjalan alamiah, tanpa tekanan. Biarkan Barcelona kembali ke jalur yang selama ini mereka tempuh, yakni jalur perebutan berbagai gelar juara.

Bagi Alves, kontribusinya saat memutuskan kembali ke klub yang pernah dibela menjadi bukti bahwa menapak ruang nostalgia itu tak melulu dengan lamunan yang malah bisa menghanyutkan. 

Dani Alves sedikit dari pesepak bola yang "berani" kembali membela klub yang pernah membesarkan namanya. Kita tak akan lupa sejumlah pemain yang gagal menggali kembali cinta fans lewat kontribusi aksi yang dituntut sama seperti dulu.

Masih ingat kisah Andry Shevchenko dan Kaka di AC Milan? Atau Fabio Cannavaro (Juventus) dan Didier Drogba (Chelsea)? Mereka adalah segelintir bintang sepak bola yang tak lagi sanggup bersinar ketika kembali ke klub yang pernah dibela.

Dani Alves melakukan hal yang lebih dari senior-seniornya itu. Ia mampu menyesuaikan diri dengan perubahan besar di Barca yang tengah berdamai dengan era menuju "kepunahan" tiki-taka. Ia juga membantu Xavi menyeimbangkan kembali perjalanan kapal mewah raksasa bernama FC Barcelona. 

Memang, perjalanan kapal raksasa (yang dulu sangat mewah dan menarik perhatian) di kompetisi Eropa sudah berhenti. Bahan bakar tak cukup untuk mencapai babak semifinal UEFA Europa League 2021-2022. 

Namun, perbaikan-perbaikan dan berbagai polesan kapal FCB di pelabuhan seperti menjanjikan kapal ini siap meninggalkan pelabuhan menuju samudra luas bernama kompetisi sepak bola. @Weshley Hutagalung

== tulisan ini sudah dimuat di Kompas.com pada 14 April 2022 dan dilengkap dengan hasil dari Liga Europa ==

Wednesday, November 17, 2021

DAVID MENANTANG GOLIATH DI STADION ANFIELD

Apa bagian paling menyenangkan dalam pertandingan olahraga? Kemenangan? Bagaimana kalau bisa ikut berperan di dalamnya? Pesan ini cocok bagi pemain muda Arsenal ketika akan bertandang ke markas Liverpool di pekan ke-12 Premier League 2021-2022.

Minggu, 21 November 2021, pukul 00.30 WIB, laga Liverpool menjamu Arsenal akan menjadi ujian konsistensi permainan pasukan masa depan Mikel Arteta.

Setelah menjalani 10 laga di semua kompetisi tak terkalahkan, atau 8 pertandingan terkahir Premier League yang menghasilkan 6 kemenangan dan 2 hasil imbang, ujian berat ada di Stadion Anfield.

Harus mundur 9 tahun ke era Arsene Wenger menjadi manajer dan Mikel Arteta masih bermain untuk melihat Arsenal mengalahkan Liverpool di Anfield dalam kancah Premier League. Ketika itu, 2 September 2012, skor 0-2 untuk Arsenal dengan kolaborasi Lukas Podolski dan Santi Cazorla. Kedua pemain ini yang mencetak gol dan salin memberi assist.

Pasukan Arsenal kini indentik dengan anak muda. Memang masih ada pemain senior dengan menit bermain banyak musim ini, seperti Pierre-Emerick Aubameyang (32 tahun), Thomas Partey (28), atau Nicolas Pepe (26) dan Granit Xhaka yang kerap cedera. Selebihnya, pemain dengan menit bermain terbanyak musim ini berusia 25 tahun ke bawah.

Nah, pemain-pemain masa depan Arsenal ini akan membawa harapan fans The Gunner yang ingin melihat kestabilan permainan racikan Mikel Arteta melawan pasukan kenyang pengalaman milik Juergen Klopp. 

Apakah istilah "David vs Goliath" pantas diberikan pada duel Arsenal yang menantang Liverpoool di Anfield? David untuk Arsenal yang mengacu pada usia dan menit bermain Emile Smith Rowe dkk. di kompetisi sepak bola level teratas.

Kalau "David" milik Mikel Arteta datang dengan jiwa kerdil dan hanya fokus pada angka 8, jumlah pertandingan tak terkalahkan secara beruntun di Premier League musim ini, bisa-bisa mereka tidak menikmati pertandingan di Anfield.

Angka 8 itu boleh dibanggakan. Namun, angka itu bisa terhenti tidak bergerak menjadi 9 ketika Emile Smith Rowe (21), Bukayo Saka (20), Martin Odegaard (22), Takehiro Tomiyasu (23), hingga kiper Aaron Ramsdale (23) gagal menikmati pertandingan di Anfield dan hanya fokus bagaimana agar tidak terkalahkan. @Weshley Hutagalung

LIVERPOOL DAN ANFIELD, UJIAN PEMAIN MUDA ARSENAL

Sunday, October 31, 2021

PELATIH SEPAK BOLA SELALU DIHAKIMI ATAS HASIL DI LAPANGAN

 

"Pelatih menilai pemainnya dari niat dan usaha, sementara mereka sendiri dinilai dari hasil pertandingan."

Apa alasan utama manajemen Barcelona memecat Ronald Koeman? Hasil pertandingan. Apa latar belakang isu Nuno Espirito Santo bakal dipecat Tottenham Hotspur? Hasil pertandingan.

Sepak bola Eropa, dan juga Indonesia, sepertinya kini semakin menjauh dari "kesabaran". Setiap pelatih dituntut memberikan hasil memuaskan di lapangan. Jangka waktu kerja atau kualitas dan materi pemain yang dimiliki seperti tidak masuk elemen utama dalam menilai kinerja pelatih. Hasil di lapangan yang dituntut, peningkatan proses dipinggirkan!

Bayangkan bila klub-klub Serie A memecat semua pelatih yang gagal membawa timnya juara, tidakkah waktu dan uang habis hanya untuk mencari pelatih baru? Pemain harus selalu beradaptasi dengan pelatih baru, sesuatu yang mengganggu proses mencapai tujuan. Bukankah setiap musim hanya ada satu tim yang menjadi pemenang di ujung kompetisi?

Okelah tidak juara, namun hasilnya jangan terlalu jauh dari harapan... apalagi yang berbau rivalitas bersejarah. Itulah salah satu aspek penilaian manajemen terhadap pelatih.

Ronald Koeman memang bukan pelatih idaman Joan Laporta, Presiden Barcelona yang menggeser Josep Maria Bartomeu. Namun, kekalahan dari 3 tim asal Kota Madrid di Oktober 2021 (0-2 Atletico Madrid, 1-2 Real Madrid, dan 0-1 Rayo Vallecano) menjadi sulit dimaafkan selain rentetan 3 kekalahan tandang di semua kompetisi musim ini (Benfica, Atletico, Vallecano).

"Saya menilai para pemain dari niat dan usaha mereka, bukan semata hasil pertandingan." Begitu kata Pep Guardiola, membuka salah satu rahasia suksesnya.

Selama manajemen klub mendukung filosofi Pep, tentu strategi itu bisa berjalan baik. Selama hasil-hasil pertandingan dan gelar juara berdatangan, kebijakan Pep pasti didukung. Apa jadinya bila pengeluaran besar membeli pemain tidak diikuti prestasi dalam 2-3 tahun ke depan? Apakah Pep masih akan bersama Manchester City?

Kekalahan 0-3 saat menjamu Manchester United, setelah tumbang 0-1 di pekan sebelumnya di rumah West Ham, seperti menjadi titik balik kebijakan manajemen Tottenham Hotspur terhadap sang pelatih: Nuno Espirito Santo.

Setelah memulai Premier League 2021-2022 lewat 3 kemenangan beruntun (skor 1-0 atas Manchester City, Wolverhampton, dan Watford), rentetan 3 kekalahan mengiringi perjalanan Spurs dan kebobolan 9 kali ( 0-3 melawan Crystal Palace, Chelsea, dan 1-3 di markas Arsenal).

Hingga pekan ke-10 musim ini, Spurs adalah tim paling rendah dalam catatan melepaskan tembakan. Harry Kane dkk. hanya melepaskan 103 tembakan, bandingkan dengan Liverpool (199) atau bahkan Brentford (116).

Kabarnya, big boss Spurs, Daniel Levy, sudah mengincar Paulo Fonseca sebagai pengganti Nuno. Spurs berebut dengan Newcastle United? Ada yang terancam kehilangan pekerjaan, ada yang mengincar pekerjaan tersebut.

Dalam era kesabaran pendek dan ketika semua orang menjadi hakim atas segala hal, menjadi pelatih sepak bola memang tidak menjanjikan pekerjaan yang awet di satu klub. Kursi panas!

Selama manajemen dan pendukung tim selalu menilai kinerja pelatih dari hasil pertandingan dan menyepelekan proses atau setiap peningkatan kualitas permainan, kita akan selalu membaca berita sekitar pemecatan pelatih sepak bola. Pedih! @Weshley Hutagalung

Wednesday, October 27, 2021

RONALD KOEMAN DI ANTARA PERUBAHAN DAN TIDAK DIINGINKAN

"Setiap perubahan pasti memakan korban. Seringnya perubahan itu menyakitkan. Tetapi, adalah lebih menyakitkan ketika kita terjebak di tempat yang bukan untuk kita dan mencoba bertahan di sana."

Ronald Koeman seolah ditakdirkan untuk tidak bisa berlama-lama di sebuah klub sebagai pelatih. FC Barcelona, klub yang pernah ia bela (1989-1995) dan menjadi pencetak gol kemenangan Barca di final Piala Champions 1992 melawan Sampdoria, mendepaknya pada 27 Oktober 2021.

Seolah, Koeman tidak ada dalam rencana perubahan yang terjadi di Barcelona belakangan ini. Masa edarnya di Barcelona hanya mencakup 67 pertandingan di semua kompetisi dengan hasil 39 kemenangan, 12 imbang, dan 16 kali tim asuhannya tumbang.

Situasi tak kondusif sejak Koeman bergabung bersama manajemen Barcelona pada Agustus 2020 memang berujung pada pemecatan. Tak mudah bagi Koeman ketika ia harus membuang Luis Suarez pada masa awal jabatannya dan kemudian kehilangan Lionel Messi, Sang Penyelamat Barcelona bertahun-tahun lamanya.

Lalu, pergantian manajemen FC Barcelona dari Presiden Josep Maria Bartomeu, yang merekrutnya kembali ke Camp Nou, ke Joan Laporta ikut berdampak pada penciptaan angin panas di Camp Nou. Bukankah pergantian pimpinan biasanya diikuti oleh gerbong bawaan yang dianggap satu frekuensi? Hal ini biasa terjadi demi kelancaran pengelolaan organisasi agar membantu pencapaian target yang diinginkan.

Ronald Koeman, pelatih dengan masa edar singkat di klub. Mungkin seperti itu ia akan dikenal. Coba lihat track record Koeman sebagai pelatih. Paling lama, Koeman menjabat pelatih di Ajax pada Desember 2001 hingga feburiar 2005. Atau Feyenoord pada Juli 2011 hingga Mei 2014. 

Bandingkan dengan masa edar Sir Alex Ferguson yang 26 tahun di Manchester United atau Arsene Wenger yang nyaris 22 tahun menukangi Arsenal. Ah, perbandingan yang terlalu jauh? 

Okelah, mari lihat Pep Guardiola di Manchester City yang masih bertahan di sana sejak bertugas Juli 2016. Atau Diego Simeone pelatih Atletico Madrid sejak 23 Desember 2011.

Bagaimana klub lain yang dilatih Koeman? Lihatlah jejak kariernya di Benfica (Juni 2005 - Mei 2006), Valencia (November 2007 - April 2008), atau Southampton (Juni 2014 - Juni 2016), Everton (Juni 2016 - Oktober 2017) dan juga timnas Belanda (Februari 2018 - Agustus 2020) karena menerima pinangan Barcelona. Gaji di Barcelona jauh lebih gede dong dari timnas Belanda!

"Koeman dan Angin Panas Camp Nou"

Koeman sudah resmi meninggalkan Barcelona. Ia, yang merupakan pelatih asal Belanda ke-5 di Camp Nou, mengikuti jejak Louis van Gaal dan Ernesto Valverde yang menjadi pelatih gagal menyelesaikan kompetisi hingga tuntas. Bila Van Gaal dipecat 26 Januari 2003, Valverde kehilangan pekerjaannya pada 13 Januari 2020.

Bagaimana kita melihat Koeman? Seperti nasihat Socrates, "Rahasia perubahan adalah kemampuan memfokuskan semua energi kita bukan untuk melawan yang lama, melainkan untuk membangun yang baru." Move forward, begitu kata orang-orang.

Barcelona tinggal menjadi sejarah bagi Koeman, persis seperti ketika ia menyelesaikan 6 tahun berkarier sebagai pemain dengan lebih dari 200 pertandingan yang menghadirkan 10 gelar juara.

Koeman, seperti halnya kita, jelas harus melihat perubahan yang terjadi dalam hidupnya merupakan hukum kehidupan. Ya, bukankah yang pasti dalam hidup ini adalah "perubahan"? 

Mereka yang hanya melihat masa lalu dan masa kini sepertinya akan kehilangan atau sulit membangun masa depan yang lebih baik. Setuju? 

Bergerak maju, begitu nasihat Martin Luther King Jr. Petuah yang baik bagi Ronald Koeman dan juga baik bagi kita. Katanya, jika kita tidak bisa terbang untuk bergerak, berlarilah.

Lalu, bagaimana kalau tidak bisa berlari? Berjalanlah. Jika tidak bisa berjalan? Merangkaklah. 

Artinya, apapun yang bisa kita lakukan, semuanya demi tujuan bergerak dan terus maju. Jangan diam di tempat dan mencoba bertahan dalam perubahan yang tidak diciptakan untuk kita. Seperti halnya Ronald Koeman di FC Barcelona. @Weshley Hutagalung