Sunday, September 26, 2021

Pemain Ke-12 dan Hakim Sepak Bola

Salah satu kekuatan media sosial adalah memunculkan kembali rekam jejak digital kita. Termasuk tulisan saya yang pernah dimuat di Tabloid BOLA edisi Sabtu, 24 September 2011, lewat rubrik "Weekend Story". Kisahnya tentang peran pemain ke-12 alias suporter, pendukung, dan penonton sepak bola.

Judul tulisan ini: "HAKIM BERNOMOR 12". Semoga isinya masih relevan karena yang penting adalah pesan dan nilai yang ingin saya sampaikan lewat kumpulan kata pada 10 tahun lalu.

Limbo. Pernah mendengar tarian bernama limbo? Coba bayangkan seseorang bergerak sambil membungkukkan badan ke belakang, berjalan berusaha melewati tiang horizontal tanpa menyentuhnya sambil diiringi musik khas.

Ya, kegiatan sederhana ini disebut limbo, tarian yang berasal dari Kepulauan Trinidad. Persaingan dalam tarian ini adalah tongkat yang melintang itu akan diturunkan setiap Anda berhasil melewatinya. Penari terakhir yang tak menyentuh tongkat dan lantai dinyatakan sebagai pemenang.

Ada apa kok tiba-tiba saya menyinggung tarian yang akhirnya popular di Jamaika itu? Membaca Majalah FourFourTwo Indonesia edisi Oktober 2011 seolah mengantar saya kembali ke bangku sekolah. Sungguh sebuah bacaan penuh pengetahuan tentang sepak bola dengan berbagai cerita unik dan menarik.

Adalah Wesley Parker yang membawa saya ke tarian limbo. Bukan, bukan karena namanya mirip dengan saya, tetapi kejadian yang menimpa Parker di tahun 1990. Sebagai seorang striker di klub amatir Jamaika bernama Kings of Diamonds, sudah seharusnya Parker menjadi penyelesai serangan yang dibangun rekan-rekannya.

Apes bagi Parker, kegagalannya memanfaatkan sejumlah peluang di sebuah pertandingan telah membuat seseorang jengkel. Usai pertandingan, ia memaki Parker sebagai lelaki mandul di mulut gawang. Dengan bantuan rekannya, orang yang jengkel tersebut membekuk Parker ke dalam mobil dan membawanya pulang.

Apa yang terjadi di rumah seorang fan yang geram itu? Selama dua jam, Wesley Parker diharuskan menari limbo sebelum akhirnya dilepaskan. Tujuannya? Agar tubuh Parker lentur sehingga mampu menuntaskan pekerjaan rekan-rekan yang ditujukan baginya di depan gawang lawan.

Saya menyebut seorang fan seperti di Jamaika itu sebagai pemain ke-12 sekaligus hakim bagi Parker!

Bisakah Anda membayangkan hilangnya kenikmatan bermain sepak bola ketika bangku stadion itu kosong? Bukanlah cerita dongeng bila kerumunan penonton kerap menjadi motivasi para pemain untuk menampilkan kemampuan terbaik dan memberikan kemenangan bagi pendukungnya.

Tanyakan kepada Bambang Pamungkas dkk. bagaimana rasanya bermain dengan dukungan sekitar 80 ribu penonton di Stadion Gelora Bung Karno. Atau bayangkan besarnya hasrat pesepak bola dari Malaysia dan Singapura ingin mencicipi atmosfir sepak bola Indonesia yang stadionnya tak sepi dari kunjungan pemain ke-12.

Pemain Vasco da Gama, klub sepak bola Brasil yang memuja sepak bola indah sebagai agama, tak akan melupakan sosok bernama Pai Santana. Mantan tukang pijat itu dikenal sebagai pendukung setia Vasco. Kegiatan rutinitasnya di lapangan sebelum Vasco bertanding adalah bertingkah seperti membaca mantra-mantra magis agar kemenangan mendatangi Vasco.

Setiap Vasco memenangkan pertandingan, Pai Santana akan berkeliling lapangan stadion sambil berlutut dengan mengenakan pakaian serba putih. Aneh? Tapi itulah cara Santana menjadi pemain ke-12 Vasco da Gama.

Di Spanyol, Manolo el del Bombo akan selalu terlihat setiap tim nasional Negeri Matador berlaga, di manapun! Dengan mengenakan jersey bernomor 12, Manolo mencolok perhatian dengan drum besar yang selalu ia bawa.

Manuel Caceres Artesero, begitu nama asli pria kelahiran 15 Januari 1949 ini, telah mendukung timnas Spanyol sejak Piala Dunia 1982. Saking semangatnya mendukung tim kesayangan, Manolo harus mengorbankan pekerjaan dan keluarganya. Ya, istri dan anaknya tak tahan melihat kecintaan Manolo yang lebih besar kepada  sepak bola. Mereka meninggalkan pria tambun ini dengan hati hancur.

Bila Anda berkesempatan berkunjung ke Kota Valencia di Spanyol, mampirlah di bar milik Manolo di dekat Stadion Mestalla. Saya beruntung pernah menyaksikan bagaimana ia mendapat tempat istimewa di mata masyarakat Spanyol, termasuk klub Valencia yang membantunya membuka usaha warung minum.

Bagi saya, Manolo adalah lambang keterkaitan antara pemain sepak bola dengan pendukungnya. Bukankah pengorbanan Manolo untuk negaranya tak kalah dari perjuangan Iker Casillas dkk.?

Dalam satu kejadian, sosok Zinedine Zidane  menunjukkan kepada kita bagaimana menghargai  pemain ke-12.

Adalah seorang nenek bernama Lolette yang begitu cinta kepada klub FC Girondins de Bordeaux di Prancis.  Sejak tahun 1962, ia disebut tak pernah sekalipun absen menyaksikan Bordeaux bertanding di Stade Chaban Delmas, markas Bordeaux.

Hari ini adalah hari pertandingan. Saya tak punya waktu untuk bersantai-santai, saya harus segera menuju stadion.” Ucapan ini melegenda bersama kisah Lolette di antara pendukung Les Girondins.

Suatu waktu, ketika Zidane masih membela Bordeaux sebelum diboyong Juventus ke Italia pada tahun 1996, Lolette berkesempatan menjumpai Zizou setelah pertandingan. “Saya  meminta jersey yang dikenakan Zidane hari itu. Tapi sayang, ia sudah terlanjur memberinya kepada orang lain yang meminta sebelum saya,” begitu kenang sang nenek.

Seminggu kemudian, Lolette menerima kiriman berupa kostum Bordeaux dengan nama Zidane di punggung serta tanda tangan sang pemain. Dari sejumlah 60 jersey dan 5.000 tanda tangan pemain yang Lolette koleksi, hanya pemberian Zidane itu yang ia bingkai dan pajang di tembok rumahnya.

Hubungan yang saling menghormati antara pemain dan fan. Saya membayangkan upaya Zidane mencari alamat rumah Lolette, pendukung setia klub yang telah membesarkan namanya.

Sebagai penggemar sepak bola, mungkin fan sebuah klub, tapi yang pasti pendukung tim nasional Indonesia, kita mau memilih kisah siapa sebagai pemain ke-12? Apakah menjadi hakim sepak bola seperti Wesley Parker, mengorbankan keluarga ala Manolo, atau kesetiaan Lolette? Saya memilih kisah sendiri! @Weshley Hutagalung

Monday, September 20, 2021

Belajar Menerima Perubahan Lewat Sepak Bola

Baru-baru ini, saya berkesempatan bertemu Direktur Utama PT Liga Indonesia Baru, Akhmad Hadian Lukita, di kantornya yang keren. Pertanyaan agak nyeleneh sedikit dan membuatnya bersemangat: "Bagaimana mengelola kompetisi di era pandemi ini?"

Harapan. Ya, ada harapan yang dimunculkan Pak Akhmad Hadian perbincangan kami. Pandemi Covid-19 yang semula menjadi penyebab sepak bola Indonesia tiarap... dan sangat lama, akhirnya dijadikan momentum untuk memperbaiki pengelolaan sepak bola dan kompetisi di Tanah Air.

Kok bisa? Ya harus bisa, katanya. Gak mungkin kita menyerah pada keadaan dan kemudian membiarkan sepak bola Indonesia mati tanpa mencoba melakukan perubahan untuk bertahan dan menggeliat tetap menjaga kehidupan.

Belajar dari perkembangan akibat pandemi ini, seharusnya klub dapat semakin baik mengelola potensi yang dimiliki, termasuk pendataan suporternya. Kalau kini kita harus memiliki aplikasi "Peduli Lindungi" untuk dapat memasuki pusat pembelanjaan, kenapa hal yang sama tidak diberlakukan untuk memasuki stadion?

Contoh ini hanya salah satu "harapan" yang disampaikan Pak Dirut PT LIB untuk menjaga kelangsungan kehidupan sepak bola di negeri ini. Jangan melihat dan menilai situasi saat ini dengan "kaca mata normal" karena tak ada yang siap dengan pandemi ini. Namun, ketidaksiapan itu bukan berarti kematian bagi sepak bola. Semua pihak harus mau berubah dan bergerak bersama mencoba sesuatu yang cocok untuk dilakukan.

Wawancara Dirut PT LIB

Hal lain yang seru dalam perbincangan kami adalah soal "keberanian" Akhmad Hadian Lukita menghadapi netizen sepak bola Indonesia.

Keberanian? Ya, bukan rahasia lagi bila netizen +62 terkenal dengan "penghakiman" dan "keberanian" berpendapat. Walau, terkadang pendapat disampaikan dengan cara yang tidak elok atau kurang memahami persoalan sesungguhnya. 

"Ada kritikan, masukan, tapi juga ada hinaan yang gak pantas disampaikan. Apalagi usia saya jauh lebih tua dari netizen yang menyampaikan sikapnya," kata Akhmad Hadian Lukita.

Dalam bermain media sosial, jari-jari adalah milik kita dan seharusnya dalam penguasaan kita. Apapun yang disampaikan lewat tarian jemari itu hendaknya dapat dipertanggungjawabkan dan memperlihatkan nilai-nilai kehidupan yang kita miliki.

Menikmati sepak bola di era pandemi harus membawa kita pada fase "hidup ini sedang dalam perubahan". Apakah kita ikut bermain dan berperan dalam perubahan itu atau kita hanya menjadi korban perubahan lalu kehilangan pegangan? Jangan sampai ah!  @Weshley Hutagalung