Monday, September 20, 2021

Belajar Menerima Perubahan Lewat Sepak Bola

Baru-baru ini, saya berkesempatan bertemu Direktur Utama PT Liga Indonesia Baru, Akhmad Hadian Lukita, di kantornya yang keren. Pertanyaan agak nyeleneh sedikit dan membuatnya bersemangat: "Bagaimana mengelola kompetisi di era pandemi ini?"

Harapan. Ya, ada harapan yang dimunculkan Pak Akhmad Hadian perbincangan kami. Pandemi Covid-19 yang semula menjadi penyebab sepak bola Indonesia tiarap... dan sangat lama, akhirnya dijadikan momentum untuk memperbaiki pengelolaan sepak bola dan kompetisi di Tanah Air.

Kok bisa? Ya harus bisa, katanya. Gak mungkin kita menyerah pada keadaan dan kemudian membiarkan sepak bola Indonesia mati tanpa mencoba melakukan perubahan untuk bertahan dan menggeliat tetap menjaga kehidupan.

Belajar dari perkembangan akibat pandemi ini, seharusnya klub dapat semakin baik mengelola potensi yang dimiliki, termasuk pendataan suporternya. Kalau kini kita harus memiliki aplikasi "Peduli Lindungi" untuk dapat memasuki pusat pembelanjaan, kenapa hal yang sama tidak diberlakukan untuk memasuki stadion?

Contoh ini hanya salah satu "harapan" yang disampaikan Pak Dirut PT LIB untuk menjaga kelangsungan kehidupan sepak bola di negeri ini. Jangan melihat dan menilai situasi saat ini dengan "kaca mata normal" karena tak ada yang siap dengan pandemi ini. Namun, ketidaksiapan itu bukan berarti kematian bagi sepak bola. Semua pihak harus mau berubah dan bergerak bersama mencoba sesuatu yang cocok untuk dilakukan.

Wawancara Dirut PT LIB

Hal lain yang seru dalam perbincangan kami adalah soal "keberanian" Akhmad Hadian Lukita menghadapi netizen sepak bola Indonesia.

Keberanian? Ya, bukan rahasia lagi bila netizen +62 terkenal dengan "penghakiman" dan "keberanian" berpendapat. Walau, terkadang pendapat disampaikan dengan cara yang tidak elok atau kurang memahami persoalan sesungguhnya. 

"Ada kritikan, masukan, tapi juga ada hinaan yang gak pantas disampaikan. Apalagi usia saya jauh lebih tua dari netizen yang menyampaikan sikapnya," kata Akhmad Hadian Lukita.

Dalam bermain media sosial, jari-jari adalah milik kita dan seharusnya dalam penguasaan kita. Apapun yang disampaikan lewat tarian jemari itu hendaknya dapat dipertanggungjawabkan dan memperlihatkan nilai-nilai kehidupan yang kita miliki.

Menikmati sepak bola di era pandemi harus membawa kita pada fase "hidup ini sedang dalam perubahan". Apakah kita ikut bermain dan berperan dalam perubahan itu atau kita hanya menjadi korban perubahan lalu kehilangan pegangan? Jangan sampai ah!  @Weshley Hutagalung


No comments:

Post a Comment