Foto: Cindy Pareira |
"Media dan
olahraga tidak bisa dipisahkan. Satu penyambung lidah, satu lagi pemersatu
bangsa. Jangan sampai dipelintir apalagi dipolitisir. Untuk generasi muda,
jangan takut jadi kuli tinta, sukses bisa diraih jika Anda lakukan dengan cinta.”
Kalimat ini begitu menyentuh saya ketika bersama rekan-rekan dari SPORTAKUS berbagi ilmu dan pengalaman di kampus Universitas Mpu Tantular, Jakarta, pada Rabu (5/12/2018).
Acara berlangsung lebih lama dari yang
dijadwalkan panitia dan kami perkirakan. Mungkinkah karena materi yang menarik
atau pembawa materinya? He... he... he.
Bersama jurnalis sekaligus pengamat sepak bola Maruf
El Rumi dan Haris Pardede, serta aktor dan sports caster Ibnu Jamil, kami
membawakan materi “Media Massa dan Tanggung Jawab Olahraga” di hadapan puluhan
mahasiswa komunikasi Mpu Tantular, Jakarta.
Dengan mengusung misi “Sports Responsibility”,
kami yang tergabung dalam SPORTAKUS ingin berbagi dan menyebarkan filosofi olahraga
di semua aspek kehidupan kita.
Di sesi pertama, saya didaulat, dipaksa,
dipercaya… atau apalah namanya oleh teman-teman untuk membawakan materi lebih
dahulu.
Temanya tak berat-berat, namun saya
yakin sesuai dengan peserta acara yang oleh pihak kampus dijadikan dalam bentuk
seminar.
Benarkah media cetak kalah oleh media
online? Lalu, di mana peran media sosial dalam persaingan dua media berbeda
platform tersebut?
Kalimat di alinea pembuka tulisan ini
berasal dari sang moderator acara, Mbak Ajenk Ningga Citra, S.Sos, M.Si.
Usai materi tentang bagaimana
sebenarnya peran media massa dan kekuatannya saat ini di tengah turbulensi
media akibat kemajuan teknologi, Ajenk menangkap dengan tepat pesan yang ingin saya
sampaikan.
Kalau Mahamatma Gandhi dan Nelson
Mandela menjadikan olahraga dan sepak bola sebagai alat belajar menyampaikan
kebaikan bahkan memperbaiki kerusakan, kenapa kita tidak belajar memanfaatkan the power of football untuk membangun bangsa ini?
Pesan saya kepada para mahasiswa calon
pelaku media massa atau pembentuk opini masa depan, jangan sekadar melepaskan informasi
tanpa memperkuat 2 unsur dalam pemberitaan: “why dan how”.
Plus, bila kita bekerja dengan dan penuh
cinta, setidaknya informasi yang disampaikan kepada publik punya banyak tujuan kebaikan,
bukan sekadar menarik perhatian.
Belajar dari Nelson Mandela bahwa sport punya
kekuatan untuk mengubah dunia, menginspirasi, dan menyatukan orang banyak.
Bahwa olahraga itu bisa menciptakan harapan.
Mantan terpidana politik dan menjadi orang nomor
satu di Afrika Selatan itu mengatakan dibanding pemerintah, sport punya
kemampuan lebih kuat untuk memupus rasis dan perbedaan di masyarakat. Setuju?
Bila kita sepakat bahwa olahraga itu merupakan
permainan para pencinta damai, kenapa kita
tidak ambil bagian di dalamnya?
Tanggal 5 Desember 2013 di Kota Johannesburg
(Afrika Selatan), Nelson Mandela tutup usia di angka 95. Pada 5 Desember 2018
di Kota Jakarta, saya menyampaikan cara pandangnya dalam melihat olahraga demi
kebaikan di Kampus Universitas Mpu Tantular. @weshley
Foto: Cindy Pareira |
Kerennnn...
ReplyDeleteSalam olahraga..
salam olahraga!!
ReplyDeleteSalam olahraga !!!
ReplyDelete