Friday, April 23, 2021

Pemain Sepak Bola Terjepit di antara ESL dan UEFA

Wacana menggelar European Super League kini berstatus "standby". Itu menurut Presiden Real Madrid, Florentino Perez. Lalu, apakah kericuhan sepak bola di Eropa selesai? Tunggu, format baru Liga Champions bisa menjadi mimpi buruk lain bagi pemain.

Di bagian pertama tulisan saya, pemaparan pemasukan klub yang terganggu selama 2019 dan 2020, serta deretan jumlah utang para klub pencetus Liga Super Eropa seolah menjadi alasan ketika pandemi seperti tak berujung. Emangnya cuma 12 klub itu doang yang keuangannya babak-belur?

Kalau UEFA tak bisa memuaskan para elite klub Eropa itu, apakah wajar bila mereka melirik "rumah baru" yang menjanjikan memberikan kenyamanan lebih?

Dengan gertakan UEFA dan FIFA bahwa pesepak bola yang mengikuti European Super tak boleh tampil di Liga Champions/Liga Europa serta Piala Eropa dan Piala Dunia, sebenarnya pertarungan itu membunuh pemain.

Sepahaman saya, tak ada pesepak bola di dunia ini yang tak ingin membela tim nasional dan bermimpi tampil di Piala Dunia. Setuju kan?

"Kompetisi baru harus digelar untuk memastikan kesehatan finansial olahraga ini. Pada saatnya, kami akan bercerita banyak alasan menggelar Liga Super Eropa." Begitu kata Presiden Barcelona, Joan Laporta, pada TV3 di Barcelona.

Sekali lagi, apakah pandemi (dan sebelum pandemi) kesulitan keuangan itu hanya dirasakan klub-klub elite?

Pertanyaan berikut muncul: "Kenapa kompetisi yang hanya menyertakan 12 klub, plus 3 yang disebut akan menyusul, serta 5 pendatang bergantian, dilakukan diam-diam dan kemudian seperti petir di siang bolong? Apakah klub seperti Osasuna di Spanyol atau Leicester City di Inggris tidak diajak atau mereka menolak?"

Kembali ke pemain di klub penggagas European Super League (ESL). Setelah menerima gertakan dari Florentino Perez dkk, kabarnya sempat muncul bisik-bisik di kubu UEFA yang balik menggertak dengan mengatakan duel semifinal antara Chelsea vs Real Madrid mungkin saja ditunda. Apakah alasannya karena kedua tim tersebut masuk kelompok ESL? Bah, untung hanya bisik-bisik.

Semifinal satu lagi juga melibatkan tim ESL, yakni Manchester City. Namun, sang lawan, Paris Saint-Germain, tidak ada dalam 12 nama awal ESL. Jadi, tak ada alasan kuat UEFA untuk menghukum Man. City yang cipratan airnya mengenai PSG. Begitu angin bertiup dari markas UEFA.

Apakah Florentino Perez and the gang berbuat seperti ini untuk menyelamatkan sepak bola Eropa secara global dari cengkeraman UEFA? Big NO sih untuk pertanyaan ini. Anggapan bahwa mereka menyelamatkan diri masing-masing lebih tepat.

Benar sih kehadiran klub-klub besar itu menjadi magnet bagi penonton dan sponsor... gak ada yang meragukan. Tapi, berlagak sebagai penyelamat klub-klub Eropa dari rongrongan UEFA... apa iya?

Sadar gerakan (gertakan) mereka mendapat tentangan dari fans sendiri, kelompok 12 bubar jalan. bahkan, owner Liverpool FC, John W Henry, sampai harus membuat video permintaa maaf kepada suporter The Reds.

Hanya, inovasi UEFA yang merombak format Liga Champions pun tidak lebih baik. Lagi, pemain seperti alat bagi pengelola untuk mendapatkan uang lebih banyak. Berapa yang diberikan ke klub, berapa yang masuk kas (petinggi) UEFA?

Dalam hati saya bertanya, "Kalau JP Morgan berani menopang kompetisi European Super League, kenapa UEFA tidak mengirimkan proposal ke sana guna memperbesar hadiah bagi klub-klub peserta kejuaraan antaklub Eropa yang mereka gelar?"

Dengan membuka tempat bagi 36 klub Eropa bermain di Liga Champions sejak 2024 dan mengubah format agar pertandingan menjadi lebih banyak, tidak adakah waktu rehat dan pemulihan semangat bagi pemain agar bisa fokus dan fresh pada tanggung jawab pekerjaannya?

Bagi kubu ESL dan UEFA pasti paham, para pesepak bola saat ini bergelimpangan kemewahan akibat transfer menggila dan gaji "wah" dari klub. Mereka tahu, kiper David de Gea menerima gaji satu miliar rupiah per hari selama di Man. United.

Tapi, dengan menambah jumlah pertandingan dalam semusim, sulit membayangkan bagaimana pelatih meracik strategi agar pemainnya selalu dalam kondisi top guna meraih kemenangan. Dengan performa buruk akibat keletihan dan gampang cedera, bukankan vonis dari manajemen dan suporter klub seperti kapak algojo pembunuh karier?

Mengikuti ESL terancam tak bisa membela tim nasional. Mengikuti UEFA bakal keletihan menjalani jumlah pertandingan. Lalu, kepentingan pemain di mana?

Apakah lebih aman bagi pemain dengan tidak membela klub penggagas European Super League dan yang tak punya peluang lolos ke Liga Champions? Uang... jangan lupa pengelola sepak bola paham, pemain juga butuh uang dalam jumlah besar dan semakin besar. @Weshley Hutagalung

Wednesday, April 21, 2021

European Super League dan Kemandiran Klub Elite

 

Sepak bola dunia heboh. Yang bikin "gaduh" segelintir klub sepak bola Eropa, cuma 12. Namun, gagasan menggelar European Super League (harusnya) membuka mata dunia. Walau, dalam 48 jam setelah dilontarkan, kompetisi kaum elite tersebut dipetieskan alias ditunda kalau tidak mau disebut dibatalkan.

Apa jadinya bila 12 klub, plus 3 yang disebut menyusul, dan 5 klub "tamu" berkompetisi sendiri, keluar dari program rutinitas yang selama ini digelar UEFA sebagai badan sepak bola tertinggi di Eropa? Apa jadinya bila dalam 48 jam itu 6 klub Inggris tidak mundur dari ESL?

Mari lihat dari perspektif penggagas ESL. Adalah masuk akal kalau mereka merasa selama ini UEFA terlalu berkuasa atas klub-klub Benua Biru. Benarkah demikian?

Siapakah pemilik Juventus? Siapkah pemilik Manchester United? Siapakah pemilik Real Madrid? Pertanyaan ini bisa diteruskan kepada 12 klub yang namanya muncul di episode pertama drama ESL. Lalu, sejauh mana UEFA berhak mengontrol kehidupan mereka?

[center]Pertanyaan yang mirip pernah saya diskusikan bersama teman-teman beberapa tahun lalu ketika sepak bola Indonesia pecah dan terjadi dualisme. [b][i]"Apakah FIFA menguasai dan mengontrol hidup dan gerak-gerik seluruh sepak bola di dunia?"

Kesimpulannya diskusi kami waktu itu adalah begini: "Kalau tak mau diatur FIFA, ya jangan bermain sepak bola memakai aturan FIFA."

]Berarti boleh dong membuat aturan sendiri? Ya silakan, selama lawan yang mau dihadapi juga bersedia mengikuti aturan baru itu. Misalnya, bermain 9 vs 9. Lama pertandingan 3 x 35 menit. Ukuran lapangan pun bisa disesuaikan. Yang penting, gak ada aturan FIFA yang dipakai.

Boleh-boleh saja. Begitu pun dengan kompetisi yang dikuasai UEFA. Tapi kalau dikaitkan dengan kompetisi domestik, apakah ada klub yang tidak mau ikut aturan federasi di negara asal? Hanya, bukan ke situ arahnya.

Mari lihat laporan keuangan 12 klub penggagas ESL dari Delloit Football Money League. Ada pembanding pemasukan klub dari 2019 dan 2020... dan benarkah pandemi Covid-19 menjadi pemicu munculnya European Super League? Jangan buru-buru percaya.

Lihat juga berapa banyak utang yang dimiliki klub-klub ESL. Tottenham merasakan momentum membangun stadion baru menjadi tidak tepat ketika pandemi datang dan enggan hilang. Lihatlah jumlah utang mereka di antara 12 klub European Super League.

 

Apakah klub-klub elite ini tidak berhak mencari jalan guna memenuhi budget yang dibutuhkan untuk mengelola klub yang demikian mahal? Kalau UEFA yang "berkuasa atas mereka" hanya memberikan uang jajan 100 perak, wajar bila mereka melirik organisasi lain yang menjanjikan uang jajan 500 perak. Karena biaya hidup mereka mahal.

Patokan mahal mungkin bisa dilihat dari anggaran Manchester United untuk membayar pemain di seluruh level tim yang mereka punya. Jumlahnya mencapai 188 juta pound atau 3,8 triliun rupiah setiap tahun... ya triliun!

Selamat pandemi, ketiadaan pemasukan dari tiket penonton jelas membuat pengelolaan keuangan organisasi karut-marut. Mereka butuh sumber-sumber alternatif untuk menjaga kelangsungan organisasi klub yang berisikan pemain-pemain bergaji mahal.

Apakah keputusan menggelar European Super League, yang kemudian dihentikan (sementara), tidak perlu melibatkan suara dan sikap pendukung klub? Tak perlu ada pandemi, ide ini pun sudah lama mereka rancang. (bersambung) @Weshley Hutagalung

Friday, April 2, 2021

Ketika Sergio Aguero Melepas Kemewahan di Manchester City

Melepas penyerang andalan selama 10 tahun yang mencetak 257 gol dalam 384 penampilan bersama klub. Bakal seperti apa Manchester City tanpa Sergio Aguero? Atau seperti apa karier dan kehidupan Aguero setelah musim 2020-2021?

Kalau ditanyakan kepada Anda, siapa 5 legenda Manchester City... apakah jawabannya akan secepat ketika diminta menyebut legenda Manchester United?

Mungkin, warga Inggris yang menjadi fans Manchester City turun-menurun, menyebut 5 legenda klub tidaklah menjadi permasalahan. Tapi, beda ceritanya kalau pertanyaan diarahkan kepada fans sepak bola di Indonesia secara umum.

Apakah Sergio Aguero termasuk ke dalam kelompok legenda Manchester City? Bagi penikmat Liga Inggris sejak era Premier League, bisa jadi Aguero ada di antara nama Vincent Kompany, David Silva, atau Shaun Wright-Phillips?

Menarik melihat keputusan manajemen Manchester City tidak lagi menawarkan kontrak baru kepada Sergio Aguero. Kontrak striker Argentina berusia 32 tahun ini memang berakhir 30 Juni 2021. Ia bergabung bersama Man. City sejak 28 Juli 2011 dari Atletico Madrid.

Kepada media massa, Pep Guardiola tak yakin mereka mampu membeli striker baru dengan harga "wah" untuk mengisi posisi Sergio Aguero. Kata Pep, semua klub saat ini berjuang untuk bertahan akibat pandemi Covid_19.

Melepas Aguero tapi tak yakin dapat membeli Erling Haaland dari Boruss Dortmund? Kabarnya, agen Haaland, Mino Raiola, mematok angka 150 juta euro bagi klub peminat striker Norwegia itu. Nah, kenapa melepas Aguero? Apakah karena gajinya tak sebanding lagi dengan kontribusi di lapangan?

Lalu, klub mana yang menjadi pelabuhan Aguero berikut? Yang pasti, kemewahan dan sorotan perhatian yang selama ini didapat Aguero akan berbeda. Termasuk gajinya yang mencapai 230.135 pound atau sekitar 4,6 miliar rupiah per minggu... ya seminggu!

Usia 32 tahun memang belum bisa terbilang uzur bagi pemain sepak bola profesional yang paham menjaga pola hidup. Ceritanya berbeda bila si pemain dihajar cedera tak berkesudahan. Atau terpuruk dalam dunia malam dengan segala perangkapnya.

Berapa lama lagi Aguero akan bermain di level atas sepak bola? Putaran hidup itu akan dengan cepat bergerak bila Aguero gagal menerima kenyataan ia tak lagi ada di zona "mewah" sepak bola setelah dilepas Manchester City.

Bukankah kehidupan itu merupakan putaran dari kebahagiaan, kesedihan, masa kejayaan, dan fase pergumulan? Ketika Aguero harus bergumul memasuki masa sulit setelah dilepas Manchester City, yang dibutuhkannya adalah keyakinan bahwa dirinya belum habis... juga menerima dan beradaptasi dengan perubahan yang akan dihadapinya.

Dalam roda kehidupan, perjalanan Sergio Aguero di Manchester City akan berakhir musim 2020-2021. Namun, ia akan memulai petualangan berikut dengan pertanyaan: "Apakah Aguero siap memasuki fase kehidupan yang baru?" Lalu, bagaimana dengan kita? @Weshley Hutagalung