Wacana menggelar European Super League kini berstatus "standby". Itu menurut Presiden Real Madrid, Florentino Perez. Lalu, apakah kericuhan sepak bola di Eropa selesai? Tunggu, format baru Liga Champions bisa menjadi mimpi buruk lain bagi pemain.
Di bagian pertama tulisan saya, pemaparan pemasukan klub yang terganggu selama 2019 dan 2020, serta deretan jumlah utang para klub pencetus Liga Super Eropa seolah menjadi alasan ketika pandemi seperti tak berujung. Emangnya cuma 12 klub itu doang yang keuangannya babak-belur?
Kalau UEFA tak bisa memuaskan para elite klub Eropa itu, apakah wajar bila mereka melirik "rumah baru" yang menjanjikan memberikan kenyamanan lebih?
Dengan gertakan UEFA dan FIFA bahwa pesepak bola yang mengikuti European Super tak boleh tampil di Liga Champions/Liga Europa serta Piala Eropa dan Piala Dunia, sebenarnya pertarungan itu membunuh pemain.
Sepahaman saya, tak ada pesepak bola di dunia ini yang tak ingin membela tim nasional dan bermimpi tampil di Piala Dunia. Setuju kan?
"Kompetisi baru harus digelar untuk memastikan kesehatan finansial olahraga ini. Pada saatnya, kami akan bercerita banyak alasan menggelar Liga Super Eropa." Begitu kata Presiden Barcelona, Joan Laporta, pada TV3 di Barcelona.
Sekali lagi, apakah pandemi (dan sebelum pandemi) kesulitan keuangan itu hanya dirasakan klub-klub elite?
Pertanyaan berikut muncul: "Kenapa kompetisi yang hanya menyertakan 12 klub, plus 3 yang disebut akan menyusul, serta 5 pendatang bergantian, dilakukan diam-diam dan kemudian seperti petir di siang bolong? Apakah klub seperti Osasuna di Spanyol atau Leicester City di Inggris tidak diajak atau mereka menolak?"
Kembali ke pemain di klub penggagas European Super League (ESL). Setelah menerima gertakan dari Florentino Perez dkk, kabarnya sempat muncul bisik-bisik di kubu UEFA yang balik menggertak dengan mengatakan duel semifinal antara Chelsea vs Real Madrid mungkin saja ditunda. Apakah alasannya karena kedua tim tersebut masuk kelompok ESL? Bah, untung hanya bisik-bisik.
Semifinal satu lagi juga melibatkan tim ESL, yakni Manchester City. Namun, sang lawan, Paris Saint-Germain, tidak ada dalam 12 nama awal ESL. Jadi, tak ada alasan kuat UEFA untuk menghukum Man. City yang cipratan airnya mengenai PSG. Begitu angin bertiup dari markas UEFA.
Apakah Florentino Perez and the gang berbuat seperti ini untuk menyelamatkan sepak bola Eropa secara global dari cengkeraman UEFA? Big NO sih untuk pertanyaan ini. Anggapan bahwa mereka menyelamatkan diri masing-masing lebih tepat.
Benar sih kehadiran klub-klub besar itu menjadi magnet bagi penonton dan sponsor... gak ada yang meragukan. Tapi, berlagak sebagai penyelamat klub-klub Eropa dari rongrongan UEFA... apa iya?
Sadar gerakan (gertakan) mereka mendapat tentangan dari fans sendiri, kelompok 12 bubar jalan. bahkan, owner Liverpool FC, John W Henry, sampai harus membuat video permintaa maaf kepada suporter The Reds.
Hanya, inovasi UEFA yang merombak format Liga Champions pun tidak lebih baik. Lagi, pemain seperti alat bagi pengelola untuk mendapatkan uang lebih banyak. Berapa yang diberikan ke klub, berapa yang masuk kas (petinggi) UEFA?
Dalam hati saya bertanya, "Kalau JP Morgan berani menopang kompetisi European Super League, kenapa UEFA tidak mengirimkan proposal ke sana guna memperbesar hadiah bagi klub-klub peserta kejuaraan antaklub Eropa yang mereka gelar?"
Dengan membuka tempat bagi 36 klub Eropa bermain di Liga Champions sejak 2024 dan mengubah format agar pertandingan menjadi lebih banyak, tidak adakah waktu rehat dan pemulihan semangat bagi pemain agar bisa fokus dan fresh pada tanggung jawab pekerjaannya?
Bagi kubu ESL dan UEFA pasti paham, para pesepak bola saat ini bergelimpangan kemewahan akibat transfer menggila dan gaji "wah" dari klub. Mereka tahu, kiper David de Gea menerima gaji satu miliar rupiah per hari selama di Man. United.
Tapi, dengan menambah jumlah pertandingan dalam semusim, sulit membayangkan bagaimana pelatih meracik strategi agar pemainnya selalu dalam kondisi top guna meraih kemenangan. Dengan performa buruk akibat keletihan dan gampang cedera, bukankan vonis dari manajemen dan suporter klub seperti kapak algojo pembunuh karier?
Mengikuti ESL terancam tak bisa membela tim nasional. Mengikuti UEFA bakal keletihan menjalani jumlah pertandingan. Lalu, kepentingan pemain di mana?
Apakah lebih aman bagi pemain dengan tidak membela klub penggagas European Super League dan yang tak punya peluang lolos ke Liga Champions? Uang... jangan lupa pengelola sepak bola paham, pemain juga butuh uang dalam jumlah besar dan semakin besar. @Weshley Hutagalung
No comments:
Post a Comment