Sepak bola dunia heboh. Yang bikin "gaduh" segelintir klub sepak bola Eropa, cuma 12. Namun, gagasan menggelar European Super League (harusnya) membuka mata dunia. Walau, dalam 48 jam setelah dilontarkan, kompetisi kaum elite tersebut dipetieskan alias ditunda kalau tidak mau disebut dibatalkan.
Apa jadinya bila 12 klub, plus 3 yang disebut menyusul, dan
5 klub "tamu" berkompetisi sendiri, keluar dari program rutinitas
yang selama ini digelar UEFA sebagai badan sepak bola tertinggi di Eropa? Apa jadinya bila dalam 48 jam itu 6 klub Inggris tidak mundur dari ESL?
Mari lihat dari perspektif penggagas ESL. Adalah masuk akal kalau mereka merasa selama ini UEFA terlalu berkuasa atas klub-klub Benua Biru. Benarkah demikian?
Siapakah pemilik Juventus? Siapkah pemilik Manchester United? Siapakah pemilik Real Madrid? Pertanyaan ini bisa diteruskan kepada 12 klub yang namanya muncul di episode pertama drama ESL. Lalu, sejauh mana UEFA berhak mengontrol kehidupan mereka?
[center]Pertanyaan yang mirip pernah saya diskusikan bersama teman-teman beberapa tahun lalu ketika sepak bola Indonesia pecah dan terjadi dualisme. [b][i]"Apakah FIFA menguasai dan mengontrol hidup dan gerak-gerik seluruh sepak bola di dunia?"
Kesimpulannya diskusi kami waktu itu adalah begini: "Kalau tak mau diatur FIFA, ya jangan bermain sepak bola memakai aturan FIFA."
]Berarti boleh dong membuat aturan sendiri? Ya silakan, selama lawan yang mau dihadapi juga bersedia mengikuti aturan baru itu. Misalnya, bermain 9 vs 9. Lama pertandingan 3 x 35 menit. Ukuran lapangan pun bisa disesuaikan. Yang penting, gak ada aturan FIFA yang dipakai.
Boleh-boleh saja. Begitu pun dengan kompetisi yang dikuasai UEFA. Tapi kalau dikaitkan dengan kompetisi domestik, apakah ada klub yang tidak mau ikut aturan federasi di negara asal? Hanya, bukan ke situ arahnya.
Mari lihat laporan keuangan 12 klub penggagas ESL dari Delloit Football Money League. Ada pembanding pemasukan klub dari 2019 dan 2020... dan benarkah pandemi Covid-19 menjadi pemicu munculnya European Super League? Jangan buru-buru percaya.
Lihat juga berapa banyak utang yang dimiliki klub-klub ESL. Tottenham merasakan momentum membangun stadion baru menjadi tidak tepat ketika pandemi datang dan enggan hilang. Lihatlah jumlah utang mereka di antara 12 klub European Super League.
Apakah klub-klub elite ini tidak berhak mencari jalan guna memenuhi budget yang dibutuhkan untuk mengelola klub yang demikian mahal? Kalau UEFA yang "berkuasa atas mereka" hanya memberikan uang jajan 100 perak, wajar bila mereka melirik organisasi lain yang menjanjikan uang jajan 500 perak. Karena biaya hidup mereka mahal.
Patokan mahal mungkin bisa dilihat dari anggaran Manchester United untuk membayar pemain di seluruh level tim yang mereka punya. Jumlahnya mencapai 188 juta pound atau 3,8 triliun rupiah setiap tahun... ya triliun!
Selamat pandemi, ketiadaan pemasukan dari tiket penonton jelas membuat pengelolaan keuangan organisasi karut-marut. Mereka butuh sumber-sumber alternatif untuk menjaga kelangsungan organisasi klub yang berisikan pemain-pemain bergaji mahal.
Apakah keputusan menggelar European Super League, yang
kemudian dihentikan (sementara), tidak perlu melibatkan suara dan sikap
pendukung klub? Tak perlu ada pandemi, ide ini pun sudah lama mereka rancang. (bersambung) @Weshley Hutagalung
No comments:
Post a Comment