Tuesday, October 30, 2018

Sepak Bola, Suporter, dan Pemain Ke-12


Suporter sepak bola Indonesia (Kukuh Wahyudi)
Apa jadinya sepak bola tanpa suporter? Rasa penasaran terhadap sebutan suporter sebagai “pemain ke-12” dalam sepak bola menjadi ide tulisan yang pernah pernah diterbitkan di Tabloid BOLA pada November 2012.

Satu-satunya hal yang tidak bisa kita kendalikan adalah para pendukung.
Sungguh menarik men­cermati pemikian Jose Mourinho menyikapi peran para pendukung sebuah klub sepak bola.
Pelatih asal Portugal yang pernah berkunjung ke Indonesia pada Juni 2012 itu mengakui betapa pentingnya dukungan penonton dalam strategi permainan yang diraciknya.
Penonton dan pendukung sebuah tim bisa membuat para pemain menampilkan kemam­puan terbaiknya, bahkan melebihi dugaan si pemain itu sendiri.
Di sisi lain, penonton di Stadion Utama Gelora Bung Karno yang mendukung timnas Indonesia saat berlaga di Piala Asia U-19 2018 membuat pemain-pemain muda Uni Emirat Arab grogi dan kemudian kalah 0-1 pada 24 Oktober 2018.
Sulit menemui di negara lain antusiasme besar suporter Indonesia ketika mendukung tim junior. Pemain tamu dibuat "stres"... mungkin itu pilihan kata yang pas... he he he.
Namun, tak jarang para penonton menjadi kerikil tak terkontrol. Bukannya men­jadi amunisi spesial yang menggoyahkan keyakinan lawan, kehadiran spektator malah seperti duri bagi pemainnya.
Pada suatu waktu, Mourinho mengaitkan peran penonton dengan sepak bola negatif yang sempat dicapkan pada dirinya. Katanya, terkadang orang-orang datang ke stadion membawa aspek-aspek negatif dari masyarakat di sekitar. Benar gak sih?
Tak heran bila perkelahian dan sikap rasialisme muncul dari para penonton sepak bola. Atau bahkan mengejek pemain sendiri ketika hasil pertandingan tak sesuai harapan. Hayoo, jangan dibantah!
Saya yakin tindakan seperti itu sulit dikontrol oleh sebuah klub dan akhirnya bisa merugikan perjalanan tim.
Masih ingat sejarah kelam sepak bola bernama “Tragedi Heysel Mei 1985?”
Sejarah kerusuhan suporter dalam tragedi final Piala Champions antara Liverpool dan Juventus itu membuat klub-klub Inggris belajar dari hukuman yang mengasingkan mereka dari panggung elite sepak bola.
Akan tetapi, tentu tak ada yang mem­bantah pentingnya kehadiran para pendukung sebuah tim.
Suporter dan klub sepak bola saling membantu memberi kehidupan dan kebahagiaan.
Oh ya, penasaran gak penonton sepak bola dari negara mana yang dicap suporter terbaik?
Ingin sekali menjawab dengan cepat: INDONESIA.  Ya kan, ya kan?
Penulis di Eropa pernah menyebut suporter klub Celtic FC dari Skotlandia sangat berperan menjadi amunisi tambahan bagi pemainnya. The most dedicated and reliable fans in the world.
Ada juga yang mengatakan suporter sepak bola di Jerman sebagai yang terbaik karena bersikap sopan dan loyal. Kubu lain menyebut fan Inggris dan Brasil karena mereka memuja olah raga ini.
Penonton di Belanda yang menjadikan sepak bola sebagai saluran kegembiraan dan kenikmatan dalam komunitasnya.
Mundur ke tahun 2008, ada sebuah jajak pendapat oleh media massa di Inggris soal siapa negara dengan suporter sepak bola terbaik di dunia.
Jawaban­nya di luar dugaan karena Swedia mendapatkan 33 persen suara responden. Di peringkat kedua muncul Italia dengan 14 persen.
Di Piala Dunia 2002, saya menyak­sikan sendiri bagaimana kekuat­an suporter Korea Selatan men­jadi "amunisi" spesial bagi Park Ji-sung dkk. untuk mengejutkan dunia.
Tak hanya stadion, kota-kota di Korsel memerah oleh pemain ke-12. Menakjubkan!
Perkembangan pemain ke-12, terutama untuk tim nasional, bisa kita saksikan ketika Indonesia menggelar Piala Asia 2007 dan kemudian Piala AFF 2010.
Menarik juga mencermati kenapa angka 12 punya arti khusus dalam sepak bola dan hidup kita.
Dalam peradaban kuno, angka 12 berarti kesempurnaan dan harmonis. Kita memiliki 12 bulan untuk menggenapi waktu setahun.
 Horoskop Cina juga memunculkan 12 hewan.
Masuk ke wilayah sejarah dan kerohanian, Yakub memiliki 12 anak laki-laki yang kemudian memenuhi muka bumi. Yesus Kristus mempunyai 12 murid.
Dalam kosmologi Jepang, Sang Pencipta duduk di atas 12 bantal suci.
Masih banyak lagi kisah dari berbagai negara dan agama yang menyoroti peran angka 12.
Itulah sebabnya julukan suporter sepak bola sebagai pemain ke-12 seharusnya berdampak positif, bukan destruktif. Setuju, kan?
Perumpaan sepak bola tanpa penonton ibarat sayur tanpa garam tentu wajib diikuti dengan menjaga peran pemain ke-12.#

Sunday, October 28, 2018

Bola Jembatan Kehidupan


Kisah ini saya pernah saya tuliskan di Tabloid BOLA edisi Sabtu, 24 November 2012 dan sedikit mendapat polesan disesuaikan dengan waktu saat ini. Perjalanan melihat kehidupan di Pulau Nias dan kembali mengingatkan saya akan kekuatan olahraga, termasuk sepak bola.

Pulau Nias. Tujuh tahun setelah tsunami menghantam pulau di sebelah barat Pulau Sumatra ini, akhirnya saya berkesempatan menginjakkan kaki di sana. 
Bersama tim Chevrolet dalam kegiatan One World Futbol, saya menjadi saksi bagaimana benda bundar bernama bola sepak mampu membuat anak­anak menjadi sangat bergembira dan penuh semangat.
Bola berwarna kuning itu memang bukan benda sembarangan. Si bundar ini dirancang dengan ukuran, berat, dan karakteristik menyerupai bola biasa. Hanya, bahannya menjadi pembeda karena disebut lembam, yakni sangat kuat, tidak beracun, serta tidak pudar.
Mari membayangkan anak­anak yang kehidupan ekonominya tergolong sulit mendapatkan bola yang dapat bertahan jauh lebih lama daripada bola biasa.
Kesukaan mereka memainkan si kulit bundar gampang terganggu akibat  bola yang rusak sementara daya beli sangat rendah untuk mendapatkan penggantinya.
Bola yang tidak membutuhkan pompa dan tidak akan bocor walau terkena benda tajam ini dapat digunakan di semua jenis lapangan, termasuk aspal dan bebatuan.
Ia merupakan kawan bermain yang baik bagi anak­anak dari kelompok kurang mampu.
Wajah­wajah berseri dan senang itulah yang saya lihat dalam liputan kerja ke wilayah Sumatra Utara ini. Setelah memberi bantuan bola sepak kepada SDN di Desa Sigarang­garang, Kabupaten Karo, yang terletak di kaki Gunung Sinabung, rombongan kami mengunjungi dua sekolah di Pulau Nias.
Menarik mendengar ucapan Yohana, salah satu relawan dari anggota LSM Wahana Visi Indonesia mitra World Vision yang membantu pemulihan dan perkembangan sejumlah daerah di Nias sejak 2007, terutama di SD Negeri Hilizia Lawa­Lawa, Kecamatan Hiliserangkai di Nias Tengah.
Begini katanya, “Anak­anak di sini mulai bosan hanya diberikan pelajaran dan pelatihan. Sebagian besar anak laki­laki mulai bertanya kapan mereka diajak bermain sepak bola.”
Rabu, 21 November 2012, saya melihat muka­muka bahagia ketika anak­anak Nias menikmati kebersamaan dengan kawan baru, si bundar berwarna kuning.
Hal yang sama saya dapatkan keesokan harinya ketika rombongan membagikan bola kaki One World Futbol di SD Negeri di Lologolu, Kecamatan Mandreme.
Dari sejumlah sumber di Nias yang saya tanya, sesungguhnya anak­anak di Nias lebih akrab dengan permainan bola voli, itupun memakai bola yang terbuat dari plastik. Baru beberapa tahun terakhir ini mereka mulai akrab dengan sepak bola.
Hal yang menyedihkan dari Nias adalah masih tingginya kekerasan pada anak dalam masyarakat yang disebut sebanyak 95 persen bekerja sebagai petani karet itu.
Ketergantungan pada karet membuat perkembangan masyarakat di daerah ini agak sulit, apalagi kualitas dan kuantitas pohon karet semakin menurun karena tak banyak peremajaan yang dilakukan.
Orang tua kerap meminta anak­anaknya membantu di kebun pohon karet, bahkan mengorbankan sekolah untuk beberapa hari. Waktu bermain dan mengembangkan diri sebagai anak­anak yang wajar mengalami gangguan.
***
Sebagai wartawan olah raga dan penggemar sepak bola, akhirnya saya bisa tersenyum mendengar cerita dari rekan­rekan Wahana Visi Indonesia yang bertugas di Nias bahwa pertandingan­pertandingan sepak bola mulai sering digelar di Gunung Sitoli, baik itu antarsekolah maupun kelompok.
Berada dekat dengan anak­anak di bawah kaki Gunung  Sinabung dan Pulau Nias serta bola sepak khusus One World Futbol ini mengembalikan ingatan saya pada cerita seorang anak di Rwanda bernama Moises.
Alkisah, sejak kecil Moises terlibat dalam kegiatan perang saudara di negaranya. Bahkan, diceritakan pada usia 7 tahun ia sudah menghilangkan nyawa tiga manusia karena tuntutan keadaan.
Moises dan senapan di tangan menjadi salah satu sasaran obyek kamera seorang fotografer asal Amerika, Bobby Sager. Ia ingin menceritakan kisah kehidupan perang saudara di Rwanda.
Tetapi, tak hanya itu, kameranya juga mengabadikan kesukaan anak­anak di Rwanda, termasuk Moises, yang bermain dengan kumpulan plastik dari tempat pembuangan sampah yang diikat sedemikian rupa sehingga membentuk rupa bola.
Ketiadaan uang dan juga sulitnya mendapatkan bola sepak di lokasi perang saudara, kesukaan anak­anak di Rwanda terhadap sepak bola membuat mereka berpikir kreatif. Mereka mencari solusi mendapatkan bagian penting olah raga ini yakni bola sepak.
Jadilah gumpalan plastik yang diikat tersebut menjadi obyek tendangan kaki­kaki anak­anak di Rwanda yang bermain tanpa alas kaki.
Singkat cerita, 4 tahun setelah pertemuan pertama, sang fotografer kembali ke daerah tinggal Moises dengan membawa bola sepak versi One World Futbol.
Dari kumpulan anak­anak yang ia harapkan mau keluar dari jeratan perang saudara, muncul sosok Moises yang sempat menghilang beberapa lama dan dikhawatirkan sudah menjadi korban konflik di Rwanda.
Reuni antara Bobby Sager dengan Moises berujung manis. Sang anak akhirnya menemukan kenikmatan bermain bola yang berhasil menggantikan ikatan kantung plastik.
Berita yang muncul kala itu, Moises pun tak mau lagi angkat senapan dan terlibat dalam perang saudar. Ia kembali menjadi anak­anak yang gemar bermain dengan rekan seusianya.
Siapa bilang sepak bola bukan jembatan perbaikan kehidupan? @weshley

Saturday, October 27, 2018

Berpisah dari Dunia Impian Bernama Tabloid BOLA


Jumat, 26 Oktober 2018 merupakan edisi terakhir Tabloid BOLA. Terbit full colour 60 halaman, edisi itu berisi kumpulan kisah dan sejarah yang mewarnai perjalanan Tabloid BOLA sejak Maret 1984 hingga Oktober 2018.
Saya menjadi bagian dari Tabloid BOLA sejak November 1996 ketika terbit sekali seminggu, lalu dua kali seminggu, 3 kali seminggu, hingga muncul Harian BOLA. Ketika kembali menjadi terbitan dua kali seminggu saya tetap bertahan.
Namun, pada akhirnya saya harus ikut menyudahi peran bersamaan dengan keputusan manajemen menghentikan penerbitan yang disebut “ikon media olahraga Indonesia” itu.
Artikel ini merupakan satu dari sedikit tulisan yang ada di edisi pamungkas Tabloid BOLA dengan judul: “Pengetahuan Versus Perubahan”.
***


Oktober 1996. Saya menjalani proses seleksi untuk menjadi wartawan Tabloid BOLA. Jumat, 1 November 1996, saya mulai rutin berkantor di Palmerah Selatan, alamat redaksi media olahraga milik Kompas Gramedia ini.
Saat melalui sesi wawancara di hadapan Redaktur Pelaksana Tabloid BOLA saat itu, Bang Ian Situmorang, ada dua pertanyaan dan percakapan yang hingga saat ini tak lekang dalam ingatan saya.
“Kamu yakin Inggris yang menang? Dengan pengetahuan seperti itu kamu mau jadi wartawan olahraga?”
Kalimat itu muncul dari Bang Ian Situmorang setelah saya menjawab “Inggris” atas pertanyaan siapa juara Piala Dunia 1966.
Sontak, kepercayaan diri saya yang berambisi menjadi wartawan olahraga digoyang.
“Astaga, apakah saya overconfident karena merasa menjadi pembaca Mingguan/Tabloid BOLA sejak remaja dan percaya atas semua berita yang ada di media tersebut?”
Percakapan lain yang masih saya kenang adalah tentang ukuran lapangan sepak bola. Aduh, tiba-tiba perut mulas karena jawaban saya selalu menemui tembok pemantul yang lansung menghajar rasa percaya diri.
Singkat cerita, saya lolos seleksi dan memulai kehidupan baru sebagai wartawan olahraga, meninggalkan dunia kesehatan, area saya bekerja sebelumnya sebagai wartawan Majalah Higina.
Saya tak bohong untuk mengakui grogi memasuki ruang redaksi dan melihat tokoh-tokoh wartawan yang selama ini karya mereka saya santap nyaris tiada henti.
Ketika remaja, saya harus berbuat nekat untuk dapat menikmati bacaan olahraga. “Meminjam diam-diam” Tabloid BOLA dari perpustakaan sekolah atau milik tetangga yang berlangganan Harian Kompas adalah strategi di benak saya ketika Jumat hendak berganti Sabtu.
Entah bagaimana caranya, pokoknya akhir pekan masa remaja seolah lengkap tanpa duduk santai membaca Tabloid BOLA.
Hingga memasuki bangku kuliah, salah satu santapan nikmat dalam berdiskusi dengan teman-teman dekat adalah membedah halaman per halaman Tabloid BOLA.
Sejak November 1996, hari-hari saya berkutat dengan hobi dan kegemaran, yakni dunia olahraga dan tulis-menulis.
Menjadi wartawan Tabloid BOLA itu istimewa karena jalan untuk bertemu tokoh-tokoh olahraga nasional hingga dunia menjadi mudah.
Apa yang dulu saya baca dan nikmati kini saya yang menyuguhkannya kepada pembaca. Kecemburuan dan kekaguman melihat kedekatan wartawan Tabloid BOLA dengan atlet top ternyata menularjuga ke saya. Mungkin, itulah yang disebut harapan menjadi kenyataan.
***
Pengalaman merasa lebih tahu dan paham atas situasi olahraga setelah membaca Tabloid BOLA dibanding teman-teman mengantarkan saya pada sebuah strategi ketika dipercaya mengepalai desk sepak bola internasional: football knowledge.
Setiap halaman di OLE Internasional harus bisa membuat pembaca yang tidak tahu menjadi paham. Mereka yang lupa diingatkan. Mereka yang ragu-ragu diyakinkan.
Strategi artikel sepak bola internasional itu kemudian dikembangkan menjadi sports knowledge. Bahwa semua isi Tabloid BOLA haruslah bertujuan membuat pembacanya dipenuhi informasi yang berguna.
Pembaca layak mendapatkan informasi berkualitas dan “berbeda” atas sejumlah uang yang mereka keluarkan. Apalagi melihat persaingan dengan media harian yang terbit lebih cepat dari tabloid, begitu pula menyusul perkembangan media online.
“Kenapa saya harus beli Tabloid BOLA?” Pertanyaan masyarakat ini harus bisa dijawab oleh semua wartawan melalui setiap karya yang mereka hasilkan.
“Karena karya kami berbeda dari yang lain.” Berbeda dalam arti memberikan kepuasan lewat informasi dan pengetahuan kepada pembaca saat menikmati setiap karya di seluruh halaman Tabloid BOLA.
Waktu berjalan, perubahan datang begitu cepat menyentuh seluruh aspek kehidupan manusia. Termasuk kebutuhan mendapatkan informasi: cara dan waktunya.
Hantaman tingginya biaya produksi yang menyangkut harga kertas, percetakan, dan distribusi diikuti kemajuan teknologi seolah tak memberi waktu untuk media tradisional bertahan, berbenah mencari solusi.
Setelah menemani pembaca di Tanah Air dan menjadi pengawas sekaligus partner bagi pengambil kebijakan olahraga nasional sejak Maret 1984, Tabloid BOLA milik Kompas Gramedia akhirnya harus menemui ujung perjalanan. Kami pamit.
Seperti postingan seorang rekan di media sosial, “Sesuatu yang pasti dalam hidup ini adalah perubahan.”
Hanya, sering terjadi perubahan itu terlalu cepat untuk dapat dipahami. Adakala perubahan itu sulit diikuti dengan pola pikir yang sama dengan sebelumnya. Apalagi tanpa ambisi di dalamnya.
“Kita tidak dapat mengubah arah angin,” kata Jimmy Dean, penyanyi, aktor, dan penguasaha Amerika Serikat yang sudah tutup usia 8 tahun lalu. “Namun, kita bisa mengatur layar perahu agar tetap mencapai tujuan.” @weshley