Sunday, October 28, 2018

Bola Jembatan Kehidupan


Kisah ini saya pernah saya tuliskan di Tabloid BOLA edisi Sabtu, 24 November 2012 dan sedikit mendapat polesan disesuaikan dengan waktu saat ini. Perjalanan melihat kehidupan di Pulau Nias dan kembali mengingatkan saya akan kekuatan olahraga, termasuk sepak bola.

Pulau Nias. Tujuh tahun setelah tsunami menghantam pulau di sebelah barat Pulau Sumatra ini, akhirnya saya berkesempatan menginjakkan kaki di sana. 
Bersama tim Chevrolet dalam kegiatan One World Futbol, saya menjadi saksi bagaimana benda bundar bernama bola sepak mampu membuat anak­anak menjadi sangat bergembira dan penuh semangat.
Bola berwarna kuning itu memang bukan benda sembarangan. Si bundar ini dirancang dengan ukuran, berat, dan karakteristik menyerupai bola biasa. Hanya, bahannya menjadi pembeda karena disebut lembam, yakni sangat kuat, tidak beracun, serta tidak pudar.
Mari membayangkan anak­anak yang kehidupan ekonominya tergolong sulit mendapatkan bola yang dapat bertahan jauh lebih lama daripada bola biasa.
Kesukaan mereka memainkan si kulit bundar gampang terganggu akibat  bola yang rusak sementara daya beli sangat rendah untuk mendapatkan penggantinya.
Bola yang tidak membutuhkan pompa dan tidak akan bocor walau terkena benda tajam ini dapat digunakan di semua jenis lapangan, termasuk aspal dan bebatuan.
Ia merupakan kawan bermain yang baik bagi anak­anak dari kelompok kurang mampu.
Wajah­wajah berseri dan senang itulah yang saya lihat dalam liputan kerja ke wilayah Sumatra Utara ini. Setelah memberi bantuan bola sepak kepada SDN di Desa Sigarang­garang, Kabupaten Karo, yang terletak di kaki Gunung Sinabung, rombongan kami mengunjungi dua sekolah di Pulau Nias.
Menarik mendengar ucapan Yohana, salah satu relawan dari anggota LSM Wahana Visi Indonesia mitra World Vision yang membantu pemulihan dan perkembangan sejumlah daerah di Nias sejak 2007, terutama di SD Negeri Hilizia Lawa­Lawa, Kecamatan Hiliserangkai di Nias Tengah.
Begini katanya, “Anak­anak di sini mulai bosan hanya diberikan pelajaran dan pelatihan. Sebagian besar anak laki­laki mulai bertanya kapan mereka diajak bermain sepak bola.”
Rabu, 21 November 2012, saya melihat muka­muka bahagia ketika anak­anak Nias menikmati kebersamaan dengan kawan baru, si bundar berwarna kuning.
Hal yang sama saya dapatkan keesokan harinya ketika rombongan membagikan bola kaki One World Futbol di SD Negeri di Lologolu, Kecamatan Mandreme.
Dari sejumlah sumber di Nias yang saya tanya, sesungguhnya anak­anak di Nias lebih akrab dengan permainan bola voli, itupun memakai bola yang terbuat dari plastik. Baru beberapa tahun terakhir ini mereka mulai akrab dengan sepak bola.
Hal yang menyedihkan dari Nias adalah masih tingginya kekerasan pada anak dalam masyarakat yang disebut sebanyak 95 persen bekerja sebagai petani karet itu.
Ketergantungan pada karet membuat perkembangan masyarakat di daerah ini agak sulit, apalagi kualitas dan kuantitas pohon karet semakin menurun karena tak banyak peremajaan yang dilakukan.
Orang tua kerap meminta anak­anaknya membantu di kebun pohon karet, bahkan mengorbankan sekolah untuk beberapa hari. Waktu bermain dan mengembangkan diri sebagai anak­anak yang wajar mengalami gangguan.
***
Sebagai wartawan olah raga dan penggemar sepak bola, akhirnya saya bisa tersenyum mendengar cerita dari rekan­rekan Wahana Visi Indonesia yang bertugas di Nias bahwa pertandingan­pertandingan sepak bola mulai sering digelar di Gunung Sitoli, baik itu antarsekolah maupun kelompok.
Berada dekat dengan anak­anak di bawah kaki Gunung  Sinabung dan Pulau Nias serta bola sepak khusus One World Futbol ini mengembalikan ingatan saya pada cerita seorang anak di Rwanda bernama Moises.
Alkisah, sejak kecil Moises terlibat dalam kegiatan perang saudara di negaranya. Bahkan, diceritakan pada usia 7 tahun ia sudah menghilangkan nyawa tiga manusia karena tuntutan keadaan.
Moises dan senapan di tangan menjadi salah satu sasaran obyek kamera seorang fotografer asal Amerika, Bobby Sager. Ia ingin menceritakan kisah kehidupan perang saudara di Rwanda.
Tetapi, tak hanya itu, kameranya juga mengabadikan kesukaan anak­anak di Rwanda, termasuk Moises, yang bermain dengan kumpulan plastik dari tempat pembuangan sampah yang diikat sedemikian rupa sehingga membentuk rupa bola.
Ketiadaan uang dan juga sulitnya mendapatkan bola sepak di lokasi perang saudara, kesukaan anak­anak di Rwanda terhadap sepak bola membuat mereka berpikir kreatif. Mereka mencari solusi mendapatkan bagian penting olah raga ini yakni bola sepak.
Jadilah gumpalan plastik yang diikat tersebut menjadi obyek tendangan kaki­kaki anak­anak di Rwanda yang bermain tanpa alas kaki.
Singkat cerita, 4 tahun setelah pertemuan pertama, sang fotografer kembali ke daerah tinggal Moises dengan membawa bola sepak versi One World Futbol.
Dari kumpulan anak­anak yang ia harapkan mau keluar dari jeratan perang saudara, muncul sosok Moises yang sempat menghilang beberapa lama dan dikhawatirkan sudah menjadi korban konflik di Rwanda.
Reuni antara Bobby Sager dengan Moises berujung manis. Sang anak akhirnya menemukan kenikmatan bermain bola yang berhasil menggantikan ikatan kantung plastik.
Berita yang muncul kala itu, Moises pun tak mau lagi angkat senapan dan terlibat dalam perang saudar. Ia kembali menjadi anak­anak yang gemar bermain dengan rekan seusianya.
Siapa bilang sepak bola bukan jembatan perbaikan kehidupan? @weshley

No comments:

Post a Comment