Kisah ini saya
pernah saya tuliskan di Tabloid BOLA edisi Sabtu, 24 November 2012 dan sedikit
mendapat polesan disesuaikan dengan waktu saat ini. Perjalanan melihat
kehidupan di Pulau Nias dan kembali mengingatkan saya akan kekuatan olahraga,
termasuk sepak bola.
Pulau Nias.
Tujuh tahun setelah tsunami menghantam pulau di sebelah barat Pulau Sumatra
ini, akhirnya saya berkesempatan menginjakkan kaki di sana.
Bersama tim Chevrolet
dalam kegiatan “One World Futbol”,
saya menjadi saksi bagaimana benda bundar bernama bola sepak mampu membuat
anakanak menjadi sangat bergembira dan penuh semangat.
Bola berwarna
kuning itu memang bukan benda sembarangan. Si bundar ini dirancang dengan
ukuran, berat, dan karakteristik menyerupai bola biasa. Hanya,
bahannya menjadi pembeda karena disebut lembam, yakni sangat kuat, tidak
beracun, serta tidak pudar.
Mari membayangkan
anakanak yang kehidupan ekonominya tergolong sulit mendapatkan bola yang dapat
bertahan jauh lebih lama daripada bola biasa.
Kesukaan mereka
memainkan si kulit bundar gampang terganggu
akibat bola yang rusak sementara daya
beli sangat rendah untuk mendapatkan penggantinya.
Bola yang tidak
membutuhkan pompa dan tidak akan bocor walau terkena benda tajam ini dapat
digunakan di semua jenis lapangan, termasuk aspal dan bebatuan.
Ia merupakan
kawan bermain yang baik bagi anakanak dari kelompok kurang mampu.
Wajahwajah
berseri dan senang itulah yang saya lihat dalam liputan kerja ke wilayah Sumatra
Utara ini. Setelah memberi bantuan bola sepak
kepada SDN di Desa Sigaranggarang, Kabupaten Karo, yang terletak di kaki
Gunung Sinabung, rombongan kami mengunjungi dua sekolah di Pulau Nias.
Menarik
mendengar ucapan Yohana, salah satu relawan dari anggota LSM Wahana Visi
Indonesia mitra World Vision yang membantu pemulihan dan perkembangan sejumlah
daerah di Nias sejak 2007, terutama di SD Negeri Hilizia LawaLawa, Kecamatan
Hiliserangkai di Nias Tengah.
Begini katanya,
“Anakanak di sini mulai bosan hanya diberikan pelajaran dan pelatihan.
Sebagian besar anak lakilaki mulai bertanya kapan mereka diajak bermain sepak
bola.”
Rabu, 21
November 2012, saya melihat mukamuka bahagia ketika anakanak Nias menikmati
kebersamaan dengan kawan baru, si bundar berwarna kuning.
Hal yang sama
saya dapatkan keesokan harinya ketika rombongan membagikan bola kaki “One
World Futbol” di SD Negeri di Lologolu, Kecamatan
Mandreme.
Dari sejumlah
sumber di Nias yang saya tanya, sesungguhnya anakanak di Nias lebih akrab
dengan permainan bola voli, itupun memakai bola yang terbuat dari plastik. Baru
beberapa tahun terakhir ini mereka mulai akrab dengan sepak bola.
Hal yang
menyedihkan dari Nias adalah masih tingginya kekerasan pada anak dalam masyarakat
yang disebut sebanyak 95 persen bekerja sebagai petani karet itu.
Ketergantungan
pada karet membuat perkembangan masyarakat di daerah ini agak sulit, apalagi
kualitas dan kuantitas pohon karet semakin menurun karena tak banyak peremajaan
yang dilakukan.
Orang tua kerap
meminta anakanaknya membantu di kebun pohon karet, bahkan mengorbankan sekolah
untuk beberapa hari. Waktu bermain dan mengembangkan diri sebagai anakanak
yang wajar mengalami gangguan.
***
Sebagai wartawan
olah raga dan penggemar sepak bola, akhirnya saya bisa tersenyum mendengar
cerita dari rekanrekan Wahana Visi Indonesia yang bertugas di Nias bahwa
pertandinganpertandingan sepak bola mulai sering digelar di Gunung Sitoli,
baik itu antarsekolah maupun kelompok.
Berada dekat
dengan anakanak di bawah kaki Gunung
Sinabung dan Pulau Nias serta bola sepak khusus “One
World Futbol” ini mengembalikan ingatan saya pada
cerita seorang anak di Rwanda bernama Moises.
Alkisah, sejak
kecil Moises terlibat dalam kegiatan perang saudara di negaranya. Bahkan,
diceritakan pada usia 7 tahun ia sudah menghilangkan nyawa tiga
manusia karena tuntutan keadaan.
Moises dan
senapan di tangan menjadi salah satu sasaran obyek kamera seorang fotografer
asal Amerika, Bobby Sager. Ia ingin menceritakan kisah kehidupan
perang saudara di Rwanda.
Tetapi,
tak hanya itu, kameranya juga mengabadikan kesukaan anakanak di Rwanda,
termasuk Moises, yang bermain dengan kumpulan plastik dari tempat pembuangan
sampah yang diikat sedemikian rupa sehingga membentuk rupa bola.
Ketiadaan uang
dan juga sulitnya mendapatkan bola sepak di lokasi perang saudara, kesukaan
anakanak di Rwanda terhadap sepak bola membuat mereka berpikir kreatif. Mereka
mencari solusi mendapatkan bagian penting olah raga ini yakni bola sepak.
Jadilah gumpalan
plastik yang diikat tersebut menjadi obyek tendangan kakikaki anakanak di
Rwanda yang bermain tanpa alas kaki.
Singkat cerita, 4
tahun setelah pertemuan pertama, sang fotografer kembali ke daerah tinggal
Moises dengan membawa bola sepak versi “One World
Futbol”.
Dari kumpulan
anakanak yang ia harapkan mau keluar dari jeratan perang saudara, muncul sosok
Moises yang sempat menghilang beberapa lama dan dikhawatirkan sudah menjadi
korban konflik di Rwanda.
Reuni antara
Bobby Sager dengan Moises berujung manis. Sang anak akhirnya menemukan
kenikmatan bermain bola yang berhasil menggantikan ikatan kantung plastik.
Berita yang muncul
kala itu, Moises
pun tak mau lagi angkat senapan dan terlibat dalam perang saudar. Ia kembali
menjadi anakanak yang gemar bermain dengan rekan seusianya.
Siapa bilang
sepak bola bukan jembatan perbaikan kehidupan? @weshley
No comments:
Post a Comment