Thursday, November 29, 2018

Jangan Ada Kecurigaan di Sepak Bola Indonesia


"Sepak bola Indonesia itu harusnya milik semua warga negara ini, bukan hanya segilintir orang yang bisa menentukan apa yang dia suka."

Kamis pagi, 29 Oktober 2018. Di sebuah hotel di ibu kota, saya bertemu dengan salah satu sosok yang saya kagumi di panggung sepak bola nasional.
            Saya termasuk generasi yang beruntung masih sempat menyaksikan Fakhri Husaini beraksi mengenakan kostum timnas Indonesia.
            Fakhri Husaini yang saya kenal adalah gelandang elegan dengan kreativitas tinggi. Saya menyebutnya “pesepak bola pintar”.
Kemampuannya di lapangan seolah mempertontonkan apa yang ada di dalam benaknya.
            Benar. Sebagai pelatih, Fakhri Husaini memperlihatkan bahwa sepak bola itu bisa dimainkan dengan baik dan menghibur. Serta bisa dikelola dengan baik selama semua pihak memiliki tujuan yang sama.
            Nama Fakhri Husaini belakangan mencuat ketika menghadirkan kekaguman pencinta sepak bola nasional bersama Bagus Kahfi  dkk yang membela timnas Indonesia di Piala AFF dan Piala Asia U-16 2018.
            Gaya bermain tim asuhannya membawa masyarakat Indonesia pada sebuah harapan: sepak bola yang berprestasi.
            Kemudian, atas pencapaian timnas senior yang kembali melempem di Piala AFF 2018, nama Fakhri Husaini disebut-sebut sebagai pelatih yang akan memperbaiki situasi. Benarkah?
            Tidak, kali ini saya tidak akan mengungkapkan semua hasil pembicaraan dengan coach Fakhri Husaini. Termasuk dengan rencana-rencananya ke depan.
            Dalam pertemuan selama sekitar 3 jam itu, Fakhri Husaini mengingatkan saya agar jangah pernah takut menghadapi tekanan dari pihak lain.
Katanya, “Kalau kita memang benar, tidak menyembunyikan sesuatu, kenapa takut menghadapi dan menjawab semua pertanyaan masyarakat, termasuk di muka umum?”
Tekanan terhadap PSSI belakangan ini setelah gagal total di Piala AFF 2018 memang merisaukan banyak stakeholders sepak bola nasional, termasuk Fakhri Husaini.
Melatih timnas Indonesia adalah sebuah kebanggaan bagi setiap pelatih di Indonesia. Begitu pula bagi Fakhri Husaini, yang namanya disebut-sebut oleh sebagian pihak untuk kembali bertugas ke tim nasional Indonesia.
“Sebagai warga negara yang baik, kita tidak boleh menolak tugas untuk mengharumkan bangsa, termasuk lewat sepak bola,” kata Fakhri Husaini dengan wajah serius. “Selama ada kesepakatan dengan pihak-pihak terkait, nama Indonesia harus didahulukan.”
Namun, ia ingin setiap pihak yang terkait dalam pengelolaan sepak bola di Tanah Air harus memiliki tujuan dan harapan yang sama. Tak boleh ada kecurigaan terhadap mereka yang mengelola sepak bola di negeri ini akibat kepentingan yang berbeda.
“Satu hal lagi, jangan pernah menghindar untuk menyampaikan kebenaran bila memang tidak ada yang ditutup-tutupi.” Sepakat, coach! #

Thursday, November 22, 2018

Haruskah Kita Meninggalkan Timnas Indonesia?


Seorang pelatih sepak bola pernah berkata kepada saya, “Puncak karier pemain adalah terpilih dan bermain untuk tim nasional.”

Dalam perkembangan terlibat dalam dunia olahraga nasional, saya bisa dekat dengan tim nasional Indonesia. Sebagai wartawan, akses meliput dan mewawancarai pelatih atau pemain timnas dipermudah.
Kecintaan terhadap tim nasional tidak pernah luntur walau yang dicintai terlalu lama tidak memberikan “jawaban” atas pertanyaan bertahun-tahun.
Ya, untuk level timnas senior kita masih harus menanti kapan Garuda Merah Putih memberikan gelar juara setelah medali emas SEA Games 1991.
Kegagalan terakhir milik timnas senior adalah di Piala AFF 2018. Sebelum melakoni laga terakhir atau yang ke-4 di Grup B, Indonesia sudah dipastikan tidak lolos ke babak berikut. Astaga!
Bahkan, timnas Indonesia menelan dua kekalahan dalam tiga pertandingan tersebut. Amit-amit, jangan sampai deh menjadi tiga ketika menjamu Filipina di Stadion Utama Gelora Bung Karno pada Minggu (25/11).
Sejak nyaris juara, ya nyaris, di Piala AFF 2010, terpuruk di fase grup seperti di Piala AFF 2018 bukan hal baru.
Piala AFF 2012 dan 2014 menjadi bukti betapa kisruh sepak bola nasional memakan korban tim nasional kita sendiri. Setelah menjadi runner-up di AFF 2010, masak timnas Indonesia terkulai di dua episode berikut?
Kekalahan 0-1 di Singapura pada Piala AFF 2018 memang bisa ditebus dengan kemenangan 3-1 atas Timor Lesta, walau di mata saya tidak mengesankan penampilan tim yang siap juara.
Bila timnas Yunani bisa tampil mengejutkan di Piala Eropa 2004, kenapa Indonesia tidak bisa menghadirkan kejutan serupa di Piala AFF 2018? Begitu pemikiran yang coba saya bangun sebelum laga melawan Thailand di Bangkok.
Selalu ada harapan. Itulah keyakinan saya, walau harus jujur diakui terkesan dipaksakan melihat cara dan kualitas bermain tim asuhan Bima Sakti.
Jerman bisa kok menghantam Brasil di hadapan pendukung lawan pada  semifinal Piala Dunia 2014 dengan skor telak 7-1, kenapa Indonesia tidak bisa melakukannya atas Thailand?
Namun, hasil di Bangkok semakin mempertegas alasan teriak-teriak kekecewaan pencinta sepak bola di Tanah Air. Indonesia kalah 2-4 dari Thailand.
Kemudian, hasil seri 1-1 antara Filipina vs Thailand memastikan nasib timnas Indonesia terlempar dari peluang melaju ke semifinal Piala AFF 2018.
Protes ketidakpuasan atas kepemimpinan pengurus PSSI saat ini karena pencapaian tim nasional Indonesia berlanjut dengan sikap menolak datang ke stadion mendukung Hansamu Yama dkk.
Muncullah #KosongkanGBK yang ramai dibahas ketika Indonesia menjamu Timor Leste di laga kedua Grup B Piala AFF 2018.  Aduhhh!
Benarkah itu tindakan yang tepat? Protes atas penampilan dan kualitas timnas atau karena harga tiket yang mahal? Semoga tidak dicampuradukkan.
Sebagai warga Indonesia, saya hanya punya satu wakil di cabang sepak bola. Ya, timnas Indonesia yang saat ini dilatih Bima Sakti dan akan bertanding melawan Filipina di Stadion Gelora Bung Karno pada Minggu (25/11).
Kekecewaan seseorang mungkin saja berwujud menolak menonton langsung timnas, namun hendaknya tidak dengan berteriak mengajak orang lain menjauh dari timnas Indonesia.
Bila masyarakat Indonesia tidak lagi merasa memiliki tim nasional atau tidak merasa terwakili oleh para pemain dengan logo burung Garuda di dada, lalu masihkah tim nasional itu merupakan puncak karier pesepak bola di negeri ini?
Mengelola sepak bola di negeri ini ibarat pekerjaan tiada berkesudahan bertarung dengan masalah. Membuat kita geleng-geleng kepala sampai oleng.
Semua pihak punya kepentingan. Namun, apakah kepentingan mengharumkan nama Indonesia berada di atas segalanya? Tema ini menarik untuk kita diskusikan. #

Saturday, November 17, 2018

Nasionalis dan Rasionalis Pencinta Timnas Indonesia


Pendukung timnas Indonesia itu ada beberapa tipe. Namun, yang baru-baru ini "menyapa" di ruang saya adalah mereka yang gerah mendengar ulasan kemudian menuding kurang nasionalis.



Piala AFF 2018. Saya mendapatkan kesempatan menemani pencinta timnas Indonesia ketika pasukan asuhan Bima Sakti berlaga melawan Singapura dan Timor Leste di dua laga Grup B Piala AFF 2018.
Hasilnya berbeda. Timnas Indonesia kalah 0-1 di Singapura (9/11) dan menang 3-1 atas Timor Leste (13/11) di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta.
Akan tetapi, ada kesamaan dua laga tersebut yang tampak di mata saya. Selain memelototi data dari situs resmi kejuaraan, tentu sebagai pengamat sepak bola saya juga melihat aspek-aspek lain.
Karena pembanding paling dekat adalah timnas kita di Asian Games 2018, tentu tak salah melihat perbedaan nyata tim asuhan Luis Milla dan Bima Sakti.
Memang, di timnas Asian Games 2018 asuhan Luis Milla ada nama Bima Sakti sebagai asisten pelatih.
Fondasi timnas Indonesia di Piala AFF 2018 asuhan Bima Saktu tak jauh berbeda dari timnas Indonesia di Asian Games 2018 arahan Luis Milla.
Akan tetapi, tidakkah terlihat perbedaan nyata dari cara Evan Dimas dkk bermain?
Ketika pemain Singapura membangun garis pertahanan lebih ke tengah dan tidak membiarkan pemain kita leluasa menguasai bola untuk membangun penyerangan, adalah wajar bila saya tak henti berharap ada perubahan taktik dari Bima Sakti, Kurniawan Dwi Yulianto, dan Kurnia Sandi sebagai arsitek timnas.
Ketika Thailand mendapatkan 3 gol ke gawang Timor Leste dalam 31 menit pertandingan, masak saya memberikan pujian kepada timnas yang hanya punya 1 tembakan on target dalam 45 menit awal... dan kebobolan! Alamak.
Tak ada yang ingin timnas Indonesia kalah. Semua ingin melihat nama Indonesia tercantum untuk pertama kali dalam daftar juara Piala AFF, ajang bergengsi negara-negara di Asia Tenggara.
Akan tetapi, kritikan dari penonton bahwa saya kurang memberikan pujian dan semangat saat bertugas di RCTI memperlihatkan kelompok penonton sepak bola yang saya maksudkan di atas.
Sebagian besar setuju dengan analisis yang saya sampaikan bahwa permainan timnas Indonesia di dua laga awal Grup B Piala AFF 2018 belum memperlihatkan level yang dibutuhkan untuk menjuarai ajang ini.
Saya juga menggarisbawahi kinerja tiga pihak yang berperan untuk menjawab apakah kita ingin timnas Indonesia juara Piala AFF?
Federasi, pengelola kompetisi, dan klub yang memiliki pemain harus berada dalam frekuensi yang sama, tujuan yang sama.
Saya pun mempertanyakan kejuaraan apa yang paling masuk akal untuk dimenangi timnas Indonesia dalam jangka pendek.
Ya, gelar juara Piala AFF dan SEA Games jelas lebih mudah diraih ketimbang Piala Asia, Olimpiade, apalagi Piala Dunia.
Apakah federasi pengelola sepak bola di negeri ini mencoret Piala AFF (dan SEA Games) sebagai target "hadiah" bagi masyarakat Indonesia sehingga gagal memiliki pelatih selepas Asian Games 2018?
Juga pengelola liga masih tak kuasa untuk tidak menjalankan roda kompetisi ketika Piala AFF 2018 digelar.
Lihat apa yang dilakukan negara lain peserta kejuaraan dengan kompetisi mereka saat AFF Suzuki Cup 2018 digelar.
Tulisan ini bukan untuk menjawab kritikan bahwa saya kurang bersikap optimistis dan nasionalis. No!
Tak ada yang salah dengan berteriak-teriak mendukung timnas dan memberi semangat pemain di studio RCTI. Tetapi, apakah para pemain mendengarkannya dan bisa mengubah keadaan di lapangan?
Saya lebih memilih menemani penonton dengan paparan data dan analisis untuk melihat lebih komprehensif alias lebih luas situasi terkait timnas.
Sehingga, penonton bisa memutuskan mau bersikap seperti apa atas tontonan yang ia lihat serta pemaparan yang kami sampaikan.
Ketika saya dan Bung Hadi "Ahaiii" Gunawan beberapa kali menceritakan siapa itu Fandi Ahmad, pelatih Singapura, ada saja penonton yang merasa terganggu.
Mereka lebih suka kami berteriak "ayo Indonesia" atau "kamu bisa, kamu pasti bisa" daripada mendengar latar belakang Fandi Ahmad yang sangat mengenal sepak bola Indonesia serta kualitasnya sebagai pemain dan pelatih. Aneh juga ya.
Sekali lagi, kita bisa memilih masuk ke kelompok mana sebagai pencinta dan pendukung timnas Indonesia.
Saya memilih mendukung dengan bersikap rasionalistis tanpa mengurangi kadar cinta terhadap timnas Indonesia serta pertemanan dengan coach Bima Sakti, Kurniawan Dwi Yulianto, dan Kurnia Sandi. #

Friday, November 16, 2018

Menang, Kalah, dan Cinta

Sepak bola, begitu pula tentang pertandingan dari cabang olahraga lain, tak lepas dari menang dan kalah.

Rasanya kita sepakat bahwa dalam kondisi normal, tak ada atlet yang sudah capek-capek latihan kemudian turun bertanding untuk kalah.
Bayangkan betapa banyak waktu dan tenaga yang sudah dipakai para atlet sejak usia muda untuk menjalani latihan dan kemudian bertanding membawa harapan banyak orang.
Mungkinkah mereka mau membuang semua pengorbanan sejak masa kecil itu untuk kemudian kalah di panggung laga?
Satu atau kumpulan atlet bertanding tidak hanya untuk kemegahan diri mereka, juga membawa harapan dan kesukaan banyak orang.
Nah, ketika si atlet kalah atau gagal memuaskan harapan para pendukungnya, terkadang reaksi yang muncul adalah umpatan dan makian.
Umpatan, kekecewaan, makian, atau apapun namanya seolah menjadi kebiasaan ketika kekalahan adalah jawaban atas harapan yang kita bawa menyaksikan pertandingan.
Sepak bola, dan juga cabang olahraga lain, mengajarkan kita untuk menerima hasil pertandingan (kehidupan). Bukankah yang menang hanya 1 pihak dan yang lain harus menerima status kalah?
Totalitas atlet itu diarahkan saat persiapan dan proses bertanding. Setelahnya? Kita harus menerima hasil yang diputuskan.
Kemudian, sikap atlet setelah pertandingan adalah: mempertahankan kemenangan atau memperbaiki kegagagalan. Semuanya melalui proses, bukan pemberian.
Totalitas penonton? Tak perlu mengumbar kebencian dan umpatan. Kekalahan bukan berarti kemudian meninggalkan jagoan.
Mendukung ketika tim kesayangan kita menang itu sungguh mudah. Tetapi, tetap mendukung dalam kekalahan adalah sebuah wujud kecintaan sejati.#