Thursday, November 22, 2018

Haruskah Kita Meninggalkan Timnas Indonesia?


Seorang pelatih sepak bola pernah berkata kepada saya, “Puncak karier pemain adalah terpilih dan bermain untuk tim nasional.”

Dalam perkembangan terlibat dalam dunia olahraga nasional, saya bisa dekat dengan tim nasional Indonesia. Sebagai wartawan, akses meliput dan mewawancarai pelatih atau pemain timnas dipermudah.
Kecintaan terhadap tim nasional tidak pernah luntur walau yang dicintai terlalu lama tidak memberikan “jawaban” atas pertanyaan bertahun-tahun.
Ya, untuk level timnas senior kita masih harus menanti kapan Garuda Merah Putih memberikan gelar juara setelah medali emas SEA Games 1991.
Kegagalan terakhir milik timnas senior adalah di Piala AFF 2018. Sebelum melakoni laga terakhir atau yang ke-4 di Grup B, Indonesia sudah dipastikan tidak lolos ke babak berikut. Astaga!
Bahkan, timnas Indonesia menelan dua kekalahan dalam tiga pertandingan tersebut. Amit-amit, jangan sampai deh menjadi tiga ketika menjamu Filipina di Stadion Utama Gelora Bung Karno pada Minggu (25/11).
Sejak nyaris juara, ya nyaris, di Piala AFF 2010, terpuruk di fase grup seperti di Piala AFF 2018 bukan hal baru.
Piala AFF 2012 dan 2014 menjadi bukti betapa kisruh sepak bola nasional memakan korban tim nasional kita sendiri. Setelah menjadi runner-up di AFF 2010, masak timnas Indonesia terkulai di dua episode berikut?
Kekalahan 0-1 di Singapura pada Piala AFF 2018 memang bisa ditebus dengan kemenangan 3-1 atas Timor Lesta, walau di mata saya tidak mengesankan penampilan tim yang siap juara.
Bila timnas Yunani bisa tampil mengejutkan di Piala Eropa 2004, kenapa Indonesia tidak bisa menghadirkan kejutan serupa di Piala AFF 2018? Begitu pemikiran yang coba saya bangun sebelum laga melawan Thailand di Bangkok.
Selalu ada harapan. Itulah keyakinan saya, walau harus jujur diakui terkesan dipaksakan melihat cara dan kualitas bermain tim asuhan Bima Sakti.
Jerman bisa kok menghantam Brasil di hadapan pendukung lawan pada  semifinal Piala Dunia 2014 dengan skor telak 7-1, kenapa Indonesia tidak bisa melakukannya atas Thailand?
Namun, hasil di Bangkok semakin mempertegas alasan teriak-teriak kekecewaan pencinta sepak bola di Tanah Air. Indonesia kalah 2-4 dari Thailand.
Kemudian, hasil seri 1-1 antara Filipina vs Thailand memastikan nasib timnas Indonesia terlempar dari peluang melaju ke semifinal Piala AFF 2018.
Protes ketidakpuasan atas kepemimpinan pengurus PSSI saat ini karena pencapaian tim nasional Indonesia berlanjut dengan sikap menolak datang ke stadion mendukung Hansamu Yama dkk.
Muncullah #KosongkanGBK yang ramai dibahas ketika Indonesia menjamu Timor Leste di laga kedua Grup B Piala AFF 2018.  Aduhhh!
Benarkah itu tindakan yang tepat? Protes atas penampilan dan kualitas timnas atau karena harga tiket yang mahal? Semoga tidak dicampuradukkan.
Sebagai warga Indonesia, saya hanya punya satu wakil di cabang sepak bola. Ya, timnas Indonesia yang saat ini dilatih Bima Sakti dan akan bertanding melawan Filipina di Stadion Gelora Bung Karno pada Minggu (25/11).
Kekecewaan seseorang mungkin saja berwujud menolak menonton langsung timnas, namun hendaknya tidak dengan berteriak mengajak orang lain menjauh dari timnas Indonesia.
Bila masyarakat Indonesia tidak lagi merasa memiliki tim nasional atau tidak merasa terwakili oleh para pemain dengan logo burung Garuda di dada, lalu masihkah tim nasional itu merupakan puncak karier pesepak bola di negeri ini?
Mengelola sepak bola di negeri ini ibarat pekerjaan tiada berkesudahan bertarung dengan masalah. Membuat kita geleng-geleng kepala sampai oleng.
Semua pihak punya kepentingan. Namun, apakah kepentingan mengharumkan nama Indonesia berada di atas segalanya? Tema ini menarik untuk kita diskusikan. #

No comments:

Post a Comment