Seorang pelatih sepak bola pernah berkata
kepada saya, “Puncak karier pemain adalah terpilih dan bermain untuk
tim nasional.”
Dalam perkembangan terlibat dalam dunia
olahraga nasional, saya bisa dekat dengan tim nasional Indonesia. Sebagai
wartawan, akses meliput dan mewawancarai pelatih atau pemain timnas dipermudah.
Kecintaan terhadap tim nasional tidak pernah
luntur walau yang dicintai terlalu lama tidak memberikan “jawaban” atas
pertanyaan bertahun-tahun.
Ya, untuk level timnas senior kita masih harus
menanti kapan Garuda Merah Putih memberikan gelar juara setelah medali emas SEA
Games 1991.
Kegagalan terakhir milik timnas senior adalah
di Piala AFF 2018. Sebelum melakoni laga terakhir atau yang ke-4 di Grup B,
Indonesia sudah dipastikan tidak lolos ke babak berikut. Astaga!
Bahkan, timnas Indonesia menelan dua kekalahan
dalam tiga pertandingan tersebut. Amit-amit,
jangan sampai deh menjadi tiga ketika
menjamu Filipina di Stadion Utama Gelora Bung Karno pada Minggu (25/11).
Sejak nyaris juara, ya nyaris, di Piala AFF
2010, terpuruk di fase grup seperti di Piala AFF 2018 bukan hal baru.
Piala AFF 2012 dan 2014 menjadi bukti betapa
kisruh sepak bola nasional memakan korban tim nasional kita sendiri. Setelah
menjadi runner-up di AFF 2010, masak
timnas Indonesia terkulai di dua episode berikut?
Kekalahan 0-1 di Singapura pada Piala AFF 2018
memang bisa ditebus dengan kemenangan 3-1 atas Timor Lesta, walau di mata saya
tidak mengesankan penampilan tim yang siap juara.
Bila timnas Yunani bisa tampil mengejutkan di
Piala Eropa 2004, kenapa Indonesia tidak bisa menghadirkan kejutan serupa di
Piala AFF 2018? Begitu pemikiran yang coba saya bangun sebelum laga melawan
Thailand di Bangkok.
Selalu ada harapan. Itulah keyakinan saya,
walau harus jujur diakui terkesan dipaksakan melihat cara dan kualitas bermain
tim asuhan Bima Sakti.
Jerman bisa kok
menghantam Brasil di hadapan pendukung lawan pada semifinal Piala Dunia 2014 dengan skor telak
7-1, kenapa Indonesia tidak bisa melakukannya atas Thailand?
Namun, hasil di Bangkok semakin mempertegas alasan teriak-teriak kekecewaan pencinta sepak bola di Tanah Air. Indonesia kalah 2-4
dari Thailand.
Kemudian, hasil seri 1-1 antara Filipina vs Thailand memastikan
nasib timnas Indonesia terlempar dari peluang melaju ke semifinal Piala AFF
2018.
Protes ketidakpuasan atas kepemimpinan pengurus
PSSI saat ini karena pencapaian tim nasional Indonesia berlanjut dengan sikap
menolak datang ke stadion mendukung Hansamu Yama dkk.
Muncullah #KosongkanGBK yang ramai dibahas
ketika Indonesia menjamu Timor Leste di laga kedua Grup B Piala AFF 2018. Aduhhh!
Benarkah itu tindakan yang tepat? Protes atas
penampilan dan kualitas timnas atau karena harga tiket yang mahal? Semoga tidak
dicampuradukkan.
Sebagai warga Indonesia, saya hanya punya satu
wakil di cabang sepak bola. Ya, timnas Indonesia yang saat ini dilatih Bima
Sakti dan akan bertanding melawan Filipina di Stadion Gelora Bung Karno pada Minggu (25/11).
Kekecewaan seseorang mungkin saja berwujud
menolak menonton langsung timnas, namun hendaknya tidak dengan berteriak mengajak orang
lain menjauh dari timnas Indonesia.
Bila masyarakat Indonesia tidak lagi merasa
memiliki tim nasional atau tidak merasa terwakili oleh para pemain dengan logo burung
Garuda di dada, lalu masihkah tim nasional itu merupakan puncak karier pesepak
bola di negeri ini?
Mengelola sepak bola di negeri ini ibarat
pekerjaan tiada berkesudahan bertarung dengan masalah. Membuat kita
geleng-geleng kepala sampai oleng.
Semua pihak punya kepentingan. Namun, apakah
kepentingan mengharumkan nama Indonesia berada di atas segalanya? Tema ini
menarik untuk kita diskusikan. #
No comments:
Post a Comment