Friday, November 16, 2018

Menang, Kalah, dan Cinta

Sepak bola, begitu pula tentang pertandingan dari cabang olahraga lain, tak lepas dari menang dan kalah.

Rasanya kita sepakat bahwa dalam kondisi normal, tak ada atlet yang sudah capek-capek latihan kemudian turun bertanding untuk kalah.
Bayangkan betapa banyak waktu dan tenaga yang sudah dipakai para atlet sejak usia muda untuk menjalani latihan dan kemudian bertanding membawa harapan banyak orang.
Mungkinkah mereka mau membuang semua pengorbanan sejak masa kecil itu untuk kemudian kalah di panggung laga?
Satu atau kumpulan atlet bertanding tidak hanya untuk kemegahan diri mereka, juga membawa harapan dan kesukaan banyak orang.
Nah, ketika si atlet kalah atau gagal memuaskan harapan para pendukungnya, terkadang reaksi yang muncul adalah umpatan dan makian.
Umpatan, kekecewaan, makian, atau apapun namanya seolah menjadi kebiasaan ketika kekalahan adalah jawaban atas harapan yang kita bawa menyaksikan pertandingan.
Sepak bola, dan juga cabang olahraga lain, mengajarkan kita untuk menerima hasil pertandingan (kehidupan). Bukankah yang menang hanya 1 pihak dan yang lain harus menerima status kalah?
Totalitas atlet itu diarahkan saat persiapan dan proses bertanding. Setelahnya? Kita harus menerima hasil yang diputuskan.
Kemudian, sikap atlet setelah pertandingan adalah: mempertahankan kemenangan atau memperbaiki kegagagalan. Semuanya melalui proses, bukan pemberian.
Totalitas penonton? Tak perlu mengumbar kebencian dan umpatan. Kekalahan bukan berarti kemudian meninggalkan jagoan.
Mendukung ketika tim kesayangan kita menang itu sungguh mudah. Tetapi, tetap mendukung dalam kekalahan adalah sebuah wujud kecintaan sejati.#

No comments:

Post a Comment