Saturday, October 31, 2020

Gareth Bale Sekarang dan Gareth Bale Dahulu

Selain sebagai pemain sepak bola, apakah kesamaan Gareth Bale, Cristiano Ronaldo, Lionel Messi, dan David Beckham yang terlintas di benak kita?

Empat nama ini hanyalah contoh dari sekian banyak orang yang menjalani perubahan dalam kehidupannya. Terkadang, perubahan itu baru bisa dimaksimalkan untuk kebaikan ketika kita keluar dari comfort zone alias zona nyaman.

Apakah Gareth Bale yang kembali ke Tottenham Hotspur musim 2020-2021 adalah pemain yang sama ketika membela Tottenham pada kurun waktu 2007-2013? Sebuah pertanyaan sederhana, namun membawa kita pada sebuah hukum kepastian, yaitu sesuatu yang pasti dalam hidup ini adalah perubahan.

Dalam sebuah jumpa pers, pelatih Jose Mourinho mengingatkan kita akan perubahan dalam kehidupan. Bila ingin bertahan, harus ada transformasi alias perubahan fungsi.

Saya setuju bahwa tak ada pemain sepak bola di dunia ini yang masih sama dengan 7-10 tahun sebelumnya. Ada yang menjadi lebih baik, ada yang semakin buruk. Kok bisa?
Itulah dampak perubahan yang pasti terjadi. Tergantung kepada kita, mau menjadi seperti apa dan bagaimana ketika perubahan itu (pasti) datang.

Jose Mourinho mengambil contoh Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi serta membandingkan keduanya 7 tahun lalu dan perubahan posisi bermain mereka.

Baik Ronaldo dan Messi menjalani apa yang dimaksud dalam transformasi itu. Keduanya mengubah kualitas permainan dengan tujuan memaksimalkan peran mereka dalam tactical game tim saat itu.

Begitu pula David Beckham. Masih kuat dalam ingatan seperti apa gaya dan peran David Beckham ketika mengenakan jersey Manchester United. Kecepatan dan akurasi operannya menjadi sebuah karakter.

Ketika Beckham pindah ke Real Madrid, usianya 28 tahun. Bukan pekerjaan mudah untuk mempertahankan gaya bermain seperti di Manchester United dan bertarung di kompetisi yang jauh berbeda dari Premier League, Inggris.

Terkenal sebagai winger di Man. United, Beckham bertransformasi dengan bermain lebih ke tengah, termasuk mendampingi Zinedine Zidane dan Luis Figo.

Usia yang bertambah tak bisa dilawan dengan mempertahankan karakter sebagai winger, bukan? Begitu pula Gareth Bale, "si anak hilang" yang pulang kembali ke Tottenham dengan status pemain pinjaman dari Real Madrid.

Jangan berharap akan melihat Bale bermain sadis dengan sayatan-sayatan dan kecepatannya saat membela Tottenham di periode pertama sebelum pindah ke Real Madrid (2013).

Tujuh tahun berlalu dan Gareth Bale kembali ke Spurs tentu tidak seperti orang yang sama. Apakah Bale berhasil mengoptimalkan proses perubahan dan keluar dari zona nyaman ketika pernah menjadi bintang utama Spurs? @Weshley Hutagalung

Monday, October 19, 2020

Sepak Bola Tanpa Penonton, Bisakah Terjadi di Indonesia?

Sepak bola tanpa penggemar tak ada artinya... football without fans is nothing. Familiar dengan ungkapan ini? Bagaimana dengan sepak bola tanpa penonton?

Tentu saat mengucapkan ini, Jock Stein tak pernah berpikir akan ada pandemi dalam jangka panjang yang melanda hampir di semua negara. Pemikiran tersebut dapat diterima dalam situasi normal. Setuju? Bisa ya, bisa tidak.

Jock Stein adalah legenda sepak bola Skotlandia dan terkenal bersama Celtic (1965–1978). Ia tutup usia setelah laga Skotlandia vs Wales pada 10 September 1985. Serangan jantung membuat perjalanan usianya terhenti di angka 62 tahun.

Kembali ke sepak bola tanpa penonton. Bila melihat kompetisi yang saat ini bergulir di Eropa, jelas ucapan Jock Stein tak lagi relevan. Suara penonton lewat pengeras suara diharapkan memberikan atmosir seolah-olah stadion dipenuhi puluhan ribu penonton. Fans masih bisa menikmati dari rumah.

Pasti, ketidakhadiran penonton di stadion sangat dirasakan para pemain. Seolah ada yang tidak lengkap dalam "hidup" mereka di lapangan.

Begitu pula pengelola klub. Kebayang 'kan berapa besar kehilangan pemasukan klub dari penjualan tiket pertandingan? Ketika akhir musim lalu Premier League dilanjutkan tanpa penonton, kabarnya klub-klub kehilangan pemasukan mencapai £ 177 juta atau hampir mencapai 3,4 triliun rupiah.

Bisa membayangkan berapa kerugian klub-klub bila sepanjang musim tak ada tiket yang dijual ke penonton? Ambil contoh Arsenal. Stadion Emirates berkapasitas 60.704 penonton. Pemasukan dari tiket terusan semusim mencapai £ 61,2 juta. Revenue dari tiket per laga sepanjang musim bisa mencapai £ 96,2 juta.

Ketika hendak memulai Premier League 2020-2021, Deloitte yang dikenal sebagai perusahaan konsultasi finansial memperingatkan klub-klub akan kehilangan £ 500 juta (Rp 9,5 triliun) dari yang biasa mereka terima semusim. Menakutkan, tapi tidak menghentikan.

Tentu sepak bola tak (harus) mati. Kompetisi di Eropa, yang biasa kita nikmati, telah berjalan untuk musim 2020-2021 dengan berbagai perubahan dan penyesuaian. Lalu, bagaimana dengan sepak bola di Indonesia?

Nah, ini yang menarik. Izin menggelar liga belum didapat. Bahkan, bola panas sempat dilemparkan ke Presiden RI, Joko Widodo. Heran juga, kenapa semua-semua dilemparkan ke Presiden ya?

Kapolri tidak atau belum memberikan izin sepak bola kita bergulir kembali sesuai keinginan PSSI. Bahkan, liga tanpa penonton demi mengurangi kemungkinan sepak bola menjadi cluster Covid-19, masih dianggap berisiko tinggi. Pasti ada perhitungan tersendiri (classified information) yang dicermati pihak kepolisian.

Seandainya... ya seandainya Kepolisian RI memberikan izin kompetisi di Tanah Air bergulir tahun ini tanpa penonton, apakah klub-klub di Indonesia bisa jalan tanpa penjualan tiket?

Informasi langsung dari pengelola klub di Liga 1 yang bersifat classified information, ada materi soal penonton ini. Ternyata, pemasukan dari penjualan tiket pertandingan jauh dari harapan. Apalagi, kebocoran penjualan tiket masih menjadi momok bagi pengelola klub. Sponsor tetap merupakan nyawa utama pengelolaan klub.

Bukan bermaksud meniadakan peran penonton, tetapi sepak bola Indonesia harus bisa belajar mengosongkan stadion bila memang izin didapat dengan berbagai syarat. Klub wajib berjalan dengan penuh penyesuaian demi menyelamatkan sepak bola Indonesia. Suporter pun harus mampu menahan diri, bila memang mengaku cinta sepak bola dan negara ini. @Weshley Hutagalung

Wednesday, October 14, 2020

TikTok dan Pesepak Bola Muda Indonesia

Katanya, sanjungan dan pujian berlebihan akan merusak si pemberi dan penerimanya. Apalagi tanpa disadari dampaknya bisa mengubah fokus dan komitmen seseorang.

Baru-baru ini, perhatian saya tertarik pada judul berita di Kompas.com. Intinya mewaspadai pengaruh pujian dan perhatian berlebih kepada pemain Indonesia di tim U-19 yang tengah menggelar pemusatan latihan di luar negeri.

Siapa sih yang tak suka melihat kemenangan diberikan tim muda Indonesia, walau itu hanya dalam laga uji coba. Mari kita akui, kita haus akan kemenangan, haus akan prestasi... haus akan gelar juara.

Tapi, dari tulisan di Kompas.com itu, terdapat garis merah yang perlu sama-sama kita pahami. Dari coach Jaino Matos, ada pesan bahwa puja dan puji berlebihan kepada tim asuhan Shin Tae-yong yang tengah berada di Kroasia itu bisa menjadi kerikil dalam perjalanan menuju Piala Dunia U-20 tahun depan.

Apalagi... kemenangan itu masih dalam program latihan, uji coba... penuh coba-coba... bukan menghadapi lawan yang sesungguhnya.

Pesepak bola muda itu gampang terkena star syndrome. Benarkah? Pujian berlebihan memang bak perangkap yang dapat menggagalkan pemain muda berbakat untuk bersinar di level senior. Apalagi pujian dibombardir atas kemenangan dalam laga uji coba. Duh.

Sebagai pelatih, Jaino Matos mengatakan taktik dan strategi itu mudah diajarkan, di mana pun di dunia ini taktik bermain itu dapat dipelajari. Yang membedakan adalah sikap, termasuk menyikapi pujian yang berlebihan.

Dalam beberapa perbincangan dengan sejumlah insan sepak bola, kebiasaan pemain kita dalam latihan mendapat sorotan. Mereka menyebut frekuensi bercanda para pemain sepak bola di Indonesia saat latihan sudah keterlaluan.

"Berapa jam sih waktu dipakai untuk berlatih? Kan gak lama. Tak bisakah mereka benar-benar fokus dan total mengarahkan semua perhatian pada profesi pilihannya?"

Ada yang menyoroti aksi tawa dan canda pemain saat latihan sehari setelah timnya menelan kekalahan. Seolah kekalahan kemarin itu tidak berarti apa-apa.

Ada yang mengkritik kebiasaan para pemain masih membuat content TikTok walau sudah berada di pinggir lapangan dan mengenakan pakaian serta sepatu untuk latihan. Tidakkah cukup waktu di luar latihan dipakai untuk hal lain, termasuk menjadi content creator?

Fokus. Ketika kita kehilangan fokus dan arah tujuan atas sebuah kegiatan, kerap kali waktu dirasa kurang.

Padahal, semua kita punya 24 jam dalam sehari. Pembedanya adalah optimalisasi waktu yang kita miliki serta komitmen akan pilihan profesi. @Weshley Hutagalung

Tuesday, October 13, 2020

Ketika Arsene Wenger Menatap Matahari

Pandanglah matahari, maka engkau akan terlepas dari bayang-bayangmu. Sebuah nasihat bagi kita yang ingin menatap masa depan dan tak terikat oleh masa lalu. Termasuk bagi Arsene Wenger.

Dalam sebuah wawancara dengan BBC Sport, yang dipublikasikan 13 Oktober 2020, Arsene Wenger memberi alasan kenapa ia belum pernah kembali masuk ke Stadion Emirates, markas Arsenal, sejak ia kehilangan pekerjaan sebagai manajer The Gunners pada Mei 2018.

Tidak mudah melupakan stadion yang ia rencanakan dan "bangun" dengan design yang sangat membantu tim meraih prestasi. Selama 22 tahun ia memimpin Arsenal, ia membawa perubahan besar dari karakter tim dan pengelolaan klub. Ia menghadirkan 17 gelar juara bagi Arsenal, termasuk 3 mahkota Premier League (1997–98, 2001–02, dan 2003–04).

Di Stadion Emirates, suasana kamar ganti tim tuan rumah dan tim tamu ternyata tidak sama. Hal kecil saja, kamar ganti tim tuan rumah itu kedap suara dan beralaskan karpet. Sehingga pemain nyaman memakai sepatu bola dari lapangan ke kamar ganti dan sebaliknya.

Hal berbeda terjadi di kamar ganti tim tamu. Paham kan? Itulah salah satu racikan Wenger yang disampaikan pengelola stadion saat saya berkesempatan menjadi tamu Emirates Airline di markas Arsenal itu.

Lalu, kenapa Arsene Wenger tidak mau datang menyaksikan Arsenal bertanding di Stadion Emirates? Apakah Wenger memutus hubungan dengan klub yang "mendepaknya" setelah hubungan mesra selama 22 tahun?

"Saya seperti tipe orang yang mengakhiri hubungan dan tidak melakukan kontak komunikasi dengan anaknya walau masih tetap mencintai mereka," begitu kata Wenger memberi perumpaan hubungannya dengan Arsenal.

Wenger memilih untuk menjaga jarak dengan Arsenal, bukan secara emosi melainkan fisik. Ada penegasan Wenger soal sikapnya ini.

"Penting bagi orang untuk tidak melihat saya hidup dalam bayang-bayang. Seolah Anda masih ingin memberikan pengaruh pada klub dengan cara Anda."

Waktu berlalu melewati kita dan ia selalu meninggalkan bayang-bayang. Pertanyaannya, apakah kita berjalan menatap matahari, seperti Wenger, atau berbalik mengejar bayang-bayang masa lalu? @Weshley Hutagalung

Wednesday, October 7, 2020

Keputusan! Disyukuri Versus Disesali

Keputusan. Setiap kita harus mengambil keputusan dalam menjalani kehidupan. Keputusan yang tepat akan membuat kita hidup dan bisa menerima masa lalu.

Apa yang paling didambakan seorang atlet? Bertanding dan meraih kemenangan. Peluh dan pengorbanan selama latihan akan ditumpahkan pada sebuah momentum spesial, yakni pembuktian di pertandingan.

Adakah pilihan lain? Tentu saja. Setiap kita dihadapkan pada pilihan, termasuk Sergio Romero. Pria Argentina berusia 33 tahun ini berstatus kiper di Manchester United. Hanya, posisinya kini disebut turun menjadi kiper ketiga setelah manajemen memulangkan Dean Henderson dari Sheffield United yang meminjamnya.

Romero bukannya tak laku, terbukti Everton ingin menggaetnya sebagai pesaing bagi Jordan Pickford untuk meningkatkan level permainan keduanya. Tapiii... isunya deal gak jadi karena sang istri, Eliana Guercio, keberatan dengan sejumlah syarat dari Everton. Soal gaji? Hmmm.

Tak heran, manajer gaek, Harry Redknap, mengeluarkan kritikan. Apakah keputusan mencari kesempatan bermain di Everton bagi Romero terhadang gaji "wah" sang kiper di Manchester United yang mencapai 100 ribu pound (Rp 1,9 miliar) per pekan?

"Pemainlah yang harus duduk dengan manajer dan berkata saya ingin bermain... saya tak senang dengan situasi saat ini... saya harus pergi ke klub baru menjadi kiper kedua bahkan pertama... bisakah kalian melepaskan saya?" Begitu kata Redknapp.

Keputusan berada di tangan Romero atau sang istri?

Ada ungkapan bijak tentang keputusan seperti ini, "Bukan melulu tentang membuat keputusan yang tepat, melainkan tentang mengambil pilihan dan menjadikannya tepat."

Adakah Romero berada dalam situasi ini... membiarkan diri menjadi kiper ketiga Man. United, yang notabene sulit mendapatkan jam bermain, namun tetap mendapatkan bayaran aduhai hingga kontraknya selesai Juni 2021? Tak ada lagikah ambisi menjadi nomor satu dan kembali membela tim nasional Argentina?

Seringkali, keputusan terpenting yang harus kita ambil adalah yang tersulit dalam hidup, untuk diri sendiri, masa depan, dan generasi penerus. Apalagi bila keputusan itu diserahkan kepada orang lain yang punya pemikiran dan harapannya sendiri. Bahaya! @Weshley Hutagalung