Katanya, sanjungan dan pujian berlebihan akan merusak si pemberi dan penerimanya. Apalagi tanpa disadari dampaknya bisa mengubah fokus dan komitmen seseorang.
Baru-baru ini, perhatian saya tertarik pada judul berita di Kompas.com. Intinya mewaspadai pengaruh pujian dan perhatian berlebih kepada pemain Indonesia di tim U-19 yang tengah menggelar pemusatan latihan di luar negeri.
Siapa sih yang tak suka melihat kemenangan diberikan tim muda Indonesia, walau itu hanya dalam laga uji coba. Mari kita akui, kita haus akan kemenangan, haus akan prestasi... haus akan gelar juara.
Tapi, dari tulisan di Kompas.com itu, terdapat garis merah yang perlu sama-sama kita pahami. Dari coach Jaino Matos, ada pesan bahwa puja dan puji berlebihan kepada tim asuhan Shin Tae-yong yang tengah berada di Kroasia itu bisa menjadi kerikil dalam perjalanan menuju Piala Dunia U-20 tahun depan.
Apalagi... kemenangan itu masih dalam program latihan, uji coba... penuh coba-coba... bukan menghadapi lawan yang sesungguhnya.
Pesepak bola muda itu gampang terkena star syndrome. Benarkah? Pujian berlebihan memang bak perangkap yang dapat menggagalkan pemain muda berbakat untuk bersinar di level senior. Apalagi pujian dibombardir atas kemenangan dalam laga uji coba. Duh.
Sebagai pelatih, Jaino Matos mengatakan taktik dan strategi itu mudah diajarkan, di mana pun di dunia ini taktik bermain itu dapat dipelajari. Yang membedakan adalah sikap, termasuk menyikapi pujian yang berlebihan.
Dalam beberapa perbincangan dengan sejumlah insan sepak bola, kebiasaan pemain kita dalam latihan mendapat sorotan. Mereka menyebut frekuensi bercanda para pemain sepak bola di Indonesia saat latihan sudah keterlaluan.
"Berapa jam sih waktu dipakai untuk berlatih? Kan gak lama. Tak bisakah mereka benar-benar fokus dan total mengarahkan semua perhatian pada profesi pilihannya?"
Ada yang menyoroti aksi tawa dan canda pemain saat latihan sehari setelah timnya menelan kekalahan. Seolah kekalahan kemarin itu tidak berarti apa-apa.
Ada yang mengkritik kebiasaan para pemain masih membuat content TikTok walau sudah berada di pinggir lapangan dan mengenakan pakaian serta sepatu untuk latihan. Tidakkah cukup waktu di luar latihan dipakai untuk hal lain, termasuk menjadi content creator?
Fokus. Ketika kita kehilangan fokus dan arah tujuan atas sebuah kegiatan, kerap kali waktu dirasa kurang.
Padahal, semua kita punya 24 jam dalam sehari. Pembedanya adalah optimalisasi waktu yang kita miliki serta komitmen akan pilihan profesi. @Weshley Hutagalung
No comments:
Post a Comment