Friday, January 25, 2019

Belajar Cinta dari David Silva

“Dia datang dari Spanyol hanya dengan satu tujuan. Dia datang untuk membuat kita hebat kembali. Ketika tugasnya selesai dengan semua trofi yang dimenangi, kami menobatkannya sebagai David Silva.”
     
Setiap melihat skuat Manchester City era Roberto Mancini hingga Pep Guardiola, tentu yang kita pandang adalah kumpulan bintang-bintang sepak bola dunia. Salah satunya David Silva.
      David Josue Jimenez Silva. Begitu nama lengkap pria kelahiran 8 Januari 1986 ini. Bila dibandingkan dengan gelandang-gelandang “mungil” Spanyol yang membawa Tim Matador menguras pujian dunia, David Silva kalah tenar dari Xavi Hernandez dan Andres Iniesta.
         Dibesarkan klub sepak bola Valencia CF, David Silva hanya punya satu trofi di sana, yakni Copa del Rey 2007-2008.
         Ketika Manchester City mengumumkan perekrutan David Silva pada pengujung Juni 2010, di lehernya bergantung medali emas Piala Eropa 2008.
         Pada eranya, David Silva merupakan bagian dari kumpulan gelandang-gelandang kreatif di timnas Spanyol Bersama Xavi Hernandez, Andres Iniesta, dan kemudian Santi Cazorla, Cesc Fabregas, Juan Mata, serta Jesus Navas.
Lalu, sebelum resmi mengenakan jersey biru muda milik Manchester City, di leher David Silva bertengger medali emas Piala Dunia 2010 menemani prestasi dua tahun lalu.
Pilihan manajemen Manchester City tak percuma. David Silva sangat berperan mengantarkan Citizens meraih 3 gelar Premier League: 2011-2012, 2013-2014, dan 2017-2018.
Prestasi lain? Ada Piala FA 2010-2011, 3 gelar Piala Liga Inggris (2013-2014, 2015-2016, dan 2017-2018), serta Community Shield 2012 dan 2018.
“David Silva adalah perekrutan terbaik yang pernah dilakukan Manchester City.” Pendapat ini dikatakan Carlos Tevez, striker asal Argentina yang pernah membela Citizenz pada era 2009-2013.
Legenda lini belakang Liverpool FC, Jamie Carragher, di pengujung 2017 mengatakan David Silva adalah pemain terbaik Manchester City sepanjang sejarah.
Puja-puji dan julukan “El Mago” alias Si Penyihir yang disempatkan pada David Silva bukan tanpa alasan. Lihatlah setiap ia turun membela Manchester City.
Catat berapa banyak David Silva menyentuh bola selama di lapangan. Berapa sering ia membawa si kulit bundar mendekati pertahanan lawan untuk membuka peluang bagi rekannya atau mengeksekusi sendiri ketika ada kesempatan.
Atau, cermati frekuensi operan pemain Manchester City kepada David Silva. Si Penyihir akan mencarikan solusi bagi rekan-rekannya… dan gooolll.
Kehidupan David Silva tak banyak mendapatkan sorotan publik. Media massa pun sulit mencari sudut pemberitaan yang heboh dari David Silva selain aksinya di lapangan.
Kecintaan publik Manchester City terhadap David Silva tampak pada spanduk yang dibentangkan di Stadion Etihad setiap Citizens beraksi.
Gelandang yang menolak pinangan FC Barcelona dan Real Madrid untuk membela Manchester City itu jelas pantas untuk dicintai.
David Silva termasuk kelompok pesepak bola yang fokus pada pekerjaannya dan klub yang memberinya penghasilan.
Seperti pengakuan Andy Cole, mantan striker Manchester United (1995-2001) yang pernah mampir untuk mengenakan jersey tim tetangga (2005-2006), “Saya termasuk orang yang menikmati permainan David Silva.”
Di antara kumpulan bintang-bintang mahal milik Manchester City, sinar David Silva tak kalah benderang. Kontribusi dan totalitasnya sebagai “pegawai” Citizens membuat David Silva pantas dicintai.
Dengan banderol 25 juta euro di pasaran Eropa, David Silva ada di urutan ke-14 pemain termahal milik Manchester City.
Bandingkan beda angkanya dengan banderol Riyad Mahrez yang 60 juta euro atau Raheem Sterling dengan nilai jual 120 juta euro. 

Seperti kumpulan kata di spanduk milik fan Manchester City bahwa David Silva datang dari Spanyol dengan satu tujuan, yakni mengembalikan kehebatan Manchester City lewat trofi-trofi yang dipersembahkannya. @weshley

Wednesday, January 16, 2019

Piala Super Italia, Cristiano Ronaldo, dan Harga Diri


            Dari Kota Jeddah di Arab Suadi, Supercoppa Italiana alias Piala Super Italia edisi ke-31 sudah mengantarkan Juventus menjadi tim Italia pengoleksi gelar terbanyak: delapan!

Nama Cristiano Ronaldo lagi-lagi muncul sebagai headline. Satu gol dari Ronaldo ke gawang AC Milan membawanya meraih gelar pertama bersama Juventus.
            Itulah koleksi gelar ke-20 CR7, pesepak bola Portugal yang punya banyak cerita terkait Indonesia.
            Tak hanya Juventus, sepak bola Italia sangat beruntung memiliki Cristiano Ronaldo, salah satu pesepak bola terbaik di dunia saat ini. Keberadaan CR7 selalu menarik perhatian seluruh media dan pencinta sepak bola di muka bumi.
            Kemauan Ronaldo melakoni tantangan baru di panggung sepak bola Italia harus diakui berperan mengembalikan Serie A ke permukaan berita-berita sepak bola untuk menyaingi Premier League di Inggris dan La Liga di Spanyol.
            Saya beruntung menjadi bagian tim yang membawa Cristiano Ronaldo berkunjung ke Aceh pada 2005 untuk melihat langsung dampak tsunami.
            Oke, tapi cerita kali ini bukan tentang kehebatan Cristiano Ronaldo dan pertemanannya dengan Martunis, salah satu korban tsunami yang selamat.
            Pertanyaannya adalah: kenapa bermain di Jeddah, Arab Saudi?
            Piala Super Italia 2018 bukan untuk pertama kali digelar di luar Italia. Amerika Serikat, China, Libia, dan Qatar sudah pernah “membeli” Piala Super Italia. Ya, negara-negara tersebut menyodorkan sejumlah uang kepada jawara Serie A dan Coppa Italia yang bertarung dalam nama Supercoppa Italiana.
            Kepada pengelola liga di Italia, pihak penyelenggara di Arab Saudi dikabarkan menyodorkan uang 20 juta euro. Untuk Juventus dan AC Milan, keduanya masing-masing pulang membawa 3,5 juta euro atau sekitar 56,5 miliar rupiah.
            Kabarnya lagi, kontrak untuk menggelar Piala Super Italia di Arab Saudi berlangsung untuk 3 tahun. Artinya, dua tim terbaik Italia akan bertarung “menghindari” para supporter setia mereka di Italia. Menjauh dari rumah untuk dua tahun ke depan dan entah di mana lagi setelah itu!
            Benarkah hanya sindiran sinis para pengamat sepak bola itu arti menggelar Supercoppa Italia di luar negeri?
            Kalau kita mengikuti sejumlah pemberitaan menjelang pertandingan Juventus vs AC Milan yang kemudian berujung skor 1-0 itu, ada faktor harga diri yang dikaitkan dengan “menjual” panggung Supercoppa Italiana ke luar negeri.
            Tentu mengesalkan bila membandingkan jalan cerita Charity Shield dan kini disebut Community Shield dengan Supercoppa Italiana.
            Community Shield mempertemukan tim juara Premier League dan Piala FA. Stadion Wembley menjadi panggung keramat.
            Kapan Community Shield digelar di China atau Arab Saudi? Ah, pertanyaan ini saya jawab dengan: tak akan terjadi selama pengelola sepak bola Inggris tahu bagaimana mengemas dan menjual event ini. Ada gengsi yang terlalu tinggi untuk dipertaruhkan.
            Charity Shield atau Community Shield digelar jauh sebelum Supercoppa Italiana. Bila Italia mempertemukan juara Serie A dan Coppa Italia pada 1989, Inggris sudah melakukan hal serupa secara resmi sejak 1908.
            Untuk menjaga kenetralan lokasi pertandingan dan memainkan, sejak 1974 dipilih stadion tetap dan tidak lagi menggelar pertandingan di Kota London, Manchester, Birmingham, Liverpool, dan Wolverhampton secara bergiliran.
            Mellennium Stadium sempat menjadi stadion sementara ketika Empire Stadium alias Wembley yang lama dipermak menjadi Wembley Stadium yang baru dan menjadi tempat keramat Community Shield sejak 2007.
            Kenapa Italia tidak melakukan hal serupa?
Rasa penasaran itu kemudian menjalar ke Tanah Air. Tentu saja kita berharap pengelola sepak bola di Indonesia sukses menggelar Liga Indonesia dan Piala Indonesia di setiap musim yang sama.
Lalu, Stadion Utama Gelora Bung Karno menjadi pertarungan kedua pemenang kompetisi tersebut. “Road to Senayan” menjadi kisah yang menarik dan ditunggu.
Namun, banyak sekali aspek yang membuat mimpi ini sulit diwujudkan. Mengelola sepak bola di Indonesia tidak terlepas dari sinergi antara federasi dan pemerintah dalam banyak hal, termasuk perizinan yang berhubungan dengan jadwal.
Saat ini, keduanya terkesan berjalan sendiri-sendiri dengan mengumbar mimpi yang sama... semua demi kebaikan sepak bola Indonesia.
Masuk ke area pengelolaan sepak bola di Tanah Air memang seperti memasuki semak belukar. Terlalu banyak aspek-aspek nonteknis yang memengaruhi perjalanan sepak bola kita.
Tentu selama sepak bola dijadikan tujuan karena dapat mengharumkan nama bangsa serta memberikan kehidupan bagi banyak orang, harapan melihat pengelolaan sepak bola nasional yang lebih baik akan tetap ada. @weshley

Monday, January 7, 2019

Suara Indonesia untuk Asia


      Siapa pesepak bola terbaik Asia saat ini? Beragam jawabannya. Tergantung apa kriteria dan siapa yang memutuskan predikat bergengsi tersebut.

Untuk tahun ketiga, saya diminta menjadi salah satu pemberi suara menentukan pesepak bola terbaik di Asia oleh sebuah grup media massa di China bernama Titan Sports Media Group.
         Sejak 2016, 2017, dan yang mungkin menjadi suara saya terakhir, 2018, media Indonesia diwakili oleh Tabloid BOLA dan BolaSport.com.
         Memang tak harus wartawan yang berstatus Pemimpin Redaksi untuk dipercaya memberikan suaranya memilih pesepak bola terbaik di kawasan Asia. Namun, permintaan Mr Billy tak elok untuk ditolak. Oke, saya memberikan pilihan.
         Sejak pertama kali memberikan suara, pilihan pertama saya tak pernah lepas dari penyerang Korea Selatan yang bermain untuk klub Inggris, Tottenham Hotspur. Ia selalu ada dalam 3 besar.
         Jreeeng. Pilihan saya di pengujung 2018 tokcer. Bersama 44 juri lain, nama Son Heung-min terpilih menjadi Pemain Terbaik Asia 2018.

        Untuk keempat kali, pria yang membawa Korea Selatan sebagai juara cabang sepak bola Asian Games 2018 di Indonesia itu terpilih sebagai yang terbaik di Asia versi Titan Sports Media Group.
         Penghargaan pertama didapat Son Heung-min pada 2014, 2015, lalu 2017, dan terakhir 2018.
         Tentu pada 2016 nama Shinji Okazaki lebih tenar. Pesepak bola Jepang itu berhasil menghadirkan mimpi membawa Leicester City menjuarai Liga Inggris, mengungguli para raksasa seperti Arsenal, Tottenham Hotspur, hingga dua klub asal Kota Manchester.
         Kenapa sih memilih Son Heung-min? Alasan saya tidak berubah dalam 3 tahun sebagai juri.
         Pria berusia 26 tahun kelahiran 8 Juli 1992 itu punya kemampuan bersaing di level atas. Acuannya tentu persaingan yang ketat di Liga Inggris dan peluang mendapatkan posisi starter menemani bintang Inggris, Harry Kane.
         “Son Heung-min punya peran besar dalam menjaga performa Tottenhan selalu berada di papan atas Premier League. Ia sanggup beradaptasi dan bersaing dengan rekan pesepak bola dari Eropa, Amerika Latin, begitu pula Afrika untuk waktu yang cukup lama. Permainan Son tergolong konsisten bila tidak diganggu cedera.”
Begitu alasan yang saya berikan ketika mencamtumkan nama Son Heung-min di kolom teratas dengan nilai tertinggi, yakni 6 poin.
Sejak bergabung dengan klub Kota London itu pada Agustus 2015, nama Son Heung-min tak runtuh oleh waktu.
Tidak bohong, awalnya saya menduga pembelian Son dari Bayer Leverkusen pada Agustus 2005 dengan biaya 30 juta euro untuk kontrak 5 tahun kental bernuansa “bisnis”.
Biaya transfer yang “wah” dan menjadikannya sebagai pesepak bola Asia termahal di dunia tentu harus berdampak baik pada aspek finansial klub.
Tidakkah kubu Tottenham tertarik menancapkan posisi mereka di Asia, terutama negara asal Son Heung-min? Tetapi, Son tidak hanya memberikan daya tarik bisnis, juga prestasi nyata di lapangan.
Kemampuan Son Heung-min beradaptasi dengan lingkungan baru dengan persaingan sangat ketat di klubnya adalah kunci yang bisa dicontoh para pesepak bola kita, termasuk mereka yang ingin meraih prestasi di negara orang.
Kini, setelah membawa tim nasional Korsel menjuarai Asian Games 2018, Son Heung-min mengawal timnas Negeri Ginseng itu berlaga di Piala Asia 2019 yang berlangsung di Uni Emirat Arab pada 5 Januari hingga 1 Februari.
Son Heung-min berhasil di tanah perantauan. Semoga suatu waktu ada pesepak bola Indonesia yang mengharumkan nama bangsa di pentas dunia lewat prestasi di lapangan hijau. @weshley

Saturday, January 5, 2019

Indonesia? Murah, Murah!

Bila Anda bepergian ke luar negeri, apa yang pertama muncul di benak untuk memperkenalkan tempat asal kita kepada orang asing? 

Keindahan alam Bali? Ah, itu kuncian. Bali nyaris selalu menjadi andalan ketika saya ditugaskan ke luar negeri dan bertemu orang asing yang bertanya asal negara saya.
Selain Bali? Beberapa orang asing ternyata cukup mengenal keindangan sejumlah lokasi di Tanah Air, sebut saja Candi Borobudur, Lombok, Raja Ampat, hingga ada yang menyebut deburan ombak di beberapa Aceh dan Nias, Danau Toba, serta Taman Komodo dan alam NTT.
            Believe it or not, saat saya meliput Piala Eropa 2000 di Belanda dan Belgia, sepak bola Indonesia lumayan terkenal lho.
            Enggak percaya? Di Kota Brussels, Belgia, dalam sebuat acara pertemuan dengan sejumlah wasit yang memimpin pertandingan Euro 2000, nama Indonesia ternyata dikenal.
            Setelah antre untuk wawancara khusus dengan wasit Anders Frisk asal Swedia, saya memperkenalkan diri dan negara asal.
            “Indonesia? Ah, ya saya ingat kompetisi di negara Anda dihentikan di tengah jalan.”
            Alamak! Memang dia insan sepak bola dunia, namun kok yang diingat tentang Indonesia adalah kompetisi yang penuh perkelahian sehingga dihentikan di tengah jalan, ya? Sedih rasanya.
            Tetapi, ya sudahlah… lumayan nama Indonesia ada di benak Anders Frisk. Wasit kelas dunia yang memilih mengundurkan diri pada Maret 2005 akibat tekanan dan ancaman pembunuhan terhadap dirinya dan keluarga.
            Ingin lebih merasa akrab dengan nama Indonesia ketika ada di luar negeri? Datanglah ke tempat-tempat tujuan wisata terkenal dengan barang-barang jualan sebagai oleh-oleh. Salah satunya lokasi Menara Eifel di Kota Paris, Prancis.
            Kebiasaan turis-turis Indonesia dalam merogoh kocek tampaknya membuat para penjualan souvenir paham cara mengambil hati tamu-tamunya.
            “Anda dari mana?” Begitu tanya sejumlah penjaja souvenir yang menghampiri kami sesampai di lokasi.
            Percaya tidak percaya, nyaris semua penjual yang mendengar negara asal kami langsung menyapa dengan Bahasa Indonesia.
            “Ah, Indonesia.. ini murah, murah,” ucapnya sambil menyodorkan sejumlah barang souvenir khas lokasi tersebut diikuti kalimat yang berarti harga di sana lebih murah dibanding tempat lain.
            Tak hanya itu. Mereka juga menyebut nama “Jokowi” diikuti kata “Hebat”. Bahkan ada juga yang mengucapkan “Ahok”.
            Mereka mencoba segala cara menarik hati turis-turis Indonesia dengan melontarkan sejumlah kata yang dianggap “ampuh” untuk mengeluarkan uang euro dari saku dan dompet.
            Maaf, taktik tersebut tak berlaku bagi saya dan keluarga… ha ha ha.  Namun, dari cara mereka mengucapkan sejumlah kata dalam Bahasa Indonesia dan tokoh nasional yang sedang “hangat”, saya paham bahwa negara kita lumayan mendapat sorotan dari pihak luar negeri.
Semoga, nama Indonesia semakin dikenal oleh dunia karena berbagai prestasi anak bangsa, termasuk dari dunia olahraga… dan sepak bola di dalamnya. Setuju?

Thursday, January 3, 2019

Saya Indonesia, Lihatlah Garuda di Dada


Sebelum tahun 2018 berganti, saya mendapatkan kesempatan berkunjung ke negara yang tim nasionalnya baru menjuarai Piala Dunia 2018: Prancis.

               Kisah menarik yang ingin saya tuturkan dalam tulisan kali ini bukan tentang tim nasional asuhan Didier Deschamps atau kehebatan Paris Saint-Germain bersama Edinson Cavanio, Kylian Mbappe, dan Neymar.
               Di Kota Lourdes, sekitar 5 jam perjalanan naik kereta dari Kota Paris, saya menemukan hal aneh terkait manusia yang berbahasa Indonesia. Ya, menurut saya aneh.
               Sambil berjalan bersama anak, di hadapan kami ada beberapa orang yang mengarah berlawanan. Muka Asia… ya saya yakin itu.
               Benar saja, dari beberapa meter saya dapat mendengar mereka berbicara dengan Bahasa Indonesia.
               Tahu dong apa yang saya lakukan. Dengan muka yakin dan memberikan senyuman pertanda senang bertemu sesama warga Indonesia, saya menyapa, “Halo”.
               Alamak. Harapan saya mendapatkan balasan dengan keramahan yang paling tidak sama dan mungkin bisa bercakap-cakap sebentar bak bertepuk sebelah tangan.
               Keluarga, ayah-ibu dan dua putri, berlalu begitu saja seolah senyuman saya berarti pedagang yang menawarkan souvenir.
               Saya yakin sekali mereka tahu bahwa saya juga berasal dari negara yang sama, Indonesia. Tak perlu mengeluarkan ucapan setelah “halo” karena cukup melihat jaket dingin yang saya kenakan.
               Apakah lambang Burung Garuda di sebelah kiri dada saya tidak berarti apa-apa bagi mereka?
               Jaket berwarna biru itu memang memiliki dua logo di dada. Sebelah kanan ada logo Nike dan kiri Garuda. Identik dengan timnas Indonesia, bukan? He he he.
               Berada ribuan kilometer dari tempat tinggal kita dan di negara asing, apalagi dengan penduduk yang minim berbahasa Inggris, tentu bertemu dengan manusia berbahasa Indonesia punya makna tersendiri.
               Jangan-jangan, situasi persepakbolaan kita membuat sekelompok orang di Tanah Air menjadi antipati dengan sepak bola Indonesia. Bahkan dengan melihat jaket berlogo Garuda di dada.
               Ah, semoga tidak ya. Semoga kecurigaan saya ini hanya pelampiasan kekecewaan karena senyuman yang tidak berbalas.
               Selain jaket tebal dengan lambang Garuda di dada, dalam perjalanan ke beberapa negara Eropa itu saya juga membawa t-shirt bertuliskan “Indonesia” dengan lambang “Garuda” di dada.
               Ada kebanggaan bahwa saya warga Indonesia. Ada harapan bahwa sepak bola Indonesia akan memiliki prestasi yang bisa dibanggakan suatu hari ini. Amiiiinnnn.
               Impian saya, sepak bola Indonesia tidak melulu dikuasai pembahasan masalah dan masalah. Ada kisah prestasi yang ingin kita bagikan ke negara-negara lain sehingga mereka lebih mengenal Indonesia dan sepak bola kita.
               Harapan itu yang menjaga kecintaan saya terhadap sepak bola Indonesia. Kalau kita tidak memiliki harapan, buat apa sepak bola itu ada di nusantara dan kita cintai, bukan?