Wednesday, January 16, 2019

Piala Super Italia, Cristiano Ronaldo, dan Harga Diri


            Dari Kota Jeddah di Arab Suadi, Supercoppa Italiana alias Piala Super Italia edisi ke-31 sudah mengantarkan Juventus menjadi tim Italia pengoleksi gelar terbanyak: delapan!

Nama Cristiano Ronaldo lagi-lagi muncul sebagai headline. Satu gol dari Ronaldo ke gawang AC Milan membawanya meraih gelar pertama bersama Juventus.
            Itulah koleksi gelar ke-20 CR7, pesepak bola Portugal yang punya banyak cerita terkait Indonesia.
            Tak hanya Juventus, sepak bola Italia sangat beruntung memiliki Cristiano Ronaldo, salah satu pesepak bola terbaik di dunia saat ini. Keberadaan CR7 selalu menarik perhatian seluruh media dan pencinta sepak bola di muka bumi.
            Kemauan Ronaldo melakoni tantangan baru di panggung sepak bola Italia harus diakui berperan mengembalikan Serie A ke permukaan berita-berita sepak bola untuk menyaingi Premier League di Inggris dan La Liga di Spanyol.
            Saya beruntung menjadi bagian tim yang membawa Cristiano Ronaldo berkunjung ke Aceh pada 2005 untuk melihat langsung dampak tsunami.
            Oke, tapi cerita kali ini bukan tentang kehebatan Cristiano Ronaldo dan pertemanannya dengan Martunis, salah satu korban tsunami yang selamat.
            Pertanyaannya adalah: kenapa bermain di Jeddah, Arab Saudi?
            Piala Super Italia 2018 bukan untuk pertama kali digelar di luar Italia. Amerika Serikat, China, Libia, dan Qatar sudah pernah “membeli” Piala Super Italia. Ya, negara-negara tersebut menyodorkan sejumlah uang kepada jawara Serie A dan Coppa Italia yang bertarung dalam nama Supercoppa Italiana.
            Kepada pengelola liga di Italia, pihak penyelenggara di Arab Saudi dikabarkan menyodorkan uang 20 juta euro. Untuk Juventus dan AC Milan, keduanya masing-masing pulang membawa 3,5 juta euro atau sekitar 56,5 miliar rupiah.
            Kabarnya lagi, kontrak untuk menggelar Piala Super Italia di Arab Saudi berlangsung untuk 3 tahun. Artinya, dua tim terbaik Italia akan bertarung “menghindari” para supporter setia mereka di Italia. Menjauh dari rumah untuk dua tahun ke depan dan entah di mana lagi setelah itu!
            Benarkah hanya sindiran sinis para pengamat sepak bola itu arti menggelar Supercoppa Italia di luar negeri?
            Kalau kita mengikuti sejumlah pemberitaan menjelang pertandingan Juventus vs AC Milan yang kemudian berujung skor 1-0 itu, ada faktor harga diri yang dikaitkan dengan “menjual” panggung Supercoppa Italiana ke luar negeri.
            Tentu mengesalkan bila membandingkan jalan cerita Charity Shield dan kini disebut Community Shield dengan Supercoppa Italiana.
            Community Shield mempertemukan tim juara Premier League dan Piala FA. Stadion Wembley menjadi panggung keramat.
            Kapan Community Shield digelar di China atau Arab Saudi? Ah, pertanyaan ini saya jawab dengan: tak akan terjadi selama pengelola sepak bola Inggris tahu bagaimana mengemas dan menjual event ini. Ada gengsi yang terlalu tinggi untuk dipertaruhkan.
            Charity Shield atau Community Shield digelar jauh sebelum Supercoppa Italiana. Bila Italia mempertemukan juara Serie A dan Coppa Italia pada 1989, Inggris sudah melakukan hal serupa secara resmi sejak 1908.
            Untuk menjaga kenetralan lokasi pertandingan dan memainkan, sejak 1974 dipilih stadion tetap dan tidak lagi menggelar pertandingan di Kota London, Manchester, Birmingham, Liverpool, dan Wolverhampton secara bergiliran.
            Mellennium Stadium sempat menjadi stadion sementara ketika Empire Stadium alias Wembley yang lama dipermak menjadi Wembley Stadium yang baru dan menjadi tempat keramat Community Shield sejak 2007.
            Kenapa Italia tidak melakukan hal serupa?
Rasa penasaran itu kemudian menjalar ke Tanah Air. Tentu saja kita berharap pengelola sepak bola di Indonesia sukses menggelar Liga Indonesia dan Piala Indonesia di setiap musim yang sama.
Lalu, Stadion Utama Gelora Bung Karno menjadi pertarungan kedua pemenang kompetisi tersebut. “Road to Senayan” menjadi kisah yang menarik dan ditunggu.
Namun, banyak sekali aspek yang membuat mimpi ini sulit diwujudkan. Mengelola sepak bola di Indonesia tidak terlepas dari sinergi antara federasi dan pemerintah dalam banyak hal, termasuk perizinan yang berhubungan dengan jadwal.
Saat ini, keduanya terkesan berjalan sendiri-sendiri dengan mengumbar mimpi yang sama... semua demi kebaikan sepak bola Indonesia.
Masuk ke area pengelolaan sepak bola di Tanah Air memang seperti memasuki semak belukar. Terlalu banyak aspek-aspek nonteknis yang memengaruhi perjalanan sepak bola kita.
Tentu selama sepak bola dijadikan tujuan karena dapat mengharumkan nama bangsa serta memberikan kehidupan bagi banyak orang, harapan melihat pengelolaan sepak bola nasional yang lebih baik akan tetap ada. @weshley

No comments:

Post a Comment