Saturday, February 23, 2019

Narasi Positif Sepak Bola Indonesia

Baru-baru ini, saya kembali mendapatkan kesempatan berbicara di hadapan sejumlah mahasiswa sebuah perguruan tinggi di Jakarta. Kami berdiskusi tentang kekuatan komunikasi lewat media.

Seperti biasa, salah satu kebiasaan saya adalah bertanya kepada peserta diskusi soal membaca dan membeli media cetak.
Dari puluhan mahasiswa yang hadir di kelas diskusi tersebut, tak satupun yang angkat tangan ketika saya bertanya, “Siapa yang membaca koran cetak hari ini… minggu ini… bulan ini.” Serem juga ya.
Lalu, pertanyaan saya kembangkan, “Siapa yang membaca berita dari media online hari ini?”
Berapakah mahasiswa yang angkat tangan? Ups, tidak satupun. Saya anggap mereka masih malu-malu karena diskusi baru dimulai dan saya adalah orang asing bagi mereka.
Pertanyaan berkembang, biasalah saya ingin lebih dekat dan mencairkan suasana sebelum memberikan materi yang lebih serius. “Siapakah hari ini yang sudah membuka Instagram?”
Benar dugaan saya, beberapa mahasiswa angkat tangan.
“Kalau Twitter, siapa yang sudah membuka akun Twitter miliknya sebelum masuk ke ruangan ini? Yup, sejumlah mahasiswa angkat tangan lagi.
Dari Instagram ke Twitter, lanjut ke Facebook dan Youtube. Kawan-kawan mahasiswa lebih akrab dengan media sosial ketimbang media massa.
Tentu saya tak berhenti sampai di situ. Rasa penasaran saya mengarah kepada: dari mana mahasiswa mendapatkan informasi terkini yang dibutuhkan dalam upaya mengisi diri agar kata “maha” di depan siswa itu benar adanya?
Kekhawatiran kita semua terhadap perkembangan hoaks di negara ini haruslah dilawan dengan kelahiran para pemberi informasi yang bertanggung jawab atas apa yang ia sampaikan. Mahasiswa punya peran di sini.
The power of communication. Bagaimana caranya berkomunikasi dengan baik dan benar serta memiliki kekuatan menjelaskan situasi dan mengubah pemahaman serta perilaku pembaca menuju kebenaran yang disampaikan?
Banjir berita soal kondisi federasi sepak bola kita, PSSI, membuat saya pada sebuah kekhawatiran. Bila semua berita tentang PSSI adalah keburukan, caci-maki dan umpatan, berapa lama hal itu akan tumbuh dan berkembang di benak anak-anak Indonesia?
Haruskah stigma bahwa PSSI itu buruk… bahwa kompetisi di Tanah Air tidak lagi murni… bahwa sepak bola Indonesia itu tidak bakal berprestasi?
Kita semua berharap badai di PSSI segera berlalu. Kita ingin yang terbaik bagi kemajuan sepak bola nasional. Semua merindukan prestasi timnas.
Stigma negatif itu harus dilawan dengan keyakinan bahwa sepak bola kita bisa baik kok… dimulai dari pengelola klub dan mereka yang punya suara untuk menentukan pemimpin PSSI.
Rekan saya wartawan dan pengamat sepak bola, Maruf El Rumi, berkali-kali menyuarakan harapannya agar narasi positif tentang sepak bola nasional juga digalakkan. Jangan semua orang hanya mengeluarkan pernyataan negatif karena ikut angin panas PSSI saat ini.
Pasti ada hal-hal baik tentang sepak bola nasional, entah itu di level junior atau tingkat dewasa. Akan tetapi, siapa lagi yang tertarik memberitakan hal tersebut ketika isu PSSI demikian seksi untuk menarik perhatian? Ah, jangan berhenti berharap!
Media massa saat ini memang tengah berkompetisi dengan media sosial untuk mencari perhatian masyarakat yang ingin mendapatkan informasi.

Mengingat dahsyatnya kekuatan komunikasi dalam memengaruhi pemahaman dan sikap orang lain, sudah saatnya bermunculan para pemberi informasi yang bertanggung jawab, memahami isi pernyataan yang ia sampaikan lewat media sosial pribadi.
Hendaknya dipahami bahwa apa yang kita lemparkan ke publik lewat media sosial mencerminkan siapa diri (isi otak) kita. @weshley

Monday, February 11, 2019

Manchester City dan Liverpool Mengolah Harapan di Puncak

Football365

"Beberapa hari lalu, kami berpikir telah kehilangan kesempatan menjuarai Premier League."

Ucapan ini dilontarkan Gabriel Jesus, penyerang Manchester City usai timnya mendahului laga pekan ke-26 Liga Inggris 2018-2019.
Dua gol lewat Aymeric Laporte dan Gabriel Jesus ke gawang Everton pada Rabu (6/2) berhasil mengantarkan Manchester City kembali ke puncak klasemen Liga Inggris.
Mereka menyingkirkan Liverpool FC dari puncak klasemen walau memiliki satu pertandingan lebih banyak dari Si Merah.
"Sungguh menyenangkan bisa kembali berada dalam perburuan gelar juara liga. Kami akan berusaha memberikan yang terbaik untuk memenangi sisa pertandingan," kata Gabriel Jesus lagi seperti dikutip dari Football365.
Kemenangan penting Manchester City atas Everton itu diikuti pesta gol ke gawang Chelsea (6-0) empat hari kemudian.
Kini, Manchester City berada di puncak klasemen dengan nilai sama dengan Liverpool FC, namun unggul produktivitas dan... memainkan satu pertandingan lebih banyak. Sebuah kata kunci bagi pendukung Liverpool.
Usai kekalahan menyakitkan di markas Newcastle United, kubu Manchester City memang seperti terpukul.
"Tak ada lagi pertandingan yang santai," kata Gabriel Jesus.
Santai? Ya, seolah gol cepat Sergio Aguero ke gawang Newcastle United dalam hitungan detik sejak kick-off menyelesaikan segalanya.
Kekalahan 1-2 di markas Newcastle itu merupakan rapor merah yang ke-4 di Premier League 2018-2019. Jangan lupa, tiga kekalahan tersebut didahului dengan situasi Man. City mencetak gol lebih dahulu ke gawang lawan.
Hmm, mungkin hal ini yang dimaksud Gabriel Jesus dengan bermain santai.
Harapan kini menggelora di kubu Manchester City. Dengan "kemewahan" skuat yang mereka miliki, bahkan nilainya mencapai lebih dari 18 triliun rupiah, target juara adalah sebuah keharusan.
Optimisme dapat melewati laju Liverpool, ditambah kegamangan kubu Si Merah ketika dua kali bermain seri 1-1 pada akhir Januari dan awal Februari, menjadi keyakinan untuk mencapai target.
Ya, bukankah tanpa harapan dan keyakinan kita bakal sulit menyelesaikan serta mencapai target yang disepakati bersama?
Harapan itu tak hanya milik kubu Manchester City. Manajer Liverpool FC, Juergen Klopp, yang dikenal jago memotivasi pemainnya juga memainkan peran penting.
Baginya, situasi antara Liverpool dan Manchester City tidak mengherankan. Karena, setiap tim yang ingin berada di puncak klasemen dan menjadi juara di akhir musim harus selalu memiliki gairah dan hasrat yang nyata.
"Anda harus berjuang untuk mendapatkannya," ucap Juergen Klopp ketika ditanya wartawan soal pergeseran posisi di klasemen.
Harapan, persiapan yang baik, gairah, dan agresif guna mencapai tujuan dengan cara yang benar disebut Klopp akan menjadi kunci keberhasilan Liverpool.
Ya, bukankah harapan itu menjadi salah satu kekuatan terbesar manusia? @weshley

Wednesday, February 6, 2019

Solksjaer Mengembalikan Gaya Bermain Era Sir Alex?

Premierleague.com

Manchester United kembali bermain seperti di era kesuksesan Sir Alex Ferguson. Benarkah?

Benarkah Manchester United bersama Ole Gunnar Solksjaer akan kembali beraksi meninggalkan gaya bermain pilihan Jose Mourinho?
Pertanyan ini banyak bermunculan ketika manajemen Manchester United memutuskan menendang Jose Mourinho dan membajak Solksjaer dari klub Norwegia, Molde.
Sejak 19 Desember 2018, nama Solksjaer resmi diumumkan sebagai caretaker di kursi Manajer Manchester United menggantikan Jose Mourinho.
Tawaran kepada Solksjaer adalah menyelesaikan kompetisi 2018-2019 ditemani Mike Phelan, Michael Carrick, dan Kieran McKenna di jajaran pelatih.
Untuk menarik Solksjaer, manajemen Setan Merah harus mengeluarkan uang 1,8 juta pound (sekitar Rp 32,5 miliar) sebagai kompensasi kepada Molde.
Bila nanti Solksjaer dianggap cocok untuk terus mengisi kursi panas itu sebagai manajer yang berstatus permanen, kubu Molde mendapatkan tambahan “uang damai” sebesar 7,2 juta pound (Rp 130 miliar).
Prestasi dan harapan. Walau dalam skala kecil, Solksjaer telah mengubah gaya bermain Manchester United, menghadirkan kemenangan serta kegembiraan bagi para pendukung.
Lihatlah perubahan wajah-wajah para pemain Manchester United ketika memasuki lapangan dan menikmati pertarungan 2 x 45 menit bersama Solksjaer di bangku cadangan.
Solksjaer paham, pendukung Setan Merah pasti ingin melihat kembali semangat serta gaya bermain menyerang dan penuh tenaga era Sir Alex.
“Semua harus diawali dengan bagaimana cara kita bermain. Karena, Anda tidak bisa mengontrol hasil pertandingan. Yang bisa Anda kontrol adalah pendekatan ke pertandingan dan cara bermain.” Begitu kata Solksjaer.
Hmm, lebih seru lagi ketika Solksjaer mengaku tidak terlalu banyak bertanya apa yang terjadi dengan tim di era Jose Mourinho.
Ia lebih banyak mengajak para pemain melihat apa yang bisa mereka lakukan untuk mengembalikan gaya bermain Man. United seharusnya, yakni permainan sepak bola yang menarik: perpaduan kecepatan dan kekuatan!
Seperti dokter, Ole Gunnar Solksjaer menemukan penyakit yang menimpa Setan Merah dan mencarikan cara pengobatannya. At least hingga 10 pertandingan awal ia bersama Man. United.
Kegembiraan bermain dan kenyamanan di ruang ganti. Situasi ini rasanya pas disematkan pada kondisi terkini Manchester United.
Keberadaan Solksjaer di Teater Impian seolah menerapkan strategi jitu salah satu pelatih cabang olahraga hoki di Australia, Ric Charlesworth.
Sebelum tutup usia pada 8 Februari 1993, ucapannya kerap dipakai untuk menempatkan posisi dan peran pelatih olahraga. Begini katanya, "Yang menarik dari kepelatihan adalah Anda harus membuat sulit situasi nyaman dan menghadirkan situasi nyaman ketika ada masalah." Boleh ditiru, nih. @weshley

Tuesday, February 5, 2019

Ketika Liverpool Gugup di Puncak Klasemen

Premierleague.com

Dalam keadaan tertekan, dibutuhkan kemampuan untuk mengerahkan segala kemampuan dan kebersamaan yang kuat. Itulah yang dibutuhkan Liverpool FC saat ini.

Di pekan ke-25 Liga Inggris 2018-2019, Liverpool masih bertengger di puncak klasemen. Tapi, kali ini selisih poin dengan sang juara bertahan, Manchester City, kini tinggal 3.
         Momentum. Liverpool FC gagal memanfaatkan momentum dan memperlihatkan kegugupan berada di puncak klasemen. Benarkah?
         Ketika Manchester City tumbang 1-2 di markas Newcastle United pada pekan ke-24,  Selasa (29/1), sehari kemudian Liverpool malah seri 1-1 menjamu Leicester. Padahal, sebelumnya sulit bagi tim di luar 6 peringkat atas liga untuk mendapatkan poin dari LFC.
         Pekan berikutnya, komposisi waktu bertanding kedua tim pemburu gelar juara ini sama. Liverpool bermain sehari setelah Manchester City.
         Minggu, 3 Februari 2019, hattick Sergio Aguero membawa Manchester City menekuk Arsenal 3-1 di Stadion Etihad.
Lagi-lagi Unai Emery, pelatih Arsenal, tak sanggup melawan taktik permainan Pep Guardiola yang memimpin Manchester City.
Catatan duel kedua pelatih ini adalah 8 kemenangan untuk Pep dan 4 kali seri dari total 12 pertemuan. Timpang!
Manchester City meraih 3 poin di pekan ke-25 sehari sebelum Liverpool bertandang ke markas West Ham United FC.
Eh, benar saja sorotan terhadap kondisi pasukan Juergen Klopp. Terlihat situasi gugup, grogi, tak nyaman, dan waswas melihat kejaran Manchester City.
Setelah sempat unggul lewat gol Sadio Mane yang “berbau” offside, Liverpool harus menyudahi laga dengan skor 1-1.
Si Merah hanya punya tambahan satu poin ketika perebutan gelar juara semakin sengit dan membutuhkan kestabilan penampilan.
Penyerang West Ham, Michail Antonio, lagi-lagi memperlihatkan “kesukaannya” terhadap gawang Liverpool. Ia mencetak gol ke-5 ke gawang LFC dalam total 7 pertandingan sepanjang kariernya.
Benarkah ucap-ucap bahwa pemain Liverpool tak kuat menyingkirkan situasi tak nyaman akibat tekanan dari Manchester City?
Benar atau tidak, di saat seperti inilah peran Juergen Klopp dan tim pelatih bisa menyeimbangkan “kapal oleng” akibat angin badai dari Kota Manchester.
Liverpool kehilangan 7 poin dalam 5 pertandingan liga terakhir. Padahal, mereka hanya “melepas” 6 poin dalam 20 laga awal Premier League musim ini.
Jadi, akankah Liverpool kembali harus menjauh dari "Kelompok 6" pemilik gelar juara Liga Inggris era Premier League yang berlangsung sejak musim 1992-1993?
Tentu semua pihak di kubu The Reds paham, ketika mereka memulai kompetisi, tekanan selalu ada dan ada. 
Semua klub yang terjun ke kompetisi tentu ingin mengakhirinya dengan hal baik, terutama gelar juara. Emangnya ada klub yang tidak ingin juara?
Apalagi bila Anda mengelola tim dengan nilai para pemain di pasaran mencapai 15 triliun rupiah. Pasukan Liverpool hanya kalah "murah" dari pasukan Pap Guardiola di Manchester City yang mencapai 18 triliun rupiah.
Pada suatu waktu, Juergen Klopp pernah berkata, "Tantangan bagi Liverpool adalah tetap tenang menghadapi tekanan guna meraih kesuksesan di masa depan."
Bila Liverpool sunguh-sungguh ingin juara (masak sih gak mau?), mereka harus siap menghadapi situasi yang lebih berat dibanding kejadian di markas West Ham.
Februari 2019, panggung Liga Champions kembali menunggu aksi pemain-pemain Liverpool. Tekanan menghadapi Bayern Muenchen jelas lebih berat daripada yang diberikan West Ham. 
Februari 2019 pun akan mementaskan drama kelas wahid di Teater Impian ketika Liverpool adu aksi panggung melawan Manchester United. 
Pemain-pemain yang bugar, terutama di lini belakang, serta kepala yang terangkat tegak memasuki stadion adalah yang dibutuhkan Juergen Klopp. 
Itulah modal LFC untuk menyamai prestasi Manchester United, Arsenal, Chelsea, Manchester City, Blackburn Rovers, dan Leicester City.
Februari bakal berat bagi Si Merah. Ya. Tetapi, Februari juga dikenal menawarkan cinta setiap hari. Adakah cinta itu merapat ke Liverpool? @weshley