Baru-baru ini, saya kembali mendapatkan kesempatan
berbicara di hadapan sejumlah mahasiswa sebuah perguruan tinggi di Jakarta. Kami
berdiskusi tentang kekuatan komunikasi lewat media.
Seperti biasa, salah satu kebiasaan saya adalah
bertanya kepada peserta diskusi soal membaca dan membeli media cetak.
Dari puluhan mahasiswa yang hadir di kelas diskusi
tersebut, tak satupun yang angkat tangan ketika saya bertanya, “Siapa yang
membaca koran cetak hari ini… minggu ini… bulan ini.” Serem juga ya.
Lalu, pertanyaan saya kembangkan, “Siapa yang
membaca berita dari media online hari ini?”
Berapakah mahasiswa yang angkat tangan? Ups, tidak satupun. Saya anggap mereka
masih malu-malu karena diskusi baru dimulai dan saya adalah orang asing bagi
mereka.
Pertanyaan berkembang, biasalah saya ingin lebih
dekat dan mencairkan suasana sebelum memberikan materi yang lebih serius. “Siapakah
hari ini yang sudah membuka Instagram?”
Benar dugaan saya, beberapa mahasiswa angkat
tangan.
“Kalau Twitter, siapa yang sudah membuka akun Twitter
miliknya sebelum masuk ke ruangan ini? Yup, sejumlah mahasiswa angkat tangan
lagi.
Dari Instagram ke Twitter, lanjut ke Facebook dan
Youtube. Kawan-kawan mahasiswa lebih akrab dengan media sosial ketimbang media
massa.
Tentu saya tak berhenti sampai di situ. Rasa
penasaran saya mengarah kepada: dari mana mahasiswa mendapatkan informasi
terkini yang dibutuhkan dalam upaya mengisi diri agar kata “maha” di depan
siswa itu benar adanya?
Kekhawatiran kita semua terhadap perkembangan hoaks di negara ini haruslah dilawan
dengan kelahiran para pemberi informasi yang bertanggung jawab atas apa yang ia
sampaikan. Mahasiswa punya peran di sini.
The power of
communication.
Bagaimana caranya berkomunikasi dengan baik dan benar serta memiliki kekuatan
menjelaskan situasi dan mengubah pemahaman serta perilaku pembaca menuju kebenaran
yang disampaikan?
Banjir berita soal kondisi federasi sepak bola
kita, PSSI, membuat saya pada sebuah kekhawatiran. Bila semua berita tentang
PSSI adalah keburukan, caci-maki dan umpatan, berapa lama hal itu akan tumbuh
dan berkembang di benak anak-anak Indonesia?
Haruskah stigma bahwa PSSI itu buruk… bahwa
kompetisi di Tanah Air tidak lagi murni… bahwa sepak bola Indonesia itu tidak
bakal berprestasi?
Kita semua berharap badai di PSSI segera berlalu.
Kita ingin yang terbaik bagi kemajuan sepak bola nasional. Semua merindukan prestasi
timnas.
Stigma negatif itu harus dilawan dengan keyakinan
bahwa sepak bola kita bisa baik kok… dimulai dari pengelola klub dan mereka yang
punya suara untuk menentukan pemimpin PSSI.
Rekan saya wartawan dan pengamat sepak bola, Maruf
El Rumi, berkali-kali menyuarakan harapannya agar narasi positif tentang sepak bola
nasional juga digalakkan. Jangan semua orang hanya mengeluarkan pernyataan
negatif karena ikut angin panas PSSI saat ini.
Pasti ada hal-hal baik tentang sepak bola
nasional, entah itu di level junior atau tingkat dewasa. Akan tetapi, siapa lagi yang
tertarik memberitakan hal tersebut ketika isu PSSI demikian seksi untuk menarik
perhatian? Ah, jangan berhenti berharap!
Media massa saat ini memang tengah berkompetisi
dengan media sosial untuk mencari perhatian masyarakat yang ingin mendapatkan
informasi.
Mengingat dahsyatnya kekuatan komunikasi dalam
memengaruhi pemahaman dan sikap orang lain, sudah saatnya bermunculan para
pemberi informasi yang bertanggung jawab, memahami isi pernyataan yang ia sampaikan
lewat media sosial pribadi.
Hendaknya dipahami bahwa apa yang kita lemparkan ke publik lewat media sosial mencerminkan siapa diri (isi otak) kita. @weshley
No comments:
Post a Comment