Thursday, December 6, 2018

Tidak Mudah Memuaskan Semua Pihak

Foto: Cindy Pareira

“Sebagai pembawa acara olahraga di televisi, termasuk sepak bola, presenter bertugas tidak hanya sebagai pembuka dan penutup acara. Juga punya posisi tersendiri di antara kedua kubu yang bertanding.”

“Salam olahraga.” Dengan gaya dan suara yang khas, Ibnu Jamil memperlihatkan karakternya sebagai pembawa acara olahraga di RCTI kepada mahasiswa Fikom Universitas Mpu Tantular, Jakarta, Rabu (5/12/2018).
Selain sebagai aktor dan bintang iklan, Ibnu Jamil memang dikenal sebagai salah satu sports caster di televisi.
“Bagaimana mau menjadi presenter olahraga? Anda terlebih dahulu harus mencintai olahraga dan tak pernah segan belajar dari banyak pihak,” ujar Ibnu Jamil. "Jangan merasa cepat puas."
Menjalin hubungan yang baik dengan nara sumber adalah salah satu kiat Ibnu Jamil memperlancar pekerjaan di depan kamera televisi, apalagi ketika harus bekerja dini hari.
Tidak melulu harus meriah, sports caster juga perlu dibekali informasi-informasi yang membuat penonton acara tersebut menjadi lebih tahu dan paham terhadap situasi. Jangan hanya menceritakan apa yang penonton juga saksikan.
Dari para peserta acara bertajuk “Media Massa dan Tanggung Jawab Olahraga” itu, ada pertanyaan yang membuat Ibnu Jamil harus memberikan penjelasan secara bijak.
“Harus saya akui, tidak mudah untuk memuaskan semua pihak yang menonton acara ketika saya bertugas sebagai presenter. Masing-masing penonton memiliki kesukaan yang tidak bisa kita puaskan.”
Hanya, Ibnu punya penegasan kepada mahasiswa, termasuk sejumlah mahasiswi yang berkali-kali mengarahkan kamera telepon seluler mereka ke arahnya.
“Yang penting itu, kamu memiliki karakter yang kuat. Tampang ganteng dan cantik itu relatif dan bisa tergantikan oleh orang lain. Ya kan? Namun, bila kamu memiliki karakter yang kuat dan khas, saya yakin karier kamu akan panjang,” ucapnya.
Foto: Cindy Pareira
Sebagai bagian dari SPORTAKUS yang membawa misi “Sports Responsibility”, Ibnu Jamil juga menularkan virus positif olahraga di hadapan para peserta, baik mahasiswa maupun pengajar di Kampus Universitas Mpu Tantular.
Katanya, “Jangan karena berbeda klub kecintaan kemudian kita kehilangan persaudaraan. Bijak-bijaklah menyampaikan informasi di media sosial, karena kita semua punya hak untuk berbeda klub kesukaan.”
Betul. Dalam perebutan gelar juara kan harus ada yang kalah dan menang. Masak kedua tim bertanding dan kemudian sama-sama menang. Gak lucu, ah.
Kita yang menonton juga harus siap untuk menerima hasil di lapangan, sepertinya para atlet yang berlaga.
Apa jadinya olahraga bila kekalahan selalu dianggap sebagai aib dan akhir dari kehidupan? Bukankah olahraga memberikan kesempatan untuk memperbaiki kesalahan dan kegagalan? @weshley
Foto: Cindy Pareira

Ayo Berpetualang Meliput Sepak Bola

Foto: Cindy Pareira
Jangan pernah berhenti bermimpi. Dari mimpi itulah kita bisa mewujudkan hal yang semula dianggap mustahil.”

Ucapan rekan saya dari Boladoang.com, Haris Pardede, sungguh menyita perhatian puluhan mahasiswa Universitas Mpu Tantular, Jakarta, yang berkumpul pada pada Rabu (5/12/2018) siang hingga matahari terbenam itu.
Dalam sebuah kegiatan bertemakan “Media Massa dan Tanggung Jawab Olahraga”, saya dan Haris Pardede menjadi salah satu pembawa materi selain jurnalis senior dari Harian Sindo dan aktor sekaligus presenter olahraga Ibnu Jamil.
Dengan mengusung misi “Sports Responsibility”, kami yang tergabung dalam SPORTAKUS memang ingin berbagi dan menyebarkan filosofi olahraga di semua aspek kehidupan kita. Termasuk kepada rekan-rekan mahasiswa.
Haris, pemilik sekaligus Pemimpin Redaksi Boladoang.com bercerita bagaimana dirinya bepergian ke berbagai kota dan negara untuk meliput event olahraga, termasuk sepak bola.
Haris hadir di final Liga Champions, final Liga Europa, ajang Piala FA di Inggris hingga Piala Eropa dan Piala Dunia.
Modalnya? Bukan melulu apsek finansial, melainkan diawali oleh mimpi dan mengembangkan bakat yang dimiliki untuk “dijual” kepada pihak lain.
“Dulu,” katanya begitu dengan nada sedikit malu, “Saya hanya bisa bermimpi dan kagum saat membaca tulisan wartawan-wartawan senior yang biasa meliput event bergengsi dan mewawancarai atlet kelas dunia.”
Apakah mimpi tinggal mimpi? Tidak. Haris Pardede mewujudkannya dengan memulai dari berbagai modal yang ia miliki. 
Setidaknya, relasi yang terjaga bisa dikembangkan menjadi “rekan bisnis” yang memudahkannya meraih mimpi: meliput event kelas dunia.
Membuat program dan menawarkan proposal dengan berbagai content liputan ke beberapa pihak, termasuk televisi, ternyata menjadi salah satu jalan Haris Pardede kemudian dikenal sebagai penulis dan peliput event-event sepak bola di luar  negeri. Menarik enggak tuh?
Haris bercerita, bukan tak mungkin dirinya hanya keluar uang 10 persen dari total dana yang dibutuhkan untuk liputan di luar negeri dalam kurun beberapa hari. Sisanya? Sudah ditutupi oleh pihak sponsor, mungkin satu atau bisa juga dua hingga tiga sponsor yang berminat.
“Yang penting, jangan pernah berhenti untuk memulai sesuatu yang kalian suka dan impikan. Tentu selama impian itu masuk akal dan bisa membawa kebaikan” begitu katanya. Setuju? @weshley
Foto Cindy Pareira

Olahraga Punya Kekuatan, Mau Dipakai untuk Apa?

Foto: Cindy Pareira

"Media dan olahraga tidak bisa dipisahkan. Satu penyambung lidah, satu lagi pemersatu bangsa. Jangan sampai dipelintir apalagi dipolitisir. Untuk generasi muda, jangan takut jadi kuli tinta, sukses bisa diraih jika Anda lakukan dengan cinta.”

Kalimat ini begitu menyentuh saya ketika bersama rekan-rekan dari SPORTAKUS berbagi ilmu dan pengalaman di kampus Universitas Mpu Tantular, Jakarta, pada Rabu (5/12/2018).
          Acara berlangsung lebih lama dari yang dijadwalkan panitia dan kami perkirakan. Mungkinkah karena materi yang menarik atau pembawa materinya? He... he... he.
Bersama jurnalis sekaligus pengamat sepak bola Maruf El Rumi dan Haris Pardede, serta aktor dan sports caster Ibnu Jamil, kami membawakan materi “Media Massa dan Tanggung Jawab Olahraga” di hadapan puluhan mahasiswa komunikasi Mpu Tantular, Jakarta.
Dengan mengusung misi “Sports Responsibility”, kami yang tergabung dalam SPORTAKUS ingin berbagi dan menyebarkan filosofi olahraga di semua aspek kehidupan kita.
          Di sesi pertama, saya didaulat, dipaksa, dipercaya… atau apalah namanya oleh teman-teman untuk membawakan materi lebih dahulu.
          Temanya tak berat-berat, namun saya yakin sesuai dengan peserta acara yang oleh pihak kampus dijadikan dalam bentuk seminar.
          Benarkah media cetak kalah oleh media online? Lalu, di mana peran media sosial dalam persaingan dua media berbeda platform tersebut?
          Kalimat di alinea pembuka tulisan ini berasal dari sang moderator acara, Mbak Ajenk Ningga Citra, S.Sos, M.Si.
          Usai materi tentang bagaimana sebenarnya peran media massa dan kekuatannya saat ini di tengah turbulensi media akibat kemajuan teknologi, Ajenk menangkap dengan tepat pesan yang ingin saya sampaikan.
          Kalau Mahamatma Gandhi dan Nelson Mandela menjadikan olahraga dan sepak bola sebagai alat belajar menyampaikan kebaikan bahkan memperbaiki kerusakan, kenapa kita tidak belajar memanfaatkan the power of football untuk membangun bangsa ini?
          Pesan saya kepada para mahasiswa calon pelaku media massa atau pembentuk opini masa depan, jangan sekadar melepaskan informasi tanpa memperkuat 2 unsur dalam pemberitaan: “why dan how”.
          Plus, bila kita bekerja dengan dan penuh cinta, setidaknya informasi yang disampaikan kepada publik punya banyak tujuan kebaikan, bukan sekadar menarik perhatian.
Belajar dari Nelson Mandela bahwa sport punya kekuatan untuk mengubah dunia, menginspirasi, dan menyatukan orang banyak.
Bahwa olahraga itu bisa menciptakan harapan.
Mantan terpidana politik dan menjadi orang nomor satu di Afrika Selatan itu mengatakan dibanding pemerintah, sport punya kemampuan lebih kuat untuk memupus rasis dan perbedaan di masyarakat. Setuju?
Bila kita sepakat bahwa olahraga itu merupakan permainan para pencinta damai, kenapa kita  tidak ambil bagian di dalamnya?
Tanggal 5 Desember 2013 di Kota Johannesburg (Afrika Selatan), Nelson Mandela tutup usia di angka 95. Pada 5 Desember 2018 di Kota Jakarta, saya menyampaikan cara pandangnya dalam melihat olahraga demi kebaikan di Kampus Universitas Mpu Tantular. @weshley

Foto: Cindy Pareira


Thursday, November 29, 2018

Jangan Ada Kecurigaan di Sepak Bola Indonesia


"Sepak bola Indonesia itu harusnya milik semua warga negara ini, bukan hanya segilintir orang yang bisa menentukan apa yang dia suka."

Kamis pagi, 29 Oktober 2018. Di sebuah hotel di ibu kota, saya bertemu dengan salah satu sosok yang saya kagumi di panggung sepak bola nasional.
            Saya termasuk generasi yang beruntung masih sempat menyaksikan Fakhri Husaini beraksi mengenakan kostum timnas Indonesia.
            Fakhri Husaini yang saya kenal adalah gelandang elegan dengan kreativitas tinggi. Saya menyebutnya “pesepak bola pintar”.
Kemampuannya di lapangan seolah mempertontonkan apa yang ada di dalam benaknya.
            Benar. Sebagai pelatih, Fakhri Husaini memperlihatkan bahwa sepak bola itu bisa dimainkan dengan baik dan menghibur. Serta bisa dikelola dengan baik selama semua pihak memiliki tujuan yang sama.
            Nama Fakhri Husaini belakangan mencuat ketika menghadirkan kekaguman pencinta sepak bola nasional bersama Bagus Kahfi  dkk yang membela timnas Indonesia di Piala AFF dan Piala Asia U-16 2018.
            Gaya bermain tim asuhannya membawa masyarakat Indonesia pada sebuah harapan: sepak bola yang berprestasi.
            Kemudian, atas pencapaian timnas senior yang kembali melempem di Piala AFF 2018, nama Fakhri Husaini disebut-sebut sebagai pelatih yang akan memperbaiki situasi. Benarkah?
            Tidak, kali ini saya tidak akan mengungkapkan semua hasil pembicaraan dengan coach Fakhri Husaini. Termasuk dengan rencana-rencananya ke depan.
            Dalam pertemuan selama sekitar 3 jam itu, Fakhri Husaini mengingatkan saya agar jangah pernah takut menghadapi tekanan dari pihak lain.
Katanya, “Kalau kita memang benar, tidak menyembunyikan sesuatu, kenapa takut menghadapi dan menjawab semua pertanyaan masyarakat, termasuk di muka umum?”
Tekanan terhadap PSSI belakangan ini setelah gagal total di Piala AFF 2018 memang merisaukan banyak stakeholders sepak bola nasional, termasuk Fakhri Husaini.
Melatih timnas Indonesia adalah sebuah kebanggaan bagi setiap pelatih di Indonesia. Begitu pula bagi Fakhri Husaini, yang namanya disebut-sebut oleh sebagian pihak untuk kembali bertugas ke tim nasional Indonesia.
“Sebagai warga negara yang baik, kita tidak boleh menolak tugas untuk mengharumkan bangsa, termasuk lewat sepak bola,” kata Fakhri Husaini dengan wajah serius. “Selama ada kesepakatan dengan pihak-pihak terkait, nama Indonesia harus didahulukan.”
Namun, ia ingin setiap pihak yang terkait dalam pengelolaan sepak bola di Tanah Air harus memiliki tujuan dan harapan yang sama. Tak boleh ada kecurigaan terhadap mereka yang mengelola sepak bola di negeri ini akibat kepentingan yang berbeda.
“Satu hal lagi, jangan pernah menghindar untuk menyampaikan kebenaran bila memang tidak ada yang ditutup-tutupi.” Sepakat, coach! #

Thursday, November 22, 2018

Haruskah Kita Meninggalkan Timnas Indonesia?


Seorang pelatih sepak bola pernah berkata kepada saya, “Puncak karier pemain adalah terpilih dan bermain untuk tim nasional.”

Dalam perkembangan terlibat dalam dunia olahraga nasional, saya bisa dekat dengan tim nasional Indonesia. Sebagai wartawan, akses meliput dan mewawancarai pelatih atau pemain timnas dipermudah.
Kecintaan terhadap tim nasional tidak pernah luntur walau yang dicintai terlalu lama tidak memberikan “jawaban” atas pertanyaan bertahun-tahun.
Ya, untuk level timnas senior kita masih harus menanti kapan Garuda Merah Putih memberikan gelar juara setelah medali emas SEA Games 1991.
Kegagalan terakhir milik timnas senior adalah di Piala AFF 2018. Sebelum melakoni laga terakhir atau yang ke-4 di Grup B, Indonesia sudah dipastikan tidak lolos ke babak berikut. Astaga!
Bahkan, timnas Indonesia menelan dua kekalahan dalam tiga pertandingan tersebut. Amit-amit, jangan sampai deh menjadi tiga ketika menjamu Filipina di Stadion Utama Gelora Bung Karno pada Minggu (25/11).
Sejak nyaris juara, ya nyaris, di Piala AFF 2010, terpuruk di fase grup seperti di Piala AFF 2018 bukan hal baru.
Piala AFF 2012 dan 2014 menjadi bukti betapa kisruh sepak bola nasional memakan korban tim nasional kita sendiri. Setelah menjadi runner-up di AFF 2010, masak timnas Indonesia terkulai di dua episode berikut?
Kekalahan 0-1 di Singapura pada Piala AFF 2018 memang bisa ditebus dengan kemenangan 3-1 atas Timor Lesta, walau di mata saya tidak mengesankan penampilan tim yang siap juara.
Bila timnas Yunani bisa tampil mengejutkan di Piala Eropa 2004, kenapa Indonesia tidak bisa menghadirkan kejutan serupa di Piala AFF 2018? Begitu pemikiran yang coba saya bangun sebelum laga melawan Thailand di Bangkok.
Selalu ada harapan. Itulah keyakinan saya, walau harus jujur diakui terkesan dipaksakan melihat cara dan kualitas bermain tim asuhan Bima Sakti.
Jerman bisa kok menghantam Brasil di hadapan pendukung lawan pada  semifinal Piala Dunia 2014 dengan skor telak 7-1, kenapa Indonesia tidak bisa melakukannya atas Thailand?
Namun, hasil di Bangkok semakin mempertegas alasan teriak-teriak kekecewaan pencinta sepak bola di Tanah Air. Indonesia kalah 2-4 dari Thailand.
Kemudian, hasil seri 1-1 antara Filipina vs Thailand memastikan nasib timnas Indonesia terlempar dari peluang melaju ke semifinal Piala AFF 2018.
Protes ketidakpuasan atas kepemimpinan pengurus PSSI saat ini karena pencapaian tim nasional Indonesia berlanjut dengan sikap menolak datang ke stadion mendukung Hansamu Yama dkk.
Muncullah #KosongkanGBK yang ramai dibahas ketika Indonesia menjamu Timor Leste di laga kedua Grup B Piala AFF 2018.  Aduhhh!
Benarkah itu tindakan yang tepat? Protes atas penampilan dan kualitas timnas atau karena harga tiket yang mahal? Semoga tidak dicampuradukkan.
Sebagai warga Indonesia, saya hanya punya satu wakil di cabang sepak bola. Ya, timnas Indonesia yang saat ini dilatih Bima Sakti dan akan bertanding melawan Filipina di Stadion Gelora Bung Karno pada Minggu (25/11).
Kekecewaan seseorang mungkin saja berwujud menolak menonton langsung timnas, namun hendaknya tidak dengan berteriak mengajak orang lain menjauh dari timnas Indonesia.
Bila masyarakat Indonesia tidak lagi merasa memiliki tim nasional atau tidak merasa terwakili oleh para pemain dengan logo burung Garuda di dada, lalu masihkah tim nasional itu merupakan puncak karier pesepak bola di negeri ini?
Mengelola sepak bola di negeri ini ibarat pekerjaan tiada berkesudahan bertarung dengan masalah. Membuat kita geleng-geleng kepala sampai oleng.
Semua pihak punya kepentingan. Namun, apakah kepentingan mengharumkan nama Indonesia berada di atas segalanya? Tema ini menarik untuk kita diskusikan. #

Saturday, November 17, 2018

Nasionalis dan Rasionalis Pencinta Timnas Indonesia


Pendukung timnas Indonesia itu ada beberapa tipe. Namun, yang baru-baru ini "menyapa" di ruang saya adalah mereka yang gerah mendengar ulasan kemudian menuding kurang nasionalis.



Piala AFF 2018. Saya mendapatkan kesempatan menemani pencinta timnas Indonesia ketika pasukan asuhan Bima Sakti berlaga melawan Singapura dan Timor Leste di dua laga Grup B Piala AFF 2018.
Hasilnya berbeda. Timnas Indonesia kalah 0-1 di Singapura (9/11) dan menang 3-1 atas Timor Leste (13/11) di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta.
Akan tetapi, ada kesamaan dua laga tersebut yang tampak di mata saya. Selain memelototi data dari situs resmi kejuaraan, tentu sebagai pengamat sepak bola saya juga melihat aspek-aspek lain.
Karena pembanding paling dekat adalah timnas kita di Asian Games 2018, tentu tak salah melihat perbedaan nyata tim asuhan Luis Milla dan Bima Sakti.
Memang, di timnas Asian Games 2018 asuhan Luis Milla ada nama Bima Sakti sebagai asisten pelatih.
Fondasi timnas Indonesia di Piala AFF 2018 asuhan Bima Saktu tak jauh berbeda dari timnas Indonesia di Asian Games 2018 arahan Luis Milla.
Akan tetapi, tidakkah terlihat perbedaan nyata dari cara Evan Dimas dkk bermain?
Ketika pemain Singapura membangun garis pertahanan lebih ke tengah dan tidak membiarkan pemain kita leluasa menguasai bola untuk membangun penyerangan, adalah wajar bila saya tak henti berharap ada perubahan taktik dari Bima Sakti, Kurniawan Dwi Yulianto, dan Kurnia Sandi sebagai arsitek timnas.
Ketika Thailand mendapatkan 3 gol ke gawang Timor Leste dalam 31 menit pertandingan, masak saya memberikan pujian kepada timnas yang hanya punya 1 tembakan on target dalam 45 menit awal... dan kebobolan! Alamak.
Tak ada yang ingin timnas Indonesia kalah. Semua ingin melihat nama Indonesia tercantum untuk pertama kali dalam daftar juara Piala AFF, ajang bergengsi negara-negara di Asia Tenggara.
Akan tetapi, kritikan dari penonton bahwa saya kurang memberikan pujian dan semangat saat bertugas di RCTI memperlihatkan kelompok penonton sepak bola yang saya maksudkan di atas.
Sebagian besar setuju dengan analisis yang saya sampaikan bahwa permainan timnas Indonesia di dua laga awal Grup B Piala AFF 2018 belum memperlihatkan level yang dibutuhkan untuk menjuarai ajang ini.
Saya juga menggarisbawahi kinerja tiga pihak yang berperan untuk menjawab apakah kita ingin timnas Indonesia juara Piala AFF?
Federasi, pengelola kompetisi, dan klub yang memiliki pemain harus berada dalam frekuensi yang sama, tujuan yang sama.
Saya pun mempertanyakan kejuaraan apa yang paling masuk akal untuk dimenangi timnas Indonesia dalam jangka pendek.
Ya, gelar juara Piala AFF dan SEA Games jelas lebih mudah diraih ketimbang Piala Asia, Olimpiade, apalagi Piala Dunia.
Apakah federasi pengelola sepak bola di negeri ini mencoret Piala AFF (dan SEA Games) sebagai target "hadiah" bagi masyarakat Indonesia sehingga gagal memiliki pelatih selepas Asian Games 2018?
Juga pengelola liga masih tak kuasa untuk tidak menjalankan roda kompetisi ketika Piala AFF 2018 digelar.
Lihat apa yang dilakukan negara lain peserta kejuaraan dengan kompetisi mereka saat AFF Suzuki Cup 2018 digelar.
Tulisan ini bukan untuk menjawab kritikan bahwa saya kurang bersikap optimistis dan nasionalis. No!
Tak ada yang salah dengan berteriak-teriak mendukung timnas dan memberi semangat pemain di studio RCTI. Tetapi, apakah para pemain mendengarkannya dan bisa mengubah keadaan di lapangan?
Saya lebih memilih menemani penonton dengan paparan data dan analisis untuk melihat lebih komprehensif alias lebih luas situasi terkait timnas.
Sehingga, penonton bisa memutuskan mau bersikap seperti apa atas tontonan yang ia lihat serta pemaparan yang kami sampaikan.
Ketika saya dan Bung Hadi "Ahaiii" Gunawan beberapa kali menceritakan siapa itu Fandi Ahmad, pelatih Singapura, ada saja penonton yang merasa terganggu.
Mereka lebih suka kami berteriak "ayo Indonesia" atau "kamu bisa, kamu pasti bisa" daripada mendengar latar belakang Fandi Ahmad yang sangat mengenal sepak bola Indonesia serta kualitasnya sebagai pemain dan pelatih. Aneh juga ya.
Sekali lagi, kita bisa memilih masuk ke kelompok mana sebagai pencinta dan pendukung timnas Indonesia.
Saya memilih mendukung dengan bersikap rasionalistis tanpa mengurangi kadar cinta terhadap timnas Indonesia serta pertemanan dengan coach Bima Sakti, Kurniawan Dwi Yulianto, dan Kurnia Sandi. #

Friday, November 16, 2018

Menang, Kalah, dan Cinta

Sepak bola, begitu pula tentang pertandingan dari cabang olahraga lain, tak lepas dari menang dan kalah.

Rasanya kita sepakat bahwa dalam kondisi normal, tak ada atlet yang sudah capek-capek latihan kemudian turun bertanding untuk kalah.
Bayangkan betapa banyak waktu dan tenaga yang sudah dipakai para atlet sejak usia muda untuk menjalani latihan dan kemudian bertanding membawa harapan banyak orang.
Mungkinkah mereka mau membuang semua pengorbanan sejak masa kecil itu untuk kemudian kalah di panggung laga?
Satu atau kumpulan atlet bertanding tidak hanya untuk kemegahan diri mereka, juga membawa harapan dan kesukaan banyak orang.
Nah, ketika si atlet kalah atau gagal memuaskan harapan para pendukungnya, terkadang reaksi yang muncul adalah umpatan dan makian.
Umpatan, kekecewaan, makian, atau apapun namanya seolah menjadi kebiasaan ketika kekalahan adalah jawaban atas harapan yang kita bawa menyaksikan pertandingan.
Sepak bola, dan juga cabang olahraga lain, mengajarkan kita untuk menerima hasil pertandingan (kehidupan). Bukankah yang menang hanya 1 pihak dan yang lain harus menerima status kalah?
Totalitas atlet itu diarahkan saat persiapan dan proses bertanding. Setelahnya? Kita harus menerima hasil yang diputuskan.
Kemudian, sikap atlet setelah pertandingan adalah: mempertahankan kemenangan atau memperbaiki kegagagalan. Semuanya melalui proses, bukan pemberian.
Totalitas penonton? Tak perlu mengumbar kebencian dan umpatan. Kekalahan bukan berarti kemudian meninggalkan jagoan.
Mendukung ketika tim kesayangan kita menang itu sungguh mudah. Tetapi, tetap mendukung dalam kekalahan adalah sebuah wujud kecintaan sejati.#

Tuesday, October 30, 2018

Sepak Bola, Suporter, dan Pemain Ke-12


Suporter sepak bola Indonesia (Kukuh Wahyudi)
Apa jadinya sepak bola tanpa suporter? Rasa penasaran terhadap sebutan suporter sebagai “pemain ke-12” dalam sepak bola menjadi ide tulisan yang pernah pernah diterbitkan di Tabloid BOLA pada November 2012.

Satu-satunya hal yang tidak bisa kita kendalikan adalah para pendukung.
Sungguh menarik men­cermati pemikian Jose Mourinho menyikapi peran para pendukung sebuah klub sepak bola.
Pelatih asal Portugal yang pernah berkunjung ke Indonesia pada Juni 2012 itu mengakui betapa pentingnya dukungan penonton dalam strategi permainan yang diraciknya.
Penonton dan pendukung sebuah tim bisa membuat para pemain menampilkan kemam­puan terbaiknya, bahkan melebihi dugaan si pemain itu sendiri.
Di sisi lain, penonton di Stadion Utama Gelora Bung Karno yang mendukung timnas Indonesia saat berlaga di Piala Asia U-19 2018 membuat pemain-pemain muda Uni Emirat Arab grogi dan kemudian kalah 0-1 pada 24 Oktober 2018.
Sulit menemui di negara lain antusiasme besar suporter Indonesia ketika mendukung tim junior. Pemain tamu dibuat "stres"... mungkin itu pilihan kata yang pas... he he he.
Namun, tak jarang para penonton menjadi kerikil tak terkontrol. Bukannya men­jadi amunisi spesial yang menggoyahkan keyakinan lawan, kehadiran spektator malah seperti duri bagi pemainnya.
Pada suatu waktu, Mourinho mengaitkan peran penonton dengan sepak bola negatif yang sempat dicapkan pada dirinya. Katanya, terkadang orang-orang datang ke stadion membawa aspek-aspek negatif dari masyarakat di sekitar. Benar gak sih?
Tak heran bila perkelahian dan sikap rasialisme muncul dari para penonton sepak bola. Atau bahkan mengejek pemain sendiri ketika hasil pertandingan tak sesuai harapan. Hayoo, jangan dibantah!
Saya yakin tindakan seperti itu sulit dikontrol oleh sebuah klub dan akhirnya bisa merugikan perjalanan tim.
Masih ingat sejarah kelam sepak bola bernama “Tragedi Heysel Mei 1985?”
Sejarah kerusuhan suporter dalam tragedi final Piala Champions antara Liverpool dan Juventus itu membuat klub-klub Inggris belajar dari hukuman yang mengasingkan mereka dari panggung elite sepak bola.
Akan tetapi, tentu tak ada yang mem­bantah pentingnya kehadiran para pendukung sebuah tim.
Suporter dan klub sepak bola saling membantu memberi kehidupan dan kebahagiaan.
Oh ya, penasaran gak penonton sepak bola dari negara mana yang dicap suporter terbaik?
Ingin sekali menjawab dengan cepat: INDONESIA.  Ya kan, ya kan?
Penulis di Eropa pernah menyebut suporter klub Celtic FC dari Skotlandia sangat berperan menjadi amunisi tambahan bagi pemainnya. The most dedicated and reliable fans in the world.
Ada juga yang mengatakan suporter sepak bola di Jerman sebagai yang terbaik karena bersikap sopan dan loyal. Kubu lain menyebut fan Inggris dan Brasil karena mereka memuja olah raga ini.
Penonton di Belanda yang menjadikan sepak bola sebagai saluran kegembiraan dan kenikmatan dalam komunitasnya.
Mundur ke tahun 2008, ada sebuah jajak pendapat oleh media massa di Inggris soal siapa negara dengan suporter sepak bola terbaik di dunia.
Jawaban­nya di luar dugaan karena Swedia mendapatkan 33 persen suara responden. Di peringkat kedua muncul Italia dengan 14 persen.
Di Piala Dunia 2002, saya menyak­sikan sendiri bagaimana kekuat­an suporter Korea Selatan men­jadi "amunisi" spesial bagi Park Ji-sung dkk. untuk mengejutkan dunia.
Tak hanya stadion, kota-kota di Korsel memerah oleh pemain ke-12. Menakjubkan!
Perkembangan pemain ke-12, terutama untuk tim nasional, bisa kita saksikan ketika Indonesia menggelar Piala Asia 2007 dan kemudian Piala AFF 2010.
Menarik juga mencermati kenapa angka 12 punya arti khusus dalam sepak bola dan hidup kita.
Dalam peradaban kuno, angka 12 berarti kesempurnaan dan harmonis. Kita memiliki 12 bulan untuk menggenapi waktu setahun.
 Horoskop Cina juga memunculkan 12 hewan.
Masuk ke wilayah sejarah dan kerohanian, Yakub memiliki 12 anak laki-laki yang kemudian memenuhi muka bumi. Yesus Kristus mempunyai 12 murid.
Dalam kosmologi Jepang, Sang Pencipta duduk di atas 12 bantal suci.
Masih banyak lagi kisah dari berbagai negara dan agama yang menyoroti peran angka 12.
Itulah sebabnya julukan suporter sepak bola sebagai pemain ke-12 seharusnya berdampak positif, bukan destruktif. Setuju, kan?
Perumpaan sepak bola tanpa penonton ibarat sayur tanpa garam tentu wajib diikuti dengan menjaga peran pemain ke-12.#

Sunday, October 28, 2018

Bola Jembatan Kehidupan


Kisah ini saya pernah saya tuliskan di Tabloid BOLA edisi Sabtu, 24 November 2012 dan sedikit mendapat polesan disesuaikan dengan waktu saat ini. Perjalanan melihat kehidupan di Pulau Nias dan kembali mengingatkan saya akan kekuatan olahraga, termasuk sepak bola.

Pulau Nias. Tujuh tahun setelah tsunami menghantam pulau di sebelah barat Pulau Sumatra ini, akhirnya saya berkesempatan menginjakkan kaki di sana. 
Bersama tim Chevrolet dalam kegiatan One World Futbol, saya menjadi saksi bagaimana benda bundar bernama bola sepak mampu membuat anak­anak menjadi sangat bergembira dan penuh semangat.
Bola berwarna kuning itu memang bukan benda sembarangan. Si bundar ini dirancang dengan ukuran, berat, dan karakteristik menyerupai bola biasa. Hanya, bahannya menjadi pembeda karena disebut lembam, yakni sangat kuat, tidak beracun, serta tidak pudar.
Mari membayangkan anak­anak yang kehidupan ekonominya tergolong sulit mendapatkan bola yang dapat bertahan jauh lebih lama daripada bola biasa.
Kesukaan mereka memainkan si kulit bundar gampang terganggu akibat  bola yang rusak sementara daya beli sangat rendah untuk mendapatkan penggantinya.
Bola yang tidak membutuhkan pompa dan tidak akan bocor walau terkena benda tajam ini dapat digunakan di semua jenis lapangan, termasuk aspal dan bebatuan.
Ia merupakan kawan bermain yang baik bagi anak­anak dari kelompok kurang mampu.
Wajah­wajah berseri dan senang itulah yang saya lihat dalam liputan kerja ke wilayah Sumatra Utara ini. Setelah memberi bantuan bola sepak kepada SDN di Desa Sigarang­garang, Kabupaten Karo, yang terletak di kaki Gunung Sinabung, rombongan kami mengunjungi dua sekolah di Pulau Nias.
Menarik mendengar ucapan Yohana, salah satu relawan dari anggota LSM Wahana Visi Indonesia mitra World Vision yang membantu pemulihan dan perkembangan sejumlah daerah di Nias sejak 2007, terutama di SD Negeri Hilizia Lawa­Lawa, Kecamatan Hiliserangkai di Nias Tengah.
Begini katanya, “Anak­anak di sini mulai bosan hanya diberikan pelajaran dan pelatihan. Sebagian besar anak laki­laki mulai bertanya kapan mereka diajak bermain sepak bola.”
Rabu, 21 November 2012, saya melihat muka­muka bahagia ketika anak­anak Nias menikmati kebersamaan dengan kawan baru, si bundar berwarna kuning.
Hal yang sama saya dapatkan keesokan harinya ketika rombongan membagikan bola kaki One World Futbol di SD Negeri di Lologolu, Kecamatan Mandreme.
Dari sejumlah sumber di Nias yang saya tanya, sesungguhnya anak­anak di Nias lebih akrab dengan permainan bola voli, itupun memakai bola yang terbuat dari plastik. Baru beberapa tahun terakhir ini mereka mulai akrab dengan sepak bola.
Hal yang menyedihkan dari Nias adalah masih tingginya kekerasan pada anak dalam masyarakat yang disebut sebanyak 95 persen bekerja sebagai petani karet itu.
Ketergantungan pada karet membuat perkembangan masyarakat di daerah ini agak sulit, apalagi kualitas dan kuantitas pohon karet semakin menurun karena tak banyak peremajaan yang dilakukan.
Orang tua kerap meminta anak­anaknya membantu di kebun pohon karet, bahkan mengorbankan sekolah untuk beberapa hari. Waktu bermain dan mengembangkan diri sebagai anak­anak yang wajar mengalami gangguan.
***
Sebagai wartawan olah raga dan penggemar sepak bola, akhirnya saya bisa tersenyum mendengar cerita dari rekan­rekan Wahana Visi Indonesia yang bertugas di Nias bahwa pertandingan­pertandingan sepak bola mulai sering digelar di Gunung Sitoli, baik itu antarsekolah maupun kelompok.
Berada dekat dengan anak­anak di bawah kaki Gunung  Sinabung dan Pulau Nias serta bola sepak khusus One World Futbol ini mengembalikan ingatan saya pada cerita seorang anak di Rwanda bernama Moises.
Alkisah, sejak kecil Moises terlibat dalam kegiatan perang saudara di negaranya. Bahkan, diceritakan pada usia 7 tahun ia sudah menghilangkan nyawa tiga manusia karena tuntutan keadaan.
Moises dan senapan di tangan menjadi salah satu sasaran obyek kamera seorang fotografer asal Amerika, Bobby Sager. Ia ingin menceritakan kisah kehidupan perang saudara di Rwanda.
Tetapi, tak hanya itu, kameranya juga mengabadikan kesukaan anak­anak di Rwanda, termasuk Moises, yang bermain dengan kumpulan plastik dari tempat pembuangan sampah yang diikat sedemikian rupa sehingga membentuk rupa bola.
Ketiadaan uang dan juga sulitnya mendapatkan bola sepak di lokasi perang saudara, kesukaan anak­anak di Rwanda terhadap sepak bola membuat mereka berpikir kreatif. Mereka mencari solusi mendapatkan bagian penting olah raga ini yakni bola sepak.
Jadilah gumpalan plastik yang diikat tersebut menjadi obyek tendangan kaki­kaki anak­anak di Rwanda yang bermain tanpa alas kaki.
Singkat cerita, 4 tahun setelah pertemuan pertama, sang fotografer kembali ke daerah tinggal Moises dengan membawa bola sepak versi One World Futbol.
Dari kumpulan anak­anak yang ia harapkan mau keluar dari jeratan perang saudara, muncul sosok Moises yang sempat menghilang beberapa lama dan dikhawatirkan sudah menjadi korban konflik di Rwanda.
Reuni antara Bobby Sager dengan Moises berujung manis. Sang anak akhirnya menemukan kenikmatan bermain bola yang berhasil menggantikan ikatan kantung plastik.
Berita yang muncul kala itu, Moises pun tak mau lagi angkat senapan dan terlibat dalam perang saudar. Ia kembali menjadi anak­anak yang gemar bermain dengan rekan seusianya.
Siapa bilang sepak bola bukan jembatan perbaikan kehidupan? @weshley

Saturday, October 27, 2018

Berpisah dari Dunia Impian Bernama Tabloid BOLA


Jumat, 26 Oktober 2018 merupakan edisi terakhir Tabloid BOLA. Terbit full colour 60 halaman, edisi itu berisi kumpulan kisah dan sejarah yang mewarnai perjalanan Tabloid BOLA sejak Maret 1984 hingga Oktober 2018.
Saya menjadi bagian dari Tabloid BOLA sejak November 1996 ketika terbit sekali seminggu, lalu dua kali seminggu, 3 kali seminggu, hingga muncul Harian BOLA. Ketika kembali menjadi terbitan dua kali seminggu saya tetap bertahan.
Namun, pada akhirnya saya harus ikut menyudahi peran bersamaan dengan keputusan manajemen menghentikan penerbitan yang disebut “ikon media olahraga Indonesia” itu.
Artikel ini merupakan satu dari sedikit tulisan yang ada di edisi pamungkas Tabloid BOLA dengan judul: “Pengetahuan Versus Perubahan”.
***


Oktober 1996. Saya menjalani proses seleksi untuk menjadi wartawan Tabloid BOLA. Jumat, 1 November 1996, saya mulai rutin berkantor di Palmerah Selatan, alamat redaksi media olahraga milik Kompas Gramedia ini.
Saat melalui sesi wawancara di hadapan Redaktur Pelaksana Tabloid BOLA saat itu, Bang Ian Situmorang, ada dua pertanyaan dan percakapan yang hingga saat ini tak lekang dalam ingatan saya.
“Kamu yakin Inggris yang menang? Dengan pengetahuan seperti itu kamu mau jadi wartawan olahraga?”
Kalimat itu muncul dari Bang Ian Situmorang setelah saya menjawab “Inggris” atas pertanyaan siapa juara Piala Dunia 1966.
Sontak, kepercayaan diri saya yang berambisi menjadi wartawan olahraga digoyang.
“Astaga, apakah saya overconfident karena merasa menjadi pembaca Mingguan/Tabloid BOLA sejak remaja dan percaya atas semua berita yang ada di media tersebut?”
Percakapan lain yang masih saya kenang adalah tentang ukuran lapangan sepak bola. Aduh, tiba-tiba perut mulas karena jawaban saya selalu menemui tembok pemantul yang lansung menghajar rasa percaya diri.
Singkat cerita, saya lolos seleksi dan memulai kehidupan baru sebagai wartawan olahraga, meninggalkan dunia kesehatan, area saya bekerja sebelumnya sebagai wartawan Majalah Higina.
Saya tak bohong untuk mengakui grogi memasuki ruang redaksi dan melihat tokoh-tokoh wartawan yang selama ini karya mereka saya santap nyaris tiada henti.
Ketika remaja, saya harus berbuat nekat untuk dapat menikmati bacaan olahraga. “Meminjam diam-diam” Tabloid BOLA dari perpustakaan sekolah atau milik tetangga yang berlangganan Harian Kompas adalah strategi di benak saya ketika Jumat hendak berganti Sabtu.
Entah bagaimana caranya, pokoknya akhir pekan masa remaja seolah lengkap tanpa duduk santai membaca Tabloid BOLA.
Hingga memasuki bangku kuliah, salah satu santapan nikmat dalam berdiskusi dengan teman-teman dekat adalah membedah halaman per halaman Tabloid BOLA.
Sejak November 1996, hari-hari saya berkutat dengan hobi dan kegemaran, yakni dunia olahraga dan tulis-menulis.
Menjadi wartawan Tabloid BOLA itu istimewa karena jalan untuk bertemu tokoh-tokoh olahraga nasional hingga dunia menjadi mudah.
Apa yang dulu saya baca dan nikmati kini saya yang menyuguhkannya kepada pembaca. Kecemburuan dan kekaguman melihat kedekatan wartawan Tabloid BOLA dengan atlet top ternyata menularjuga ke saya. Mungkin, itulah yang disebut harapan menjadi kenyataan.
***
Pengalaman merasa lebih tahu dan paham atas situasi olahraga setelah membaca Tabloid BOLA dibanding teman-teman mengantarkan saya pada sebuah strategi ketika dipercaya mengepalai desk sepak bola internasional: football knowledge.
Setiap halaman di OLE Internasional harus bisa membuat pembaca yang tidak tahu menjadi paham. Mereka yang lupa diingatkan. Mereka yang ragu-ragu diyakinkan.
Strategi artikel sepak bola internasional itu kemudian dikembangkan menjadi sports knowledge. Bahwa semua isi Tabloid BOLA haruslah bertujuan membuat pembacanya dipenuhi informasi yang berguna.
Pembaca layak mendapatkan informasi berkualitas dan “berbeda” atas sejumlah uang yang mereka keluarkan. Apalagi melihat persaingan dengan media harian yang terbit lebih cepat dari tabloid, begitu pula menyusul perkembangan media online.
“Kenapa saya harus beli Tabloid BOLA?” Pertanyaan masyarakat ini harus bisa dijawab oleh semua wartawan melalui setiap karya yang mereka hasilkan.
“Karena karya kami berbeda dari yang lain.” Berbeda dalam arti memberikan kepuasan lewat informasi dan pengetahuan kepada pembaca saat menikmati setiap karya di seluruh halaman Tabloid BOLA.
Waktu berjalan, perubahan datang begitu cepat menyentuh seluruh aspek kehidupan manusia. Termasuk kebutuhan mendapatkan informasi: cara dan waktunya.
Hantaman tingginya biaya produksi yang menyangkut harga kertas, percetakan, dan distribusi diikuti kemajuan teknologi seolah tak memberi waktu untuk media tradisional bertahan, berbenah mencari solusi.
Setelah menemani pembaca di Tanah Air dan menjadi pengawas sekaligus partner bagi pengambil kebijakan olahraga nasional sejak Maret 1984, Tabloid BOLA milik Kompas Gramedia akhirnya harus menemui ujung perjalanan. Kami pamit.
Seperti postingan seorang rekan di media sosial, “Sesuatu yang pasti dalam hidup ini adalah perubahan.”
Hanya, sering terjadi perubahan itu terlalu cepat untuk dapat dipahami. Adakala perubahan itu sulit diikuti dengan pola pikir yang sama dengan sebelumnya. Apalagi tanpa ambisi di dalamnya.
“Kita tidak dapat mengubah arah angin,” kata Jimmy Dean, penyanyi, aktor, dan penguasaha Amerika Serikat yang sudah tutup usia 8 tahun lalu. “Namun, kita bisa mengatur layar perahu agar tetap mencapai tujuan.” @weshley