Monday, October 28, 2019

Indonesia Menggelar Piala Dunia, Dunia Melihat Indonesia

Bingung. Ketika PSSI berhasil memenangi pertarungan melawan Brasil dan Peru untuk menggelar Piala Dunia U-20 pada tahun 2021, kenapa masih bertebaran pandangan negatif?

Sebagai salah satu wartawan yang meliput Piala Dunia U-20 1997 di Malaysia, wajar bila keberhasilan Indonesia menjadi tuan rumah kejuaraan yang sama pada 2021 mengembalikan kenangan saat meliput untuk Tabloid BOLA.

Saat itu, timnas Malaysia memang tidak bisa berbuat banyak. Tetapi, bukan berarti perhatian kita hanya pada pertanyaan: "Bisa apa nanti timnas kita?" Sebuah sikap negatif yang tidak dibutuhkan untuk menjaga harapan.

Mempersiapkan timnas Indonesia untuk bertarung di level tinggi seperti Piala Dunia U-20 bukan pekerjaan mudah. Kita semua sepakat. Bukan bermaksud pesimistis, namun mari lihat aspek lain dengan terpilihnya Indonesia sebagai tuan rumah 2021 FIFA U-20 World Cup.

Sebagai tuan rumah, perhatian dunia kepada Indonesia akan meningkat pesat. Kita tidak ingin dipermalukan sebagai host yang buruk, bukan? Pengalaman menggelar Asian Games 2018 seharusnya menjadi jaminan bahwa kita bisa menjadi tuan rumah yang baik.

Dengan pertaruhan nama baik bangsa dan negara, wajar bila kemudian Indonesia berbenah. Tidak hanya PSSI yang mempersiapkan timnas habis-habisan agar jangan dipermalukan, banyak sekali pihak terkait yang bekerja keras untuk menjadi tuan rumah yang baik.

Nantikan juga peninggalan setelah Indonesia selesai menggelar Piala Dunia U-20 2021. Saya yakin, banyak hal positif yang ikut bangkit seiring persiapan kita menjadi tuan rumah dan kemudian bisa ikut membangun sepak bola Indonesia ke arah yang lebih baik. Karena perhatian dunia kepada Indonesia seharusnya membuat kita membayar kepercayaan tersebut. (Weshley Hutagalung)

Monday, September 16, 2019

Pilihan Menyikapi Pemberian Timnas Indonesia



"Half-time kami menggebu. Full-time kami kaku. Next time? Kami tetap mendukungmu."

Begitulah sikap yang terjadi ketika Indonesia menjamu Thailand di laga kedua Kualifikasi Piala Dunia 2022 putaran kedua Zona Asia pada 10 September 2019.

Di babak I, permainan timnas Indonesia asuhan Simon McMenemy seolah membaik dibanding ketika menjamu Malaysia dan kalah 2-3 di laga perdana.

Eh, teriak dukungan penonton di babak II berubah menjadi luapan kekecewaan. Permainan Evan Dimas dkk. melorot tajam dan hasil akhir adalah memberikan kesedihan berupa kekalahan 0-3.

Fans Garuda patah arah. Fans Garuda marah. Fans Garuda kian kehilangan kepercayaan.

Stadion Utama Gelora Bung Karno tergolong sepi ketika Indonesia menjamu Thailand. Tercatat hanya sekitar 11 ribuan penonton yang ada di dalam stadion. Jumlah yang jauh berkurang dibanding laga versus Malaysia.




Dengan harga tiket yang dicap terlalu mahal untuk penonton Indonesia, walau pertandingan berkategori Kualifikasi Piala Dunia, kehadiran 11 ribuan penonton di laga vs Thailand adalah bukti betapa timnas kita dicintai.

Namun, harapan tak selalu sesuai kenyataan. Permainan timnas hanya mampu mengimbangi Thailand selama 45 menit. Di paruh kedua, seolah semua koordinasi pikiran dan tubuh para pemain berantakan.

Suatu waktu, saya akan membahas hubungan pemain sepak bola di Tanah Air dengan klub dan timnas Indonesia.

Namun, sambil menanti pertandingan Indonesia melawan Uni Emirat Arab di Kota Dubai pada 10 Oktober dan menjamu Vietnam pada 15 Oktober 2019, saya ingin menegaskan posisi terhadap tim nasional Indonesia. "Next time, kami tetap mendukungmu!" (Weshley Hutagalung)

Belajar Menjaga Ambisi dari Cristiano Ronaldo




UEFA Champions League 2019-2020 segera menghadirkan laga-laga tim elite Eropa. Semua punya jagoan untuk diunggulkan, namun ada Cristiano Ronaldo untuk diperhatikan.

Pada 5 Februari kemarin, Cristiano Ronaldo dos Santos Aveiro, demikian nama lengkapnya, mencapai usia 34 tahun. Sebuah usia yang bagi sebagian pesepak bola sudah memasuki batas mengambil keputusan: pensiun!

Okelah kalau belum mau pensiun. Pada usia 33 tahun ke atas, biasanya pesepak bola top dunia mulai "melepas pedal gas" pelan-pelan dengan cara mengurangi tekanan dan ketegangan di level atas.

Memang hal ini bukan sebuah kepastian, namun lebih kepada situasi yang kerap terjadi. Tak percaya? Lihat bagaimana Wayne Rooney yang sempat "menghindari Premier League" dengan mencicipi kompetisi Liga Amerika Serikat alias Major League Soccer bersama DC United pada Juni 2018.

Memang, mantan striker Manchester United ini kembali ke Inggris tanpa memenuhi kontrak bermain selama 3,5 tahun bersama DC United. Tetapi, Rooney memilih kompetisi Championship, selevel di bawah Premier League, untuk membela Derby County.

Berapa usia Wayne Rooney? Pada 24 Oktober 2019, ia berusia 34 tahun. Sama seperti Ronaldo, bukan?

Ada beberapa contoh lain dengan kisah senada, termasuk Bastian Schweinsteiger yang meninggalkan Man. United dan pindah ke Chicago Fire (MLS) sejak Maret 2017. Usia Schweinsteiger saat ini adalah 35 tahun.

Kembali ke Ronaldo. Sikap profesionalitas yang ia jaga membawa Ronaldo pada frekuensi tinggi bertahun-tahun. Sejak bergabung bersama Man. United dari Sporting CP pada 2003-2004 hingga kini membela Juventus di Italia, sikap dan ambisinya di lapangan seolah tidak ada perubahan.

Sebagai pesepak bola, karier Cristiano Ronaldo komplet di klub dan timnas Portugal. Mungkin, hanya gelar Piala Dunia yang membuat kesempurnaan sebagai pemain sepak bola tidak terwujud. Usia boleh bertambah, api ledakan Ronaldo di lapangan tak pernah berubah. Seolah ia ingin meraih gelar juara pertama sepanjang karier.

Namun, sebagai manusia, ada sebuah penyesalan atau mungkin lebih tepatnya kesedihan mendalam yang mampu membuat air mata Ronaldo menetes dari kelopak matanya.

Adalah sebuah kesedihan luar biasa ketika Ronaldo sangat berharap sang ayah dapat melihat kesuksesannya saat ini. "Ia tak melihat ketika saya menjadi pemain nomor satu di dunia. Ia tak melihat melihat saya meraih banyak penghargaan."

Jose, ayah Ronaldo, meninggal akibat gangguan lever karena kecanduan alkohol pada September 2005 pada usia 52 tahun. Saat itu, Ronaldo berusia 20 tahun, musim keduanya bersama Manchester United. Sebuah alasan Ronaldo untuk tidak menyentuh minuman beralkohol dan membawanya bertahan di puncak karier dalam waktu yang sangat lama. (Weshley Hutagalung)

Monday, August 19, 2019

Benarkah Ada Kriteria yang Pas untuk Ketum PSSI?

Setelah sekian lama "istirahat", coretan-coretan sederhana kembali menyapa. Banyak yang ingin disampaikan, namun ada kegelisahan tersendiri menyikapi beberapa pertanyaan tentang induk organisasi sepak bola di Tanah Air kita.

Beberapa waktu lalu, dalam sebuah acara jumpa pers, saya didatangi rekan wartawan dari sebuah media online. Pertanyaanya sudah saya duga karena beberapa hari sebelumnya ada kegiatan diskusi membahas kriteria yang pas untuk menjabat Ketua Umum PSSI.

"Bang," begitu ia menyapa saya. "Menurut Abang, seperti apa kriteria yang pas untuk menjadi Ketum PSSI?"

Phuuiiihhh. Pertanyaan yang terkadang saya anggap hanya buang-buang waktu untuk didiskusikan, namun perlu dan asyik dibicarakan. Ya gak?

Dalam beberapa obrolan santai dengan sejumlah pihak, saya sebut 3 kunci untuk menjadi Ketum PSSI... menjadi Ketum yaaa, bukan menjadi Ketum yg baik, sukses, dan bla bla bla.

Pertama, ia harus orang bola. Maksudnya, selain mengerti olahraga sepak bola sang calon Ketum PSSI wajib-kudu-harus paham bagaimana organisasi sepak bola di Tanah Air hingga pengelolaan para pemilik suara... dan hal itu bukan gampang dipahami.

Kedua, sang calon Ketum wajib-kudu-harus punya dana segar tak berkesudahan atau link yang cihui untuk mendapatkan sokongan para raksasa ekonomi di negeri ini dan jaminan jangka panjang. Tanpa kekuatan finansial di belakangnya, untuk saat ini calon Ketum masih akan kesulitan memahami pengelolaan sepak bola di Tanah Air. Paham kan maksudnya?

Ketiga, calon Ketum wajib-kudu-harus orang istana. Maksudnya, sang calon punya pemikiran politik yang sejalan dengan rezim berkuasa. Walau sering disebut kurang memberikan dukungan dana dan perhatian untuk pengelolaan sepak bola di negeri ini (kecuali saat ada tim yang juara), tetap saja pemerintah melalui Kemenpora punya kepentingan menggandeng PSSI.

Kepada rekan wartawan itu, saya sampaikan begini, "Selama PSSI tidak independen dalam mengelola roda organisasi dan kompetisi lewat badan liga yang mereka tunjuk, siapapun calonnya, berapapun bintang di pundaknya, akan sulit bekerja sesuai program yang dijual saat kampanye pemilihan."

"Maksudnya gak independen gimana, bang?" Nah, jadi panjang kan.

Jawaban tegas saya begini, "Adakah jaminan jadwal kompetisi yang disusun dengan susah payah dan dilaporkan ke pihak-pihak terkait dapat terlaksana tanpa perlu menghadapi kemungkinan pembatalan oleh pihak keamanan hanya beberapa hari sebelum kick-off? Bagaimana mungkin klub bisa hidup dengan tenang tanpa ada kepastian jadwal pertandingan?"

Kawan saya, wartawan muda itu pun angguk-angguk kepala. Semoga dia mengerti maksud dan arah pembicaraan saya. Tidak mudah mengelola sepak bola di negeri ini, tidak semudah melontarkan amarah dan caci-maki seolah kitalah pihak paling benar. (Weshley Hutagalung)

Wednesday, April 3, 2019

Zinedine Zidane, Del Bosque, dan Maradona


Zinedine Zidane. Namanya jarang dicantumkan ketika ada pembahasan tentang siapa pesepak bola terbaik di dunia. Dari era Pele, Johan Cruyff, Diego Maradona, hingga Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo.

Namun, nama Zidane selalu ada dalam kelompok pemain sepak bola terbaik yang pernah ada di dunia. Bukan semata karena skill dan kelengkapan gelar juara yang ia miliki, juga perannya sebagai individu yang menjadi bagian tim.
Sebagai pemain, Zidane sudah merasakan gelar juara Liga Italia bersama Juventus (1996/97 dan 1997/98) dan Real Madrid (2002/03). Untuk level kompetisi teratas antarklub Eropa, Zidane meraih gelar juara Liga Champions saat berkostum Real Madrid (2001/02).
Bersama timnas Prancis, Zinedine Zidane memimpin Les Blues menjuarai Piala Dunia 1998 dan Piala Eropa 2000. Ia pensiun tahun 2006.
Ketika berpindah panggung menjadi pelatih, Zidane membawa Real Madrid menjuarai Liga Spanyol 2016/17 serta secara spektakuler hattrick Liga Champions (2015/16, 2016/17, dan 2017/18).
Sungguh tidak mudah berpindah haluan menjadi pelatih dan meneruskan jejak kesuksesan sebagai pemain. Contoh paling mudah adalah Pele dan Diego Maradona.
Masih ingat bagaimana kondisi timnas Argentina ketika Maradona menjadi pelatih, termasuk situasi di Piala Dunia 2010? Argentina terhenti di babak perempat final akibat kekalahan telak dari Jerman (0-4).
Saat itu, saya memakai istilah bumbu gado-gado yang tidak pas sebagai racikan taktik Maradona ketika ia memiliki pemain-pemain berkualitas layaknya sayuran segar dan sehat, seperti Lionel Messi, Carlos Tevez, Sergio Aguero, Gonzalo Higuain, Angel Di Maria hingga Walter Samuel.

Zidane sukses sebagai pemain, sukses pula sebagai pelatih. Apa rahasianya? Banyak dan beragam jawabannya. Tapi, coba kita telaah ucapan Iker Casillas, legenda sepak bola Spanyol dan eks kapten Real Madrid.
“Zidane tampak selalu menguasai berbagai situasi yang di sekitarnya. Ia pelatih muda yang punya hubungan erat dengan para pemain,” ucap Casillas kepada perwakilan La Liga.
Tak hanya itu, Zidane dipuji karena sesungguhnya ia senang melihat seorang pemain muda menjadi bintang lapangan.
Ya, pujian tak lagi miliknya, seperti yang selama ini ia rasakan saat berkeringat di lapangan. Tak mudah lho bertukar peran ketika Anda pernah berada di puncak kejayaan dan memiliki segalanya sebagai pemain.
Menurut Casillas, lakon Zidane persis seperti mantan pelatih Real Madrid, Vicente del Bosque.
“Del Bosque tidak pernah menjadi pelatih yang ingin mendapatkan perhatian publik. Ia lebih senang bila pemainnyalah yang menjadi sorotan terkait pertandingan. Karakter Zidaner sangat mirip dengan Del Bosque,” kata Iker Casillas lagi.
Zidane sudah mendapatkan kejayaan sebagai pemain dan pelatih di klub, mungkin akan menyusul sebagai pelatih tim nasional Prancis. Zidane pun tahu bagaimana menjaga kejayaan itu saat ia bertukar peran dari pemain menjadi pelatih.
Zidane memberi pesan bahwa bintang sesungguhnya adalah mereka yang tak berhenti berkeringat sejak latihan hingga pertandingan.#

Saturday, February 23, 2019

Narasi Positif Sepak Bola Indonesia

Baru-baru ini, saya kembali mendapatkan kesempatan berbicara di hadapan sejumlah mahasiswa sebuah perguruan tinggi di Jakarta. Kami berdiskusi tentang kekuatan komunikasi lewat media.

Seperti biasa, salah satu kebiasaan saya adalah bertanya kepada peserta diskusi soal membaca dan membeli media cetak.
Dari puluhan mahasiswa yang hadir di kelas diskusi tersebut, tak satupun yang angkat tangan ketika saya bertanya, “Siapa yang membaca koran cetak hari ini… minggu ini… bulan ini.” Serem juga ya.
Lalu, pertanyaan saya kembangkan, “Siapa yang membaca berita dari media online hari ini?”
Berapakah mahasiswa yang angkat tangan? Ups, tidak satupun. Saya anggap mereka masih malu-malu karena diskusi baru dimulai dan saya adalah orang asing bagi mereka.
Pertanyaan berkembang, biasalah saya ingin lebih dekat dan mencairkan suasana sebelum memberikan materi yang lebih serius. “Siapakah hari ini yang sudah membuka Instagram?”
Benar dugaan saya, beberapa mahasiswa angkat tangan.
“Kalau Twitter, siapa yang sudah membuka akun Twitter miliknya sebelum masuk ke ruangan ini? Yup, sejumlah mahasiswa angkat tangan lagi.
Dari Instagram ke Twitter, lanjut ke Facebook dan Youtube. Kawan-kawan mahasiswa lebih akrab dengan media sosial ketimbang media massa.
Tentu saya tak berhenti sampai di situ. Rasa penasaran saya mengarah kepada: dari mana mahasiswa mendapatkan informasi terkini yang dibutuhkan dalam upaya mengisi diri agar kata “maha” di depan siswa itu benar adanya?
Kekhawatiran kita semua terhadap perkembangan hoaks di negara ini haruslah dilawan dengan kelahiran para pemberi informasi yang bertanggung jawab atas apa yang ia sampaikan. Mahasiswa punya peran di sini.
The power of communication. Bagaimana caranya berkomunikasi dengan baik dan benar serta memiliki kekuatan menjelaskan situasi dan mengubah pemahaman serta perilaku pembaca menuju kebenaran yang disampaikan?
Banjir berita soal kondisi federasi sepak bola kita, PSSI, membuat saya pada sebuah kekhawatiran. Bila semua berita tentang PSSI adalah keburukan, caci-maki dan umpatan, berapa lama hal itu akan tumbuh dan berkembang di benak anak-anak Indonesia?
Haruskah stigma bahwa PSSI itu buruk… bahwa kompetisi di Tanah Air tidak lagi murni… bahwa sepak bola Indonesia itu tidak bakal berprestasi?
Kita semua berharap badai di PSSI segera berlalu. Kita ingin yang terbaik bagi kemajuan sepak bola nasional. Semua merindukan prestasi timnas.
Stigma negatif itu harus dilawan dengan keyakinan bahwa sepak bola kita bisa baik kok… dimulai dari pengelola klub dan mereka yang punya suara untuk menentukan pemimpin PSSI.
Rekan saya wartawan dan pengamat sepak bola, Maruf El Rumi, berkali-kali menyuarakan harapannya agar narasi positif tentang sepak bola nasional juga digalakkan. Jangan semua orang hanya mengeluarkan pernyataan negatif karena ikut angin panas PSSI saat ini.
Pasti ada hal-hal baik tentang sepak bola nasional, entah itu di level junior atau tingkat dewasa. Akan tetapi, siapa lagi yang tertarik memberitakan hal tersebut ketika isu PSSI demikian seksi untuk menarik perhatian? Ah, jangan berhenti berharap!
Media massa saat ini memang tengah berkompetisi dengan media sosial untuk mencari perhatian masyarakat yang ingin mendapatkan informasi.

Mengingat dahsyatnya kekuatan komunikasi dalam memengaruhi pemahaman dan sikap orang lain, sudah saatnya bermunculan para pemberi informasi yang bertanggung jawab, memahami isi pernyataan yang ia sampaikan lewat media sosial pribadi.
Hendaknya dipahami bahwa apa yang kita lemparkan ke publik lewat media sosial mencerminkan siapa diri (isi otak) kita. @weshley

Monday, February 11, 2019

Manchester City dan Liverpool Mengolah Harapan di Puncak

Football365

"Beberapa hari lalu, kami berpikir telah kehilangan kesempatan menjuarai Premier League."

Ucapan ini dilontarkan Gabriel Jesus, penyerang Manchester City usai timnya mendahului laga pekan ke-26 Liga Inggris 2018-2019.
Dua gol lewat Aymeric Laporte dan Gabriel Jesus ke gawang Everton pada Rabu (6/2) berhasil mengantarkan Manchester City kembali ke puncak klasemen Liga Inggris.
Mereka menyingkirkan Liverpool FC dari puncak klasemen walau memiliki satu pertandingan lebih banyak dari Si Merah.
"Sungguh menyenangkan bisa kembali berada dalam perburuan gelar juara liga. Kami akan berusaha memberikan yang terbaik untuk memenangi sisa pertandingan," kata Gabriel Jesus lagi seperti dikutip dari Football365.
Kemenangan penting Manchester City atas Everton itu diikuti pesta gol ke gawang Chelsea (6-0) empat hari kemudian.
Kini, Manchester City berada di puncak klasemen dengan nilai sama dengan Liverpool FC, namun unggul produktivitas dan... memainkan satu pertandingan lebih banyak. Sebuah kata kunci bagi pendukung Liverpool.
Usai kekalahan menyakitkan di markas Newcastle United, kubu Manchester City memang seperti terpukul.
"Tak ada lagi pertandingan yang santai," kata Gabriel Jesus.
Santai? Ya, seolah gol cepat Sergio Aguero ke gawang Newcastle United dalam hitungan detik sejak kick-off menyelesaikan segalanya.
Kekalahan 1-2 di markas Newcastle itu merupakan rapor merah yang ke-4 di Premier League 2018-2019. Jangan lupa, tiga kekalahan tersebut didahului dengan situasi Man. City mencetak gol lebih dahulu ke gawang lawan.
Hmm, mungkin hal ini yang dimaksud Gabriel Jesus dengan bermain santai.
Harapan kini menggelora di kubu Manchester City. Dengan "kemewahan" skuat yang mereka miliki, bahkan nilainya mencapai lebih dari 18 triliun rupiah, target juara adalah sebuah keharusan.
Optimisme dapat melewati laju Liverpool, ditambah kegamangan kubu Si Merah ketika dua kali bermain seri 1-1 pada akhir Januari dan awal Februari, menjadi keyakinan untuk mencapai target.
Ya, bukankah tanpa harapan dan keyakinan kita bakal sulit menyelesaikan serta mencapai target yang disepakati bersama?
Harapan itu tak hanya milik kubu Manchester City. Manajer Liverpool FC, Juergen Klopp, yang dikenal jago memotivasi pemainnya juga memainkan peran penting.
Baginya, situasi antara Liverpool dan Manchester City tidak mengherankan. Karena, setiap tim yang ingin berada di puncak klasemen dan menjadi juara di akhir musim harus selalu memiliki gairah dan hasrat yang nyata.
"Anda harus berjuang untuk mendapatkannya," ucap Juergen Klopp ketika ditanya wartawan soal pergeseran posisi di klasemen.
Harapan, persiapan yang baik, gairah, dan agresif guna mencapai tujuan dengan cara yang benar disebut Klopp akan menjadi kunci keberhasilan Liverpool.
Ya, bukankah harapan itu menjadi salah satu kekuatan terbesar manusia? @weshley

Wednesday, February 6, 2019

Solksjaer Mengembalikan Gaya Bermain Era Sir Alex?

Premierleague.com

Manchester United kembali bermain seperti di era kesuksesan Sir Alex Ferguson. Benarkah?

Benarkah Manchester United bersama Ole Gunnar Solksjaer akan kembali beraksi meninggalkan gaya bermain pilihan Jose Mourinho?
Pertanyan ini banyak bermunculan ketika manajemen Manchester United memutuskan menendang Jose Mourinho dan membajak Solksjaer dari klub Norwegia, Molde.
Sejak 19 Desember 2018, nama Solksjaer resmi diumumkan sebagai caretaker di kursi Manajer Manchester United menggantikan Jose Mourinho.
Tawaran kepada Solksjaer adalah menyelesaikan kompetisi 2018-2019 ditemani Mike Phelan, Michael Carrick, dan Kieran McKenna di jajaran pelatih.
Untuk menarik Solksjaer, manajemen Setan Merah harus mengeluarkan uang 1,8 juta pound (sekitar Rp 32,5 miliar) sebagai kompensasi kepada Molde.
Bila nanti Solksjaer dianggap cocok untuk terus mengisi kursi panas itu sebagai manajer yang berstatus permanen, kubu Molde mendapatkan tambahan “uang damai” sebesar 7,2 juta pound (Rp 130 miliar).
Prestasi dan harapan. Walau dalam skala kecil, Solksjaer telah mengubah gaya bermain Manchester United, menghadirkan kemenangan serta kegembiraan bagi para pendukung.
Lihatlah perubahan wajah-wajah para pemain Manchester United ketika memasuki lapangan dan menikmati pertarungan 2 x 45 menit bersama Solksjaer di bangku cadangan.
Solksjaer paham, pendukung Setan Merah pasti ingin melihat kembali semangat serta gaya bermain menyerang dan penuh tenaga era Sir Alex.
“Semua harus diawali dengan bagaimana cara kita bermain. Karena, Anda tidak bisa mengontrol hasil pertandingan. Yang bisa Anda kontrol adalah pendekatan ke pertandingan dan cara bermain.” Begitu kata Solksjaer.
Hmm, lebih seru lagi ketika Solksjaer mengaku tidak terlalu banyak bertanya apa yang terjadi dengan tim di era Jose Mourinho.
Ia lebih banyak mengajak para pemain melihat apa yang bisa mereka lakukan untuk mengembalikan gaya bermain Man. United seharusnya, yakni permainan sepak bola yang menarik: perpaduan kecepatan dan kekuatan!
Seperti dokter, Ole Gunnar Solksjaer menemukan penyakit yang menimpa Setan Merah dan mencarikan cara pengobatannya. At least hingga 10 pertandingan awal ia bersama Man. United.
Kegembiraan bermain dan kenyamanan di ruang ganti. Situasi ini rasanya pas disematkan pada kondisi terkini Manchester United.
Keberadaan Solksjaer di Teater Impian seolah menerapkan strategi jitu salah satu pelatih cabang olahraga hoki di Australia, Ric Charlesworth.
Sebelum tutup usia pada 8 Februari 1993, ucapannya kerap dipakai untuk menempatkan posisi dan peran pelatih olahraga. Begini katanya, "Yang menarik dari kepelatihan adalah Anda harus membuat sulit situasi nyaman dan menghadirkan situasi nyaman ketika ada masalah." Boleh ditiru, nih. @weshley

Tuesday, February 5, 2019

Ketika Liverpool Gugup di Puncak Klasemen

Premierleague.com

Dalam keadaan tertekan, dibutuhkan kemampuan untuk mengerahkan segala kemampuan dan kebersamaan yang kuat. Itulah yang dibutuhkan Liverpool FC saat ini.

Di pekan ke-25 Liga Inggris 2018-2019, Liverpool masih bertengger di puncak klasemen. Tapi, kali ini selisih poin dengan sang juara bertahan, Manchester City, kini tinggal 3.
         Momentum. Liverpool FC gagal memanfaatkan momentum dan memperlihatkan kegugupan berada di puncak klasemen. Benarkah?
         Ketika Manchester City tumbang 1-2 di markas Newcastle United pada pekan ke-24,  Selasa (29/1), sehari kemudian Liverpool malah seri 1-1 menjamu Leicester. Padahal, sebelumnya sulit bagi tim di luar 6 peringkat atas liga untuk mendapatkan poin dari LFC.
         Pekan berikutnya, komposisi waktu bertanding kedua tim pemburu gelar juara ini sama. Liverpool bermain sehari setelah Manchester City.
         Minggu, 3 Februari 2019, hattick Sergio Aguero membawa Manchester City menekuk Arsenal 3-1 di Stadion Etihad.
Lagi-lagi Unai Emery, pelatih Arsenal, tak sanggup melawan taktik permainan Pep Guardiola yang memimpin Manchester City.
Catatan duel kedua pelatih ini adalah 8 kemenangan untuk Pep dan 4 kali seri dari total 12 pertemuan. Timpang!
Manchester City meraih 3 poin di pekan ke-25 sehari sebelum Liverpool bertandang ke markas West Ham United FC.
Eh, benar saja sorotan terhadap kondisi pasukan Juergen Klopp. Terlihat situasi gugup, grogi, tak nyaman, dan waswas melihat kejaran Manchester City.
Setelah sempat unggul lewat gol Sadio Mane yang “berbau” offside, Liverpool harus menyudahi laga dengan skor 1-1.
Si Merah hanya punya tambahan satu poin ketika perebutan gelar juara semakin sengit dan membutuhkan kestabilan penampilan.
Penyerang West Ham, Michail Antonio, lagi-lagi memperlihatkan “kesukaannya” terhadap gawang Liverpool. Ia mencetak gol ke-5 ke gawang LFC dalam total 7 pertandingan sepanjang kariernya.
Benarkah ucap-ucap bahwa pemain Liverpool tak kuat menyingkirkan situasi tak nyaman akibat tekanan dari Manchester City?
Benar atau tidak, di saat seperti inilah peran Juergen Klopp dan tim pelatih bisa menyeimbangkan “kapal oleng” akibat angin badai dari Kota Manchester.
Liverpool kehilangan 7 poin dalam 5 pertandingan liga terakhir. Padahal, mereka hanya “melepas” 6 poin dalam 20 laga awal Premier League musim ini.
Jadi, akankah Liverpool kembali harus menjauh dari "Kelompok 6" pemilik gelar juara Liga Inggris era Premier League yang berlangsung sejak musim 1992-1993?
Tentu semua pihak di kubu The Reds paham, ketika mereka memulai kompetisi, tekanan selalu ada dan ada. 
Semua klub yang terjun ke kompetisi tentu ingin mengakhirinya dengan hal baik, terutama gelar juara. Emangnya ada klub yang tidak ingin juara?
Apalagi bila Anda mengelola tim dengan nilai para pemain di pasaran mencapai 15 triliun rupiah. Pasukan Liverpool hanya kalah "murah" dari pasukan Pap Guardiola di Manchester City yang mencapai 18 triliun rupiah.
Pada suatu waktu, Juergen Klopp pernah berkata, "Tantangan bagi Liverpool adalah tetap tenang menghadapi tekanan guna meraih kesuksesan di masa depan."
Bila Liverpool sunguh-sungguh ingin juara (masak sih gak mau?), mereka harus siap menghadapi situasi yang lebih berat dibanding kejadian di markas West Ham.
Februari 2019, panggung Liga Champions kembali menunggu aksi pemain-pemain Liverpool. Tekanan menghadapi Bayern Muenchen jelas lebih berat daripada yang diberikan West Ham. 
Februari 2019 pun akan mementaskan drama kelas wahid di Teater Impian ketika Liverpool adu aksi panggung melawan Manchester United. 
Pemain-pemain yang bugar, terutama di lini belakang, serta kepala yang terangkat tegak memasuki stadion adalah yang dibutuhkan Juergen Klopp. 
Itulah modal LFC untuk menyamai prestasi Manchester United, Arsenal, Chelsea, Manchester City, Blackburn Rovers, dan Leicester City.
Februari bakal berat bagi Si Merah. Ya. Tetapi, Februari juga dikenal menawarkan cinta setiap hari. Adakah cinta itu merapat ke Liverpool? @weshley

Friday, January 25, 2019

Belajar Cinta dari David Silva

“Dia datang dari Spanyol hanya dengan satu tujuan. Dia datang untuk membuat kita hebat kembali. Ketika tugasnya selesai dengan semua trofi yang dimenangi, kami menobatkannya sebagai David Silva.”
     
Setiap melihat skuat Manchester City era Roberto Mancini hingga Pep Guardiola, tentu yang kita pandang adalah kumpulan bintang-bintang sepak bola dunia. Salah satunya David Silva.
      David Josue Jimenez Silva. Begitu nama lengkap pria kelahiran 8 Januari 1986 ini. Bila dibandingkan dengan gelandang-gelandang “mungil” Spanyol yang membawa Tim Matador menguras pujian dunia, David Silva kalah tenar dari Xavi Hernandez dan Andres Iniesta.
         Dibesarkan klub sepak bola Valencia CF, David Silva hanya punya satu trofi di sana, yakni Copa del Rey 2007-2008.
         Ketika Manchester City mengumumkan perekrutan David Silva pada pengujung Juni 2010, di lehernya bergantung medali emas Piala Eropa 2008.
         Pada eranya, David Silva merupakan bagian dari kumpulan gelandang-gelandang kreatif di timnas Spanyol Bersama Xavi Hernandez, Andres Iniesta, dan kemudian Santi Cazorla, Cesc Fabregas, Juan Mata, serta Jesus Navas.
Lalu, sebelum resmi mengenakan jersey biru muda milik Manchester City, di leher David Silva bertengger medali emas Piala Dunia 2010 menemani prestasi dua tahun lalu.
Pilihan manajemen Manchester City tak percuma. David Silva sangat berperan mengantarkan Citizens meraih 3 gelar Premier League: 2011-2012, 2013-2014, dan 2017-2018.
Prestasi lain? Ada Piala FA 2010-2011, 3 gelar Piala Liga Inggris (2013-2014, 2015-2016, dan 2017-2018), serta Community Shield 2012 dan 2018.
“David Silva adalah perekrutan terbaik yang pernah dilakukan Manchester City.” Pendapat ini dikatakan Carlos Tevez, striker asal Argentina yang pernah membela Citizenz pada era 2009-2013.
Legenda lini belakang Liverpool FC, Jamie Carragher, di pengujung 2017 mengatakan David Silva adalah pemain terbaik Manchester City sepanjang sejarah.
Puja-puji dan julukan “El Mago” alias Si Penyihir yang disempatkan pada David Silva bukan tanpa alasan. Lihatlah setiap ia turun membela Manchester City.
Catat berapa banyak David Silva menyentuh bola selama di lapangan. Berapa sering ia membawa si kulit bundar mendekati pertahanan lawan untuk membuka peluang bagi rekannya atau mengeksekusi sendiri ketika ada kesempatan.
Atau, cermati frekuensi operan pemain Manchester City kepada David Silva. Si Penyihir akan mencarikan solusi bagi rekan-rekannya… dan gooolll.
Kehidupan David Silva tak banyak mendapatkan sorotan publik. Media massa pun sulit mencari sudut pemberitaan yang heboh dari David Silva selain aksinya di lapangan.
Kecintaan publik Manchester City terhadap David Silva tampak pada spanduk yang dibentangkan di Stadion Etihad setiap Citizens beraksi.
Gelandang yang menolak pinangan FC Barcelona dan Real Madrid untuk membela Manchester City itu jelas pantas untuk dicintai.
David Silva termasuk kelompok pesepak bola yang fokus pada pekerjaannya dan klub yang memberinya penghasilan.
Seperti pengakuan Andy Cole, mantan striker Manchester United (1995-2001) yang pernah mampir untuk mengenakan jersey tim tetangga (2005-2006), “Saya termasuk orang yang menikmati permainan David Silva.”
Di antara kumpulan bintang-bintang mahal milik Manchester City, sinar David Silva tak kalah benderang. Kontribusi dan totalitasnya sebagai “pegawai” Citizens membuat David Silva pantas dicintai.
Dengan banderol 25 juta euro di pasaran Eropa, David Silva ada di urutan ke-14 pemain termahal milik Manchester City.
Bandingkan beda angkanya dengan banderol Riyad Mahrez yang 60 juta euro atau Raheem Sterling dengan nilai jual 120 juta euro. 

Seperti kumpulan kata di spanduk milik fan Manchester City bahwa David Silva datang dari Spanyol dengan satu tujuan, yakni mengembalikan kehebatan Manchester City lewat trofi-trofi yang dipersembahkannya. @weshley

Wednesday, January 16, 2019

Piala Super Italia, Cristiano Ronaldo, dan Harga Diri


            Dari Kota Jeddah di Arab Suadi, Supercoppa Italiana alias Piala Super Italia edisi ke-31 sudah mengantarkan Juventus menjadi tim Italia pengoleksi gelar terbanyak: delapan!

Nama Cristiano Ronaldo lagi-lagi muncul sebagai headline. Satu gol dari Ronaldo ke gawang AC Milan membawanya meraih gelar pertama bersama Juventus.
            Itulah koleksi gelar ke-20 CR7, pesepak bola Portugal yang punya banyak cerita terkait Indonesia.
            Tak hanya Juventus, sepak bola Italia sangat beruntung memiliki Cristiano Ronaldo, salah satu pesepak bola terbaik di dunia saat ini. Keberadaan CR7 selalu menarik perhatian seluruh media dan pencinta sepak bola di muka bumi.
            Kemauan Ronaldo melakoni tantangan baru di panggung sepak bola Italia harus diakui berperan mengembalikan Serie A ke permukaan berita-berita sepak bola untuk menyaingi Premier League di Inggris dan La Liga di Spanyol.
            Saya beruntung menjadi bagian tim yang membawa Cristiano Ronaldo berkunjung ke Aceh pada 2005 untuk melihat langsung dampak tsunami.
            Oke, tapi cerita kali ini bukan tentang kehebatan Cristiano Ronaldo dan pertemanannya dengan Martunis, salah satu korban tsunami yang selamat.
            Pertanyaannya adalah: kenapa bermain di Jeddah, Arab Saudi?
            Piala Super Italia 2018 bukan untuk pertama kali digelar di luar Italia. Amerika Serikat, China, Libia, dan Qatar sudah pernah “membeli” Piala Super Italia. Ya, negara-negara tersebut menyodorkan sejumlah uang kepada jawara Serie A dan Coppa Italia yang bertarung dalam nama Supercoppa Italiana.
            Kepada pengelola liga di Italia, pihak penyelenggara di Arab Saudi dikabarkan menyodorkan uang 20 juta euro. Untuk Juventus dan AC Milan, keduanya masing-masing pulang membawa 3,5 juta euro atau sekitar 56,5 miliar rupiah.
            Kabarnya lagi, kontrak untuk menggelar Piala Super Italia di Arab Saudi berlangsung untuk 3 tahun. Artinya, dua tim terbaik Italia akan bertarung “menghindari” para supporter setia mereka di Italia. Menjauh dari rumah untuk dua tahun ke depan dan entah di mana lagi setelah itu!
            Benarkah hanya sindiran sinis para pengamat sepak bola itu arti menggelar Supercoppa Italia di luar negeri?
            Kalau kita mengikuti sejumlah pemberitaan menjelang pertandingan Juventus vs AC Milan yang kemudian berujung skor 1-0 itu, ada faktor harga diri yang dikaitkan dengan “menjual” panggung Supercoppa Italiana ke luar negeri.
            Tentu mengesalkan bila membandingkan jalan cerita Charity Shield dan kini disebut Community Shield dengan Supercoppa Italiana.
            Community Shield mempertemukan tim juara Premier League dan Piala FA. Stadion Wembley menjadi panggung keramat.
            Kapan Community Shield digelar di China atau Arab Saudi? Ah, pertanyaan ini saya jawab dengan: tak akan terjadi selama pengelola sepak bola Inggris tahu bagaimana mengemas dan menjual event ini. Ada gengsi yang terlalu tinggi untuk dipertaruhkan.
            Charity Shield atau Community Shield digelar jauh sebelum Supercoppa Italiana. Bila Italia mempertemukan juara Serie A dan Coppa Italia pada 1989, Inggris sudah melakukan hal serupa secara resmi sejak 1908.
            Untuk menjaga kenetralan lokasi pertandingan dan memainkan, sejak 1974 dipilih stadion tetap dan tidak lagi menggelar pertandingan di Kota London, Manchester, Birmingham, Liverpool, dan Wolverhampton secara bergiliran.
            Mellennium Stadium sempat menjadi stadion sementara ketika Empire Stadium alias Wembley yang lama dipermak menjadi Wembley Stadium yang baru dan menjadi tempat keramat Community Shield sejak 2007.
            Kenapa Italia tidak melakukan hal serupa?
Rasa penasaran itu kemudian menjalar ke Tanah Air. Tentu saja kita berharap pengelola sepak bola di Indonesia sukses menggelar Liga Indonesia dan Piala Indonesia di setiap musim yang sama.
Lalu, Stadion Utama Gelora Bung Karno menjadi pertarungan kedua pemenang kompetisi tersebut. “Road to Senayan” menjadi kisah yang menarik dan ditunggu.
Namun, banyak sekali aspek yang membuat mimpi ini sulit diwujudkan. Mengelola sepak bola di Indonesia tidak terlepas dari sinergi antara federasi dan pemerintah dalam banyak hal, termasuk perizinan yang berhubungan dengan jadwal.
Saat ini, keduanya terkesan berjalan sendiri-sendiri dengan mengumbar mimpi yang sama... semua demi kebaikan sepak bola Indonesia.
Masuk ke area pengelolaan sepak bola di Tanah Air memang seperti memasuki semak belukar. Terlalu banyak aspek-aspek nonteknis yang memengaruhi perjalanan sepak bola kita.
Tentu selama sepak bola dijadikan tujuan karena dapat mengharumkan nama bangsa serta memberikan kehidupan bagi banyak orang, harapan melihat pengelolaan sepak bola nasional yang lebih baik akan tetap ada. @weshley

Monday, January 7, 2019

Suara Indonesia untuk Asia


      Siapa pesepak bola terbaik Asia saat ini? Beragam jawabannya. Tergantung apa kriteria dan siapa yang memutuskan predikat bergengsi tersebut.

Untuk tahun ketiga, saya diminta menjadi salah satu pemberi suara menentukan pesepak bola terbaik di Asia oleh sebuah grup media massa di China bernama Titan Sports Media Group.
         Sejak 2016, 2017, dan yang mungkin menjadi suara saya terakhir, 2018, media Indonesia diwakili oleh Tabloid BOLA dan BolaSport.com.
         Memang tak harus wartawan yang berstatus Pemimpin Redaksi untuk dipercaya memberikan suaranya memilih pesepak bola terbaik di kawasan Asia. Namun, permintaan Mr Billy tak elok untuk ditolak. Oke, saya memberikan pilihan.
         Sejak pertama kali memberikan suara, pilihan pertama saya tak pernah lepas dari penyerang Korea Selatan yang bermain untuk klub Inggris, Tottenham Hotspur. Ia selalu ada dalam 3 besar.
         Jreeeng. Pilihan saya di pengujung 2018 tokcer. Bersama 44 juri lain, nama Son Heung-min terpilih menjadi Pemain Terbaik Asia 2018.

        Untuk keempat kali, pria yang membawa Korea Selatan sebagai juara cabang sepak bola Asian Games 2018 di Indonesia itu terpilih sebagai yang terbaik di Asia versi Titan Sports Media Group.
         Penghargaan pertama didapat Son Heung-min pada 2014, 2015, lalu 2017, dan terakhir 2018.
         Tentu pada 2016 nama Shinji Okazaki lebih tenar. Pesepak bola Jepang itu berhasil menghadirkan mimpi membawa Leicester City menjuarai Liga Inggris, mengungguli para raksasa seperti Arsenal, Tottenham Hotspur, hingga dua klub asal Kota Manchester.
         Kenapa sih memilih Son Heung-min? Alasan saya tidak berubah dalam 3 tahun sebagai juri.
         Pria berusia 26 tahun kelahiran 8 Juli 1992 itu punya kemampuan bersaing di level atas. Acuannya tentu persaingan yang ketat di Liga Inggris dan peluang mendapatkan posisi starter menemani bintang Inggris, Harry Kane.
         “Son Heung-min punya peran besar dalam menjaga performa Tottenhan selalu berada di papan atas Premier League. Ia sanggup beradaptasi dan bersaing dengan rekan pesepak bola dari Eropa, Amerika Latin, begitu pula Afrika untuk waktu yang cukup lama. Permainan Son tergolong konsisten bila tidak diganggu cedera.”
Begitu alasan yang saya berikan ketika mencamtumkan nama Son Heung-min di kolom teratas dengan nilai tertinggi, yakni 6 poin.
Sejak bergabung dengan klub Kota London itu pada Agustus 2015, nama Son Heung-min tak runtuh oleh waktu.
Tidak bohong, awalnya saya menduga pembelian Son dari Bayer Leverkusen pada Agustus 2005 dengan biaya 30 juta euro untuk kontrak 5 tahun kental bernuansa “bisnis”.
Biaya transfer yang “wah” dan menjadikannya sebagai pesepak bola Asia termahal di dunia tentu harus berdampak baik pada aspek finansial klub.
Tidakkah kubu Tottenham tertarik menancapkan posisi mereka di Asia, terutama negara asal Son Heung-min? Tetapi, Son tidak hanya memberikan daya tarik bisnis, juga prestasi nyata di lapangan.
Kemampuan Son Heung-min beradaptasi dengan lingkungan baru dengan persaingan sangat ketat di klubnya adalah kunci yang bisa dicontoh para pesepak bola kita, termasuk mereka yang ingin meraih prestasi di negara orang.
Kini, setelah membawa tim nasional Korsel menjuarai Asian Games 2018, Son Heung-min mengawal timnas Negeri Ginseng itu berlaga di Piala Asia 2019 yang berlangsung di Uni Emirat Arab pada 5 Januari hingga 1 Februari.
Son Heung-min berhasil di tanah perantauan. Semoga suatu waktu ada pesepak bola Indonesia yang mengharumkan nama bangsa di pentas dunia lewat prestasi di lapangan hijau. @weshley

Saturday, January 5, 2019

Indonesia? Murah, Murah!

Bila Anda bepergian ke luar negeri, apa yang pertama muncul di benak untuk memperkenalkan tempat asal kita kepada orang asing? 

Keindahan alam Bali? Ah, itu kuncian. Bali nyaris selalu menjadi andalan ketika saya ditugaskan ke luar negeri dan bertemu orang asing yang bertanya asal negara saya.
Selain Bali? Beberapa orang asing ternyata cukup mengenal keindangan sejumlah lokasi di Tanah Air, sebut saja Candi Borobudur, Lombok, Raja Ampat, hingga ada yang menyebut deburan ombak di beberapa Aceh dan Nias, Danau Toba, serta Taman Komodo dan alam NTT.
            Believe it or not, saat saya meliput Piala Eropa 2000 di Belanda dan Belgia, sepak bola Indonesia lumayan terkenal lho.
            Enggak percaya? Di Kota Brussels, Belgia, dalam sebuat acara pertemuan dengan sejumlah wasit yang memimpin pertandingan Euro 2000, nama Indonesia ternyata dikenal.
            Setelah antre untuk wawancara khusus dengan wasit Anders Frisk asal Swedia, saya memperkenalkan diri dan negara asal.
            “Indonesia? Ah, ya saya ingat kompetisi di negara Anda dihentikan di tengah jalan.”
            Alamak! Memang dia insan sepak bola dunia, namun kok yang diingat tentang Indonesia adalah kompetisi yang penuh perkelahian sehingga dihentikan di tengah jalan, ya? Sedih rasanya.
            Tetapi, ya sudahlah… lumayan nama Indonesia ada di benak Anders Frisk. Wasit kelas dunia yang memilih mengundurkan diri pada Maret 2005 akibat tekanan dan ancaman pembunuhan terhadap dirinya dan keluarga.
            Ingin lebih merasa akrab dengan nama Indonesia ketika ada di luar negeri? Datanglah ke tempat-tempat tujuan wisata terkenal dengan barang-barang jualan sebagai oleh-oleh. Salah satunya lokasi Menara Eifel di Kota Paris, Prancis.
            Kebiasaan turis-turis Indonesia dalam merogoh kocek tampaknya membuat para penjualan souvenir paham cara mengambil hati tamu-tamunya.
            “Anda dari mana?” Begitu tanya sejumlah penjaja souvenir yang menghampiri kami sesampai di lokasi.
            Percaya tidak percaya, nyaris semua penjual yang mendengar negara asal kami langsung menyapa dengan Bahasa Indonesia.
            “Ah, Indonesia.. ini murah, murah,” ucapnya sambil menyodorkan sejumlah barang souvenir khas lokasi tersebut diikuti kalimat yang berarti harga di sana lebih murah dibanding tempat lain.
            Tak hanya itu. Mereka juga menyebut nama “Jokowi” diikuti kata “Hebat”. Bahkan ada juga yang mengucapkan “Ahok”.
            Mereka mencoba segala cara menarik hati turis-turis Indonesia dengan melontarkan sejumlah kata yang dianggap “ampuh” untuk mengeluarkan uang euro dari saku dan dompet.
            Maaf, taktik tersebut tak berlaku bagi saya dan keluarga… ha ha ha.  Namun, dari cara mereka mengucapkan sejumlah kata dalam Bahasa Indonesia dan tokoh nasional yang sedang “hangat”, saya paham bahwa negara kita lumayan mendapat sorotan dari pihak luar negeri.
Semoga, nama Indonesia semakin dikenal oleh dunia karena berbagai prestasi anak bangsa, termasuk dari dunia olahraga… dan sepak bola di dalamnya. Setuju?

Thursday, January 3, 2019

Saya Indonesia, Lihatlah Garuda di Dada


Sebelum tahun 2018 berganti, saya mendapatkan kesempatan berkunjung ke negara yang tim nasionalnya baru menjuarai Piala Dunia 2018: Prancis.

               Kisah menarik yang ingin saya tuturkan dalam tulisan kali ini bukan tentang tim nasional asuhan Didier Deschamps atau kehebatan Paris Saint-Germain bersama Edinson Cavanio, Kylian Mbappe, dan Neymar.
               Di Kota Lourdes, sekitar 5 jam perjalanan naik kereta dari Kota Paris, saya menemukan hal aneh terkait manusia yang berbahasa Indonesia. Ya, menurut saya aneh.
               Sambil berjalan bersama anak, di hadapan kami ada beberapa orang yang mengarah berlawanan. Muka Asia… ya saya yakin itu.
               Benar saja, dari beberapa meter saya dapat mendengar mereka berbicara dengan Bahasa Indonesia.
               Tahu dong apa yang saya lakukan. Dengan muka yakin dan memberikan senyuman pertanda senang bertemu sesama warga Indonesia, saya menyapa, “Halo”.
               Alamak. Harapan saya mendapatkan balasan dengan keramahan yang paling tidak sama dan mungkin bisa bercakap-cakap sebentar bak bertepuk sebelah tangan.
               Keluarga, ayah-ibu dan dua putri, berlalu begitu saja seolah senyuman saya berarti pedagang yang menawarkan souvenir.
               Saya yakin sekali mereka tahu bahwa saya juga berasal dari negara yang sama, Indonesia. Tak perlu mengeluarkan ucapan setelah “halo” karena cukup melihat jaket dingin yang saya kenakan.
               Apakah lambang Burung Garuda di sebelah kiri dada saya tidak berarti apa-apa bagi mereka?
               Jaket berwarna biru itu memang memiliki dua logo di dada. Sebelah kanan ada logo Nike dan kiri Garuda. Identik dengan timnas Indonesia, bukan? He he he.
               Berada ribuan kilometer dari tempat tinggal kita dan di negara asing, apalagi dengan penduduk yang minim berbahasa Inggris, tentu bertemu dengan manusia berbahasa Indonesia punya makna tersendiri.
               Jangan-jangan, situasi persepakbolaan kita membuat sekelompok orang di Tanah Air menjadi antipati dengan sepak bola Indonesia. Bahkan dengan melihat jaket berlogo Garuda di dada.
               Ah, semoga tidak ya. Semoga kecurigaan saya ini hanya pelampiasan kekecewaan karena senyuman yang tidak berbalas.
               Selain jaket tebal dengan lambang Garuda di dada, dalam perjalanan ke beberapa negara Eropa itu saya juga membawa t-shirt bertuliskan “Indonesia” dengan lambang “Garuda” di dada.
               Ada kebanggaan bahwa saya warga Indonesia. Ada harapan bahwa sepak bola Indonesia akan memiliki prestasi yang bisa dibanggakan suatu hari ini. Amiiiinnnn.
               Impian saya, sepak bola Indonesia tidak melulu dikuasai pembahasan masalah dan masalah. Ada kisah prestasi yang ingin kita bagikan ke negara-negara lain sehingga mereka lebih mengenal Indonesia dan sepak bola kita.
               Harapan itu yang menjaga kecintaan saya terhadap sepak bola Indonesia. Kalau kita tidak memiliki harapan, buat apa sepak bola itu ada di nusantara dan kita cintai, bukan?