Wednesday, November 17, 2021

DAVID MENANTANG GOLIATH DI STADION ANFIELD

Apa bagian paling menyenangkan dalam pertandingan olahraga? Kemenangan? Bagaimana kalau bisa ikut berperan di dalamnya? Pesan ini cocok bagi pemain muda Arsenal ketika akan bertandang ke markas Liverpool di pekan ke-12 Premier League 2021-2022.

Minggu, 21 November 2021, pukul 00.30 WIB, laga Liverpool menjamu Arsenal akan menjadi ujian konsistensi permainan pasukan masa depan Mikel Arteta.

Setelah menjalani 10 laga di semua kompetisi tak terkalahkan, atau 8 pertandingan terkahir Premier League yang menghasilkan 6 kemenangan dan 2 hasil imbang, ujian berat ada di Stadion Anfield.

Harus mundur 9 tahun ke era Arsene Wenger menjadi manajer dan Mikel Arteta masih bermain untuk melihat Arsenal mengalahkan Liverpool di Anfield dalam kancah Premier League. Ketika itu, 2 September 2012, skor 0-2 untuk Arsenal dengan kolaborasi Lukas Podolski dan Santi Cazorla. Kedua pemain ini yang mencetak gol dan salin memberi assist.

Pasukan Arsenal kini indentik dengan anak muda. Memang masih ada pemain senior dengan menit bermain banyak musim ini, seperti Pierre-Emerick Aubameyang (32 tahun), Thomas Partey (28), atau Nicolas Pepe (26) dan Granit Xhaka yang kerap cedera. Selebihnya, pemain dengan menit bermain terbanyak musim ini berusia 25 tahun ke bawah.

Nah, pemain-pemain masa depan Arsenal ini akan membawa harapan fans The Gunner yang ingin melihat kestabilan permainan racikan Mikel Arteta melawan pasukan kenyang pengalaman milik Juergen Klopp. 

Apakah istilah "David vs Goliath" pantas diberikan pada duel Arsenal yang menantang Liverpoool di Anfield? David untuk Arsenal yang mengacu pada usia dan menit bermain Emile Smith Rowe dkk. di kompetisi sepak bola level teratas.

Kalau "David" milik Mikel Arteta datang dengan jiwa kerdil dan hanya fokus pada angka 8, jumlah pertandingan tak terkalahkan secara beruntun di Premier League musim ini, bisa-bisa mereka tidak menikmati pertandingan di Anfield.

Angka 8 itu boleh dibanggakan. Namun, angka itu bisa terhenti tidak bergerak menjadi 9 ketika Emile Smith Rowe (21), Bukayo Saka (20), Martin Odegaard (22), Takehiro Tomiyasu (23), hingga kiper Aaron Ramsdale (23) gagal menikmati pertandingan di Anfield dan hanya fokus bagaimana agar tidak terkalahkan. @Weshley Hutagalung

LIVERPOOL DAN ANFIELD, UJIAN PEMAIN MUDA ARSENAL

Sunday, October 31, 2021

PELATIH SEPAK BOLA SELALU DIHAKIMI ATAS HASIL DI LAPANGAN

 

"Pelatih menilai pemainnya dari niat dan usaha, sementara mereka sendiri dinilai dari hasil pertandingan."

Apa alasan utama manajemen Barcelona memecat Ronald Koeman? Hasil pertandingan. Apa latar belakang isu Nuno Espirito Santo bakal dipecat Tottenham Hotspur? Hasil pertandingan.

Sepak bola Eropa, dan juga Indonesia, sepertinya kini semakin menjauh dari "kesabaran". Setiap pelatih dituntut memberikan hasil memuaskan di lapangan. Jangka waktu kerja atau kualitas dan materi pemain yang dimiliki seperti tidak masuk elemen utama dalam menilai kinerja pelatih. Hasil di lapangan yang dituntut, peningkatan proses dipinggirkan!

Bayangkan bila klub-klub Serie A memecat semua pelatih yang gagal membawa timnya juara, tidakkah waktu dan uang habis hanya untuk mencari pelatih baru? Pemain harus selalu beradaptasi dengan pelatih baru, sesuatu yang mengganggu proses mencapai tujuan. Bukankah setiap musim hanya ada satu tim yang menjadi pemenang di ujung kompetisi?

Okelah tidak juara, namun hasilnya jangan terlalu jauh dari harapan... apalagi yang berbau rivalitas bersejarah. Itulah salah satu aspek penilaian manajemen terhadap pelatih.

Ronald Koeman memang bukan pelatih idaman Joan Laporta, Presiden Barcelona yang menggeser Josep Maria Bartomeu. Namun, kekalahan dari 3 tim asal Kota Madrid di Oktober 2021 (0-2 Atletico Madrid, 1-2 Real Madrid, dan 0-1 Rayo Vallecano) menjadi sulit dimaafkan selain rentetan 3 kekalahan tandang di semua kompetisi musim ini (Benfica, Atletico, Vallecano).

"Saya menilai para pemain dari niat dan usaha mereka, bukan semata hasil pertandingan." Begitu kata Pep Guardiola, membuka salah satu rahasia suksesnya.

Selama manajemen klub mendukung filosofi Pep, tentu strategi itu bisa berjalan baik. Selama hasil-hasil pertandingan dan gelar juara berdatangan, kebijakan Pep pasti didukung. Apa jadinya bila pengeluaran besar membeli pemain tidak diikuti prestasi dalam 2-3 tahun ke depan? Apakah Pep masih akan bersama Manchester City?

Kekalahan 0-3 saat menjamu Manchester United, setelah tumbang 0-1 di pekan sebelumnya di rumah West Ham, seperti menjadi titik balik kebijakan manajemen Tottenham Hotspur terhadap sang pelatih: Nuno Espirito Santo.

Setelah memulai Premier League 2021-2022 lewat 3 kemenangan beruntun (skor 1-0 atas Manchester City, Wolverhampton, dan Watford), rentetan 3 kekalahan mengiringi perjalanan Spurs dan kebobolan 9 kali ( 0-3 melawan Crystal Palace, Chelsea, dan 1-3 di markas Arsenal).

Hingga pekan ke-10 musim ini, Spurs adalah tim paling rendah dalam catatan melepaskan tembakan. Harry Kane dkk. hanya melepaskan 103 tembakan, bandingkan dengan Liverpool (199) atau bahkan Brentford (116).

Kabarnya, big boss Spurs, Daniel Levy, sudah mengincar Paulo Fonseca sebagai pengganti Nuno. Spurs berebut dengan Newcastle United? Ada yang terancam kehilangan pekerjaan, ada yang mengincar pekerjaan tersebut.

Dalam era kesabaran pendek dan ketika semua orang menjadi hakim atas segala hal, menjadi pelatih sepak bola memang tidak menjanjikan pekerjaan yang awet di satu klub. Kursi panas!

Selama manajemen dan pendukung tim selalu menilai kinerja pelatih dari hasil pertandingan dan menyepelekan proses atau setiap peningkatan kualitas permainan, kita akan selalu membaca berita sekitar pemecatan pelatih sepak bola. Pedih! @Weshley Hutagalung

Wednesday, October 27, 2021

RONALD KOEMAN DI ANTARA PERUBAHAN DAN TIDAK DIINGINKAN

"Setiap perubahan pasti memakan korban. Seringnya perubahan itu menyakitkan. Tetapi, adalah lebih menyakitkan ketika kita terjebak di tempat yang bukan untuk kita dan mencoba bertahan di sana."

Ronald Koeman seolah ditakdirkan untuk tidak bisa berlama-lama di sebuah klub sebagai pelatih. FC Barcelona, klub yang pernah ia bela (1989-1995) dan menjadi pencetak gol kemenangan Barca di final Piala Champions 1992 melawan Sampdoria, mendepaknya pada 27 Oktober 2021.

Seolah, Koeman tidak ada dalam rencana perubahan yang terjadi di Barcelona belakangan ini. Masa edarnya di Barcelona hanya mencakup 67 pertandingan di semua kompetisi dengan hasil 39 kemenangan, 12 imbang, dan 16 kali tim asuhannya tumbang.

Situasi tak kondusif sejak Koeman bergabung bersama manajemen Barcelona pada Agustus 2020 memang berujung pada pemecatan. Tak mudah bagi Koeman ketika ia harus membuang Luis Suarez pada masa awal jabatannya dan kemudian kehilangan Lionel Messi, Sang Penyelamat Barcelona bertahun-tahun lamanya.

Lalu, pergantian manajemen FC Barcelona dari Presiden Josep Maria Bartomeu, yang merekrutnya kembali ke Camp Nou, ke Joan Laporta ikut berdampak pada penciptaan angin panas di Camp Nou. Bukankah pergantian pimpinan biasanya diikuti oleh gerbong bawaan yang dianggap satu frekuensi? Hal ini biasa terjadi demi kelancaran pengelolaan organisasi agar membantu pencapaian target yang diinginkan.

Ronald Koeman, pelatih dengan masa edar singkat di klub. Mungkin seperti itu ia akan dikenal. Coba lihat track record Koeman sebagai pelatih. Paling lama, Koeman menjabat pelatih di Ajax pada Desember 2001 hingga feburiar 2005. Atau Feyenoord pada Juli 2011 hingga Mei 2014. 

Bandingkan dengan masa edar Sir Alex Ferguson yang 26 tahun di Manchester United atau Arsene Wenger yang nyaris 22 tahun menukangi Arsenal. Ah, perbandingan yang terlalu jauh? 

Okelah, mari lihat Pep Guardiola di Manchester City yang masih bertahan di sana sejak bertugas Juli 2016. Atau Diego Simeone pelatih Atletico Madrid sejak 23 Desember 2011.

Bagaimana klub lain yang dilatih Koeman? Lihatlah jejak kariernya di Benfica (Juni 2005 - Mei 2006), Valencia (November 2007 - April 2008), atau Southampton (Juni 2014 - Juni 2016), Everton (Juni 2016 - Oktober 2017) dan juga timnas Belanda (Februari 2018 - Agustus 2020) karena menerima pinangan Barcelona. Gaji di Barcelona jauh lebih gede dong dari timnas Belanda!

"Koeman dan Angin Panas Camp Nou"

Koeman sudah resmi meninggalkan Barcelona. Ia, yang merupakan pelatih asal Belanda ke-5 di Camp Nou, mengikuti jejak Louis van Gaal dan Ernesto Valverde yang menjadi pelatih gagal menyelesaikan kompetisi hingga tuntas. Bila Van Gaal dipecat 26 Januari 2003, Valverde kehilangan pekerjaannya pada 13 Januari 2020.

Bagaimana kita melihat Koeman? Seperti nasihat Socrates, "Rahasia perubahan adalah kemampuan memfokuskan semua energi kita bukan untuk melawan yang lama, melainkan untuk membangun yang baru." Move forward, begitu kata orang-orang.

Barcelona tinggal menjadi sejarah bagi Koeman, persis seperti ketika ia menyelesaikan 6 tahun berkarier sebagai pemain dengan lebih dari 200 pertandingan yang menghadirkan 10 gelar juara.

Koeman, seperti halnya kita, jelas harus melihat perubahan yang terjadi dalam hidupnya merupakan hukum kehidupan. Ya, bukankah yang pasti dalam hidup ini adalah "perubahan"? 

Mereka yang hanya melihat masa lalu dan masa kini sepertinya akan kehilangan atau sulit membangun masa depan yang lebih baik. Setuju? 

Bergerak maju, begitu nasihat Martin Luther King Jr. Petuah yang baik bagi Ronald Koeman dan juga baik bagi kita. Katanya, jika kita tidak bisa terbang untuk bergerak, berlarilah.

Lalu, bagaimana kalau tidak bisa berlari? Berjalanlah. Jika tidak bisa berjalan? Merangkaklah. 

Artinya, apapun yang bisa kita lakukan, semuanya demi tujuan bergerak dan terus maju. Jangan diam di tempat dan mencoba bertahan dalam perubahan yang tidak diciptakan untuk kita. Seperti halnya Ronald Koeman di FC Barcelona. @Weshley Hutagalung

Wednesday, October 20, 2021

ADAKAH KESABARAN DAN BATAS WAKTU DALAM PERUBAHAN NEWCASTLE?

Bagaimana rasanya tidak dicintai di komunitas sendiri? Apakah pertanyaan ini pantas diajukan kepada Steve Bruce, pelatih yang pada Rabu 20/10/2021) berpisah dari Newcastle United? Bagi sebagian besar fans Newcastle, akhir era Steve Bruce adalah era baru penuh harap bagi mereka.

Setelah era Mike Ashley di Newcastle United sejak 2007 berakhir pada 7 Oktober 2021 dan berganti dengan Public Investment Fund dari Arab Saudi, nama Steve Bruce kerap diperbincangkan. Bukan lagi soal apakah mantan bek Manchester United (1987-1996) itu bakal diganti oleh manajemen baru, melainkan "kapan" ia dipecat?

Lalu, apakah Steve Bruce mengundurkan diri atas kesepakatan bersama atau pria berusia 60 tahun ini seperti perkiraan sebelumnya: dipecat?

Apapun itu, yang pasti Steve Bruce tidak lagi menjadi Manajer Newcastle United, posisi yang diberikan kepadanya sejak Juli 2019.

Banyak data dan catatan yang mengarahkan dan memojokkan sang pelatih selama berada di Newcastle. Tentu hasil pertandingan dan peringkat klub dari musim ke musim ada di dalamnya. Termasuk catatan gawang Newcastle kebobolan 139 kali selama Bruce menjabat. 

Tak ada pertahanan klub di Premier League yang serapuh Newcastle di era Steve Bruce menjabat. Apakah semua salah sang pelatih? Bagi yang paham sepak terjang Mike Ashley, mungkin ada rasa iba dan kasihan pada Bruce. 

Bagaimana mau bersaing bila keran keuangan klub dikunci big boss sementara Steve Bruce ternganga melihat budget belanja tim seperti Manchester City, Manchester United, Liverpool, dan Chelsea? 

Setelah bertahun-tahun menghadapi tekanan dari publik dan dihakimi secara konsisten di media sosial, kini Steve Bruce bersiap memulai era baru dalam hidupnya. Setiap keputusan yang akan diambilnya jelas memiliki risiko: lanjut melatih di Inggris, memilih klub yang sesuai ambisinya, atau lebih kepada mengisi tabungan dengan melirik klub-klub Asia, misalnya?

Begitu pula bagi fans Newcastle. Akhir era Mike Ashley, disingkirkan lewat 300 juta pound konsorsium yang dipimpin orang dalam kerajaan Arab Saudi lewat Public Invesment Fund, adalah era baru yang diharapkan mengembalikan kegembiraan mereka lewat perjuangan para pemain di lapangan sepak bola. Cukup soal gembira?

Bagi penggemar Newcastle, pepatah yang mengatakan "every new beginning comes from some other beginning's end" tentu tak hanya soal perubahan dan merasakan suasana baru setelah "penjajahan" Mike Ashley selama 14 tahun. Pertanyaan berikut adalah: "Apakah harapan yang layak disematkan pada pengelola baru dan pelatih baru?"

Pertanyaan lanjutan, "Apakah harapan itu mengenal batas waktu alias deadline? Adakah kesabaran menyertai perubahan ini atau ingin segera melihat Paris Saint-Germain berwarna hitam-putih di Premier League?" @Weshley Hutagalung

Monday, October 18, 2021

KEPUTUSAN OLE DAN RISIKO YANG DIHADAPI HARRY MAGUIRE

 

"Saya yang memutuskan untuk memainkan Harry Maguire. Dia bekerja keras untuk dapat pulih kembali dan tampak siap menghadapi Leicester."

Sebuah pengakuan Ole Gunnar Solskjaer ketika harus menjawab kenapa menurunkan sang kapten, Harry Maguire, yang baru sembuh dari cedera betis. Hasilnya, di markas Leicester City, kekalahan telak 2-4 harus diterima Manchester United (Sabtu, 16 Oktober 2021) dalam rangkaian jadwal "penuh tantangan" hingga akhir November 2021.

Sebelum pertandingan, tentu kita menebak-nebak, dengan berita duet centre back yang cedera, Harry Maguire dan Raphael Varane, adakah taktik khusus Ole Gunnar Solskjaer ketika berpeluang menurunkan duet baru Eric Bailly dan Victor Lindelof?

Oke, update sebelum pertandingan melawan Leicester City adalah sang kapten, Harry Maguire, sudah pulih. Tapi, dengan jadwal padat dengan lawan-lawan berat di hadapan Man. United, tidakkah berisiko memainkan Maguire di markas Leicester? Setidaknya menghindari risiko cedera lagi dan Man. United kehilangan bek andalan di laga-laga krusia.

Coba perhatikan jadwal Man. United di semua kompetisi hingga akhir November nanti: Man. United vs Atalanda; Man. United vs Liverpool; tottenham vs Man. United; Atalanta vs Man. United; Man. United vs Man. City; Watford vs Man. United, Villarreal vs Man. United; Chelsea vs Man. United; Man. United  vs Arsenal. Laga mana yang menjanjikan ketenangan bermain? 

Kira-kira, dalam rangkaian jadwal penuh tantangan itu, tagar mana yang akan lebih sering muncul di media sosial: #OleOut atau #OleStay?

Atas keputusan Ole memainkan Harry Maguire dan hasilnya adalah kekalahan, dampaknya tidak hanya tekanan bagi sang manajer. Beban mental kini juga ada pada Maguire atas penampilannya yang buruk. Sebagai kapten tim, ia seolah menjadi titik lemah permainan Man. United di markas Leicester.

Lewat berbagai rapor pemain di laga Leicester vs Man. United itu, tak bisa dipungkiri Harry Maguire jadi sorotan atas rapor merah yang didapatkannya. Dari skala 1-10, berikut rapor untuk sang kapten dari beberapa pihak:

1. Manchester Evening News: 3

2. Squawka: 2

3. Sky Sports: 5

4. 90 Min: 4

Kiranya Harry Maguire tidak tertekan atas penghakiman dari pihak luar dan kekecewaan fans Man. United lewat penampilannya, termasuk kesalahan yang dibuat sehingga berdampak pada gol lawan.

Atas penampilan buruk timnya di Leicester, sebagai kapten Harry Maguire harus bisa meredam kekecewaan sejumlah rekannya, terutama sang bintang, Christiano Ronaldo. Ekspresi Ronaldo bisa dibaca mengisyaratkan kekecewaan atas kualitas permainan Man. United dan reaksi strategi menyikapi permainan lawan.

Juga Paul Pogba yang tak dapat untuk menahan diri di hadapan wartawan atas permainan buruk timnya. 

Memiliki ban kapten di lengan bukan tanpa alasan... juga bukan tanpa tanggung jawab. Maguire, ketika menghadapi penghakiman terhadap dirinya atas keputusan Solskjaer di laga versus Leicester, ia harus bisa menguasai tensi tinggi di tim dan meredakannya guna mengembalikan kepercayaan para pemain pada Ole Gunnar Solskjaer. Pekerjaan mudah? Itulah gunanya memiliki kapten dalam tim. @Weshley Hutagalung

Sunday, September 26, 2021

Pemain Ke-12 dan Hakim Sepak Bola

Salah satu kekuatan media sosial adalah memunculkan kembali rekam jejak digital kita. Termasuk tulisan saya yang pernah dimuat di Tabloid BOLA edisi Sabtu, 24 September 2011, lewat rubrik "Weekend Story". Kisahnya tentang peran pemain ke-12 alias suporter, pendukung, dan penonton sepak bola.

Judul tulisan ini: "HAKIM BERNOMOR 12". Semoga isinya masih relevan karena yang penting adalah pesan dan nilai yang ingin saya sampaikan lewat kumpulan kata pada 10 tahun lalu.

Limbo. Pernah mendengar tarian bernama limbo? Coba bayangkan seseorang bergerak sambil membungkukkan badan ke belakang, berjalan berusaha melewati tiang horizontal tanpa menyentuhnya sambil diiringi musik khas.

Ya, kegiatan sederhana ini disebut limbo, tarian yang berasal dari Kepulauan Trinidad. Persaingan dalam tarian ini adalah tongkat yang melintang itu akan diturunkan setiap Anda berhasil melewatinya. Penari terakhir yang tak menyentuh tongkat dan lantai dinyatakan sebagai pemenang.

Ada apa kok tiba-tiba saya menyinggung tarian yang akhirnya popular di Jamaika itu? Membaca Majalah FourFourTwo Indonesia edisi Oktober 2011 seolah mengantar saya kembali ke bangku sekolah. Sungguh sebuah bacaan penuh pengetahuan tentang sepak bola dengan berbagai cerita unik dan menarik.

Adalah Wesley Parker yang membawa saya ke tarian limbo. Bukan, bukan karena namanya mirip dengan saya, tetapi kejadian yang menimpa Parker di tahun 1990. Sebagai seorang striker di klub amatir Jamaika bernama Kings of Diamonds, sudah seharusnya Parker menjadi penyelesai serangan yang dibangun rekan-rekannya.

Apes bagi Parker, kegagalannya memanfaatkan sejumlah peluang di sebuah pertandingan telah membuat seseorang jengkel. Usai pertandingan, ia memaki Parker sebagai lelaki mandul di mulut gawang. Dengan bantuan rekannya, orang yang jengkel tersebut membekuk Parker ke dalam mobil dan membawanya pulang.

Apa yang terjadi di rumah seorang fan yang geram itu? Selama dua jam, Wesley Parker diharuskan menari limbo sebelum akhirnya dilepaskan. Tujuannya? Agar tubuh Parker lentur sehingga mampu menuntaskan pekerjaan rekan-rekan yang ditujukan baginya di depan gawang lawan.

Saya menyebut seorang fan seperti di Jamaika itu sebagai pemain ke-12 sekaligus hakim bagi Parker!

Bisakah Anda membayangkan hilangnya kenikmatan bermain sepak bola ketika bangku stadion itu kosong? Bukanlah cerita dongeng bila kerumunan penonton kerap menjadi motivasi para pemain untuk menampilkan kemampuan terbaik dan memberikan kemenangan bagi pendukungnya.

Tanyakan kepada Bambang Pamungkas dkk. bagaimana rasanya bermain dengan dukungan sekitar 80 ribu penonton di Stadion Gelora Bung Karno. Atau bayangkan besarnya hasrat pesepak bola dari Malaysia dan Singapura ingin mencicipi atmosfir sepak bola Indonesia yang stadionnya tak sepi dari kunjungan pemain ke-12.

Pemain Vasco da Gama, klub sepak bola Brasil yang memuja sepak bola indah sebagai agama, tak akan melupakan sosok bernama Pai Santana. Mantan tukang pijat itu dikenal sebagai pendukung setia Vasco. Kegiatan rutinitasnya di lapangan sebelum Vasco bertanding adalah bertingkah seperti membaca mantra-mantra magis agar kemenangan mendatangi Vasco.

Setiap Vasco memenangkan pertandingan, Pai Santana akan berkeliling lapangan stadion sambil berlutut dengan mengenakan pakaian serba putih. Aneh? Tapi itulah cara Santana menjadi pemain ke-12 Vasco da Gama.

Di Spanyol, Manolo el del Bombo akan selalu terlihat setiap tim nasional Negeri Matador berlaga, di manapun! Dengan mengenakan jersey bernomor 12, Manolo mencolok perhatian dengan drum besar yang selalu ia bawa.

Manuel Caceres Artesero, begitu nama asli pria kelahiran 15 Januari 1949 ini, telah mendukung timnas Spanyol sejak Piala Dunia 1982. Saking semangatnya mendukung tim kesayangan, Manolo harus mengorbankan pekerjaan dan keluarganya. Ya, istri dan anaknya tak tahan melihat kecintaan Manolo yang lebih besar kepada  sepak bola. Mereka meninggalkan pria tambun ini dengan hati hancur.

Bila Anda berkesempatan berkunjung ke Kota Valencia di Spanyol, mampirlah di bar milik Manolo di dekat Stadion Mestalla. Saya beruntung pernah menyaksikan bagaimana ia mendapat tempat istimewa di mata masyarakat Spanyol, termasuk klub Valencia yang membantunya membuka usaha warung minum.

Bagi saya, Manolo adalah lambang keterkaitan antara pemain sepak bola dengan pendukungnya. Bukankah pengorbanan Manolo untuk negaranya tak kalah dari perjuangan Iker Casillas dkk.?

Dalam satu kejadian, sosok Zinedine Zidane  menunjukkan kepada kita bagaimana menghargai  pemain ke-12.

Adalah seorang nenek bernama Lolette yang begitu cinta kepada klub FC Girondins de Bordeaux di Prancis.  Sejak tahun 1962, ia disebut tak pernah sekalipun absen menyaksikan Bordeaux bertanding di Stade Chaban Delmas, markas Bordeaux.

Hari ini adalah hari pertandingan. Saya tak punya waktu untuk bersantai-santai, saya harus segera menuju stadion.” Ucapan ini melegenda bersama kisah Lolette di antara pendukung Les Girondins.

Suatu waktu, ketika Zidane masih membela Bordeaux sebelum diboyong Juventus ke Italia pada tahun 1996, Lolette berkesempatan menjumpai Zizou setelah pertandingan. “Saya  meminta jersey yang dikenakan Zidane hari itu. Tapi sayang, ia sudah terlanjur memberinya kepada orang lain yang meminta sebelum saya,” begitu kenang sang nenek.

Seminggu kemudian, Lolette menerima kiriman berupa kostum Bordeaux dengan nama Zidane di punggung serta tanda tangan sang pemain. Dari sejumlah 60 jersey dan 5.000 tanda tangan pemain yang Lolette koleksi, hanya pemberian Zidane itu yang ia bingkai dan pajang di tembok rumahnya.

Hubungan yang saling menghormati antara pemain dan fan. Saya membayangkan upaya Zidane mencari alamat rumah Lolette, pendukung setia klub yang telah membesarkan namanya.

Sebagai penggemar sepak bola, mungkin fan sebuah klub, tapi yang pasti pendukung tim nasional Indonesia, kita mau memilih kisah siapa sebagai pemain ke-12? Apakah menjadi hakim sepak bola seperti Wesley Parker, mengorbankan keluarga ala Manolo, atau kesetiaan Lolette? Saya memilih kisah sendiri! @Weshley Hutagalung

Monday, September 20, 2021

Belajar Menerima Perubahan Lewat Sepak Bola

Baru-baru ini, saya berkesempatan bertemu Direktur Utama PT Liga Indonesia Baru, Akhmad Hadian Lukita, di kantornya yang keren. Pertanyaan agak nyeleneh sedikit dan membuatnya bersemangat: "Bagaimana mengelola kompetisi di era pandemi ini?"

Harapan. Ya, ada harapan yang dimunculkan Pak Akhmad Hadian perbincangan kami. Pandemi Covid-19 yang semula menjadi penyebab sepak bola Indonesia tiarap... dan sangat lama, akhirnya dijadikan momentum untuk memperbaiki pengelolaan sepak bola dan kompetisi di Tanah Air.

Kok bisa? Ya harus bisa, katanya. Gak mungkin kita menyerah pada keadaan dan kemudian membiarkan sepak bola Indonesia mati tanpa mencoba melakukan perubahan untuk bertahan dan menggeliat tetap menjaga kehidupan.

Belajar dari perkembangan akibat pandemi ini, seharusnya klub dapat semakin baik mengelola potensi yang dimiliki, termasuk pendataan suporternya. Kalau kini kita harus memiliki aplikasi "Peduli Lindungi" untuk dapat memasuki pusat pembelanjaan, kenapa hal yang sama tidak diberlakukan untuk memasuki stadion?

Contoh ini hanya salah satu "harapan" yang disampaikan Pak Dirut PT LIB untuk menjaga kelangsungan kehidupan sepak bola di negeri ini. Jangan melihat dan menilai situasi saat ini dengan "kaca mata normal" karena tak ada yang siap dengan pandemi ini. Namun, ketidaksiapan itu bukan berarti kematian bagi sepak bola. Semua pihak harus mau berubah dan bergerak bersama mencoba sesuatu yang cocok untuk dilakukan.

Wawancara Dirut PT LIB

Hal lain yang seru dalam perbincangan kami adalah soal "keberanian" Akhmad Hadian Lukita menghadapi netizen sepak bola Indonesia.

Keberanian? Ya, bukan rahasia lagi bila netizen +62 terkenal dengan "penghakiman" dan "keberanian" berpendapat. Walau, terkadang pendapat disampaikan dengan cara yang tidak elok atau kurang memahami persoalan sesungguhnya. 

"Ada kritikan, masukan, tapi juga ada hinaan yang gak pantas disampaikan. Apalagi usia saya jauh lebih tua dari netizen yang menyampaikan sikapnya," kata Akhmad Hadian Lukita.

Dalam bermain media sosial, jari-jari adalah milik kita dan seharusnya dalam penguasaan kita. Apapun yang disampaikan lewat tarian jemari itu hendaknya dapat dipertanggungjawabkan dan memperlihatkan nilai-nilai kehidupan yang kita miliki.

Menikmati sepak bola di era pandemi harus membawa kita pada fase "hidup ini sedang dalam perubahan". Apakah kita ikut bermain dan berperan dalam perubahan itu atau kita hanya menjadi korban perubahan lalu kehilangan pegangan? Jangan sampai ah!  @Weshley Hutagalung


Tuesday, July 13, 2021

Gianluca Vialli di antara Kanker, Persahabatan, dan Pesta Italia

Publik mengenalnya sebagai pemain yang besar dan melegenda di Sampdoria. Lalu, mencatat rekor pemain termahal di Juventus. Plus, dicintai di Chelsea. Namanya Gianluca Vialli.

Masih ingat 'kan dengan Gianluca Vialli? Penikmat sepak bola era 1980 dan 1990-an harusnya sih mengenal striker asal Italia ini. Ia kemudian didentik dengan gaya kepala plontos di lapangan hijau.

Kata orang Italia, Gianluca Viali adalah simbol pertahanan yang tangguh, orang hebat dengan hati emas. Bukan lagi membicarakan 14 gelar yang diraih saat aktif bermain sepak bola atau bisik-bisik bagaimaan ia menjadi pemain dan manajer sekaligus saat Chelsea memecat manajer mereka: Ruud Gullit.

Gianluca Vialli gantung sepatu bersama Chelsea pada akhir musim kompetisi 1998-99. Ia menjadi Manajer Chelsea hingga dipecat 12 September 2000 ketika kompetisi baru berjalan. Rumornya, Vialli bersitegang dengan sejumlah pemain, seperti Didier Deschamps, Dan Petrescu, dan rekan senegaranya: Gianfanco Zola.

Ada yang bilang, Vialli menjadi korban setelah upayanya melengserkan Ruud Gullit sebagai Manajer Chelsea... benarkah ia yang menusuk Gullit dari belakang?

November 2018, secara terbuka Vialli mengaku tengah menjalani proses pengobatan akibat kanker pankreas pada  yang didiagnosis 4 tahun lalu. Perjuangan Vialli untuk bertahan, tidak menyerah pada kondisi, menjadi perhatian. Vialli melawan, Vialli tak menyerah dan menjadi contoh masyarakat Italia... juga dunia.

Tak hanya di Italia, fans Chelsea yang terlanjur cinta dengan perubahan gaya sepak bola versi Vialli, memberikan dukungan padanya setiap Chelsea berlaga di Stadion Stamford Bridge. Mereka mendoakan Vialli agar menang melawan kanker.

Saya termasuk penonton televisi yang menikmati perubahan gaya bermain Chelsea sejak mendatangkan Ruud Gullit, lalu Gianluca Vialli, hingga Gianfranco Zola. Sepak bola di Inggris lebih "berwarna" dari sisi taktik permainan.

Saya menyukai gaya bermain Vialli akibat sering melihatnya beraksi mengenakan jersey Juventus.
Setelah bersama Mancini di Sampdoria, partner Vialli di di Juve adalah Roberto Baggio. Seolah, Vialli dijamin bersinar saat bermain bersama "Roberto".

Vialli sempat menjadi pemain termahal di dunia pada 1992 ketika dibeli Juventus dari Sampdoria seharga 40 juta lira atau sekitar 12 juta pound. Sebelum rekor itu dipatahkan Milan dengan membeli Gianluigi Lentini (13 juta pound) dari Torino di tahun yang sama.

Saat pergelaran Euro 2020 mulai ramai diberitakan, nama Gianluca Vialli kembali muncul sebagai bagian dari tim pelatih Italia yang dipimpin Roberto Mancini. Ada wujud pertemanan sejati di sana.

Sepak bola membawa Vialli pada arti persahabatan. Hubungan dekat dengan Roberto Mancini dimulai ketika mereka membela Italia U-21 dan berlanjut ketika Mancini membujuk Vialli bergabung di Sampdoria.

Duet ini kemudian dikenal sebagai "Si Kembar Gol" yang berhasil membawa kejayaan bagi Sampdoria, termasuk scudetto 1990-91 yang sempat mengantarkan Sampdoria mencapai final Piala Champions 1992 namun kalah dari Barcelona di Stadion Wembley, London.

Ketika Mancini diberikan kepercayaan menukangi timnas Italia pada 14 Mei 2018, kembali Vialli dipertemukan dengan sahabatnya itu. Setelah menjadi duta Italia untuk Euro 2020 bersama Francescto Totti pada 9 Maret 2019, November di tahun yang sama Vialli diminta oleh Federasi Sepak Bola Italia menjadi kepala delegasi timnas Italia.

Ada kegembiraan yang menjadi obat penyemangat Vialli menjalani segala upaya lepas dari kanker pankreas ini. Ia dikelilingi teman dan dunia yang sangat ia cintai.

April 2020, mantan striker ini dinyatakan bebas dan bersih dari kanker pangkreas setelah berjuang selama 3 tahun. Ia kembali fokus menggeluti dunia yang dicintai: sepak bola.

Stadion Wembley, Minggu, 11 Juli 2021, Vialli terlihat malu-malu untuk ikut berselebrasi dengan para pemain yang sudah berkumpul memegang trofi Euro. Italia mengalahkan Inggris lewat adu penalti. Vialli, yang berdiri di depan para pemain, diajak untuk berfoto bersama. Ia luap dalam kegembiraan.

"You are part of the team, Gianluca. Kamu adalah contoh pertahanan yang kuat, tak menyerah sampai kemudian melewati ujian pertandingan melawan Kanker."

Seperti Italia yang gagal lolos ke Piala Dunia 2018 dan kemudian berbenah, berjuang, tak menyerah dan akhirnya berhasil menjuarai Piala Eropa untuk kedua kali setelah 53 tahun lalu. @Weshley Hutagalung

Thursday, July 8, 2021

Alasan Kenapa Badminton Digemari dan Dicintai

Apakah cabang olahraga di Tanah Air yang termasuk rutin memberikan gelar juara? Badminton alias bulutangkis adalah salah satu jawabannya. Olahraga ini seperti menjadi harapan atau jaminan mengharumkan nama Indonesia di dunia internasional.

Siapa sih yang tak suka memainkan atau sekadar menonton pertandingan badminton? Lewat tulisan ini, saya, Erlangga Satya Wardana, mencoba mengulas sisi-sisi positif dari cabang olahraga yang populer di Tanah Air, sambil kita sama-sama berharap ada prestasi diraih atlet Indonesia di Olimpiade Tokyo 2021.

Banyak informasi yang menjelaskan manfaat olahraga badminton bagi tubuh manusia baik secara jasmani maupun rohani.  Berikut ini adalah cara pandang yang berbeda mengapa badminton alias bulu tangkis sangat baik untuk ditekuni.

1. Badminton merupakan olahraga yang sangat populer di Indonesia. Dimainkan oleh banyak orang dari semua kalangan, laki-laki dan perempuan, anak-anak hingga orang tua. Baik miskin maupun kaya, di perkotaan sampai pelosok desa. Dari sekadar bermain untuk olahraga hingga menjadi profesi atlet profesional..

2. Sejak dulu, Indonesia mampu mencetak banyak juara dunia dan terjadi  di semua sektor (tunggal putra, tunggal putri, ganda putra, ganda putri, dan ganda campuran. Prestasi juga lahir dari beregu, termasuk di tingkat Junior.

3. Kejuaraan-kejuaraan badminton tingkat dunia sangat banyak dan tingkatannya pun beragam. Ada yang sangat bergengsi seperti All England, Olimpiade, dll. Ada yang regional seperti Asian Games, Sea Games, dll. Kejuaraan dunia tingkat junior juga ada seperti di Singapore, Thailand, dll.

4. Kejuaraan-kejuaraan badminton yang di Indonesia juga termasuk banyak. Mulai dari tingkat lokal, daerah, regional, nasional, hingga International. Salah satu kejuaraan bergengsi di dunia adalah Indonesia Open,  yang merupakan kejuaraan tahunan dengan memperebutkan hadiah terbesar di Dunia.

5. Karier di dunia badminton cukup panjang karena banyak atlet-atlet Indonesia yang bisa menembus hingga level dunia (Bahkan banyak yang mencapai peringkat satu dunia).

6. Pendapatan yang diterima atlet badminton juga cukup besar. Hal ini karena bisa mendapatkan pemasukan dari: klub, hadiah, sponsor, dll. Bahkan tak sedikit mendapatkan “hadiah” dari pemerintah. Contohnya bonus uang sebesar Rp 1 milliar untuk peraih emas di Asian Games.

7. Setelah berhenti berkompetisi secara profesional, banyak juga atlet badminton yang beralih menjadi pelatih atau bekerja di pemerintahan. Tentu tak sedikit juga yang menjadi pengusaha.

8. Pelatih badminton asal Indonesia banyak dibutuhkan dan diserap di berbagai negara, seperti di Eropa, Amerika, Australia, Asia, termasuk Timur Tengah. #
Erlangga Satya Wardana

Wednesday, July 7, 2021

Di Euro 2020, Denmark Memperlihatkan Kekuatan Sepak Bola

 "Denmark sudah memperlihatkan pada dunia apa yang kami punya di Euro 2020. Tim ini membuat masyarakat Denmark  semakin dekat dan bersatu. Dukungan dari mereka tak pernah saya rasakan sepanjang karier."

Inilah ucapan kiper Denmark Kasper Schmeichel sebelum Denmark meladeni Inggris di semifinal Euro 2020. Denmark gagal melaju ke final untuk bertemu Italia setelah Inggris mendapatkan penalti dan Harry Kane berhasil melanjutkan tugasnya ketika bola tendangan pertama berhasil dibendung Schmeichel.

Sembilan penyelamatan Kasper Schmeichel di semifinal Euro 2020 tak mampu mengantantar Denmark ke partai final lolos dari hadangan Inggris. Tapi, pencapaian Denmark, negeri dengan 5,5 juta penduduk, akan dicatat dalam sejarah bangsa itu... dan kita pun akan mengingatnya.

Ketika Christian Eriksen kolaps di pertandingan melawan Finlandia dan Denmark kalah 0-1 di Kopenhagen, seolah langkah Tim Dinamit ini akan terseok-seok di Euro 2020. Kekalahan kedua diterima dari Belgia, skor 1-2. Namun, seiring kondisi Eriksen yang membaik, begitu pula permainan Denmark. Di awali dengan kemenangan 4-1 atas Rusia.

Seperti pernyataan Kasper Schmeichel, apa yang diperbuat timnas Denmark sangat dihargai oleh masrayakatnya. Mereka bangkit, mencapai babak 16 besar dan mengalahkan Wales 4-0. Kemudian, Denmark menyingkirkan Republik Ceska di perempat final (2-1).

"Cinta dan kasih sayang seluruh penduduk Denmark seperti memberikan kami sayap," begitu kata pelatih Denmark, Kasper Hjulmand.

Cinta itu membuat seluruh pemain Denmark tampil dengan kesungguhan hati, mewakili seluruh rakyat, dan membuat mereka percaya diri.

Kegagalan Denmark dari Inggris di semifinal bukan berarti menyudahi situasi positif yang saat ini terbangun di negera mereka.

Lewat Denmark, sepak bola membuktikan kembali kekuatannya. Penduduk Denmark bersatu, menumpahkan cintanya kepada mereka yang berjuang mengharumkan nama bangsa. Ketika ada rekan yang membutuhkan, semua anggota tim merasakan dan memberikan bantuan. @Weshley Hutagalung

Friday, June 25, 2021

Belajar dari Bayang-bayang Kegagalan 25 Tahun Gareth Southgate

Forget the mistake, remember the lesson. Ungkapan ini mengingatkan saya pada Gareth Southgate, pelatih tim nasional Inggris.

Ketika Inggris dipastikan bertemu Jerman di babak 16 besar Euro 2020 dan bermain di Stadion Wembley, sontak ingatan melompat jauh ke tahun 1996. Nama Gareth Southgate pun muncul.

Ya, 25 tahun lalu, Inggris yang menjadi tuan rumah Euro 1996 gagal mencapai final karena langkah mereka dihentikan Jerman di semifinal. Setelah bermain 1-1 hingga perpanjangan waktu, laga harus ditentukan lewat adu penalti.

Nah, di sinilah nama Gareth Southgate "melegenda". Sebagai eksekutor ke-6, setelah semua 5 penendang penalti kedua tim sukses melakukan tugasnya, Southgate menjadi orang ke-6.

Tendangan Southgate berhasil diblok kiper Jerman, Andreas Koepke. Setelah itu, Andreas Moller berhasil melakukan tugasnya. Jerman pun melaju ke final dan mengalahkan Republik Ceska 2-1.

Southgate bukan satu-satunya pemain Inggris yang gagal mengekseksi penalti di turnamen. Ingat Euro 2012 ketika Ashley Young dan Ashley Cole gagal melakukan tugasnya di perempat final melawan Italia?

Atau Euro 2004 yang memunculkan nama David Beckham dan Darius Vassell yang gagal dalam duel penalti melawan Portugal di perempat final?

Tapi, karena kegagalan Southgate itu terjadi saat Inggris menjadi tuan rumah di Euro 1996, seolah hanya namanya yang identik dengan kegagalan penalti timnas Inggris. Apes.

Southgate Euro 1996 (SkySports)
Tahun lalu, 24 tahun setelah kegagalan penalti itu, dalam sebuah wawancara dengan keluarga istana Inggris, Pangeran William, Southgate mengaku masih dihantui bayang-bayang kegagalan itu. Waduh.

Bayangkan apa perasaan Southgate selama ini sejak kegagalan itu. Apakah ia bisa tidur nyenyak setiap mengingat atau melihat dokumentasi Euro 1996? Lalu, 25 tahun kemudian, Southgate menjadi pelatih Inggris menjamu lawan yang sama, Jerman, dan di tempat yang sama dalam 16 besar Euro 2020.

Forget the mistake, remember the lesson. Ya, nasihat ini adalah menu dan vitamin bagi Southgate untuk keluar dari bayang-bayang kegagalan itu dan memulai sejarah baru lewat torehannya sebagai pelatih.

Bukan berarti kita melupakan kesalahan dengan maksud tidak pernah terjadi, melainkan jangan terkungkung alias terpenjara karena kesalahan tersebut. Bahaya kalau kemudian kita dikuasai ketakutan saat harus mengambil tindakan atau keputusan.

Melangkah itu berarti maju. Begitu pula maksudnya "forget the mistake". Seperti yang dilakukan Southgate. Pengakuan yang dilakukannya tahun 2020 adalah sebuah langkah besar dan menjadi modal untuk melakukan hal baik di kemudian hari.

Bukan lagi soal hasil di lapangan sepak bola, melainkan kelegaan dan keberanian Southgate keluar dari trauma yang membuatnya menjadi sumbu kekecewaan seluruh rakyat Inggris 25 tahun lalu. @Weshley Hutagalung

Sunday, May 30, 2021

N'Golo Kante, Sosok yang Dicari Real Madrid Setelah Membuang Claude Makelele

"Dia melakukan segalanya bagi tim. Energi yang dia berikan, cara dia membawa bola ke depan, sungguh Kante itu pemain spesial. Dia meraih gelar juara dunia, Premier League, tapi sangat rendah hati. Dia bagian penting dari tim."

Pujian kapten Chelsea di final Liga Champoins 2021, Cesar Azpilicueta, terhadap N'Golo Kante adalah salah satu (mungkin) dari jutaan pengakuan terhadap peran sang gelandang asal Prancis ini.

Masih ingat Patrick Vieira? Mantan gelandang Prancis yang pernah memperkuat Arsenal dan Manchester City di Premier League ini menjadi salah satu technical observer di UEFA. Ia ikut memilih Kante sebagai man of the match di final Liga Champions 2021.

"Sungguh Kante memberikan dampak besar di lini tengah lapangan, tanpa dan bersama bola. Duetnya bersama Jorginho sungguh baik di pertandingan final ini," ucap Patrick Vieira seperti dikutip dari situs UEFA.

Kante adalah pilar penting perjalana Chelsea meraih gelar juara Liga Champions 2021. Entah apa jadinya Kante (dan Chelsea) bila Thomas Tuchel tidak datang menggantikan peran Frank Lampard pada Januari 2021. Ya, bukankah hubungan Kante dan Lampard sempat dilaporkan tidak baik di Chelsea dan memuncak Oktober 2020?

Diskusi soal N'Golo Kante selalu membawa saya pada sosok Claude Makelele. Keduanya sama-sama berasal dari Prancis dan Makelele pun pernah membela Chelsea... setelah dibuang Real Madrid. Dibuang? Ya, saya memilih kata dibuang!

Real Madrid yang menjanjikan kontrak baru bagi Makelele tiba-tiba lupa dengan janjinya setelah mereka mendatangkan David Beckham dari Manchester United. Usaha keras pelatih Vicente del Bosque mempertahankan Makelele terbentur manajemen tim. Bahkan, Makelele disuruh segera mencari klub yang mau membelinya seharga 15 juta euro.

Makelele, dengan segala peran dan kerja kerasnya, seperti motor tak mengenal lelah bagi tim, merasa tidak dihargai Real Madrid. Chelsea menikmati jasa Makelele selama 5 musim (2003-2008).

"Bila 70 persen bumi ditutupi oleh air, sisanya akan ditutupi oleh N'Golo Kante." Perumpaan yang bombastis dari Marcel Desailly? Ini gambaran betapa besar peran gelandang bertahan seperti Kante... dan juga Makelele.

Marcel Desailly, juga mantan pesepak bola asal Prancis, sangat paham kontribusi pemain seperti Kante. Ketika pemain lain berpikir untuk mencetak gol atau menghentikan bintang lawan, pemain seperti Kante masuk ke lapangan dengan tujuan membuat nyaman kerja rekan-rekan setim dan menjadi "pekerja kotor pertama" dalam merusak strategi lawan.

Kembali ke Makelele. Ketika Real Madrid memutuskan melepas Makelele ke Chelsea pada musim panas 2003, tahu apa kata pelatih The Blues ketika itu? "Makelele akan menjadi baterai permainan tim." Pujian Claudio Ranieri terhadap peran penting Claude Makelele berlanjut di era Jose Mourinho.

Kualitas Makelele menjaga keseimbangan dan lini tengah Chelsea membuat pemain seperti Didier Drogba, Arjen Robben, Frank Lampard, hingga Joe Cole nyaman mengeluarkan kemampuan terbaiknya.

Di kubu Real Madrid, kehilangan Makelele disadari dengan susahnya mereka menjadi pengganti sepadan di lini tengah untuk menjadi poros penyeimbang Los Galacticos. Dari Thomas Gravesen, Pablo Garcia, Javi Garcia, Emerson, Fernando Gago, Mahamadou Diarra, hingga Michael Essien dan Sami Khedira. Tak ada yang bisa menggantikan peran Makelele.

Bahkan, kalau dihitung hingga kedatangan Casemiro dan Lucas Silva tercatat Real Madrid sudah membeli 15 gelandang bertahan setelah mereka menjual Claude Makelele ke Chelsea. Entah apa alasan melepas Makelele. Apakah benar "tampilan" Makelele tidak cocok untuk kemewahan tim Los Galacticos?

Bila menghitung tampilan untuk keperluan marketing, N'Golo Kante pun tidak masuk standar Real Madrid. Serius! Tapi, saya yakin 1.000 persen kalau seandainya Kante mau pindah, Real Madrid akan menjadikannya pemain mahal dengan gaji super-duper wah.

Di Chelsea, untuk musim 2020-2021, N'Golo Kante ada di urutan ke-6 pemain bergaji tertinggi. Kante menerima gaji 7,5 juta pound (Rp 152 miliar) per tahun atau 144.231 pound (Rp 3 miliar) per minggu.

Lima pemain di atas Kante adalah Ben Chilwell (9,8 juta pound per tahun), Timo Werner (8,8 juta), Christian Pulisic (8,2 juta), Kepa Arrizabalaga (7,8 juta), dan Cesar Azpilicueta (7,540 juta).

Di laga final Liga Champions 2021, kembali Kante, yang menjadikan Makelele sebagai gurunya, memperlihatkan penguasaan lapangan yang brilian untuk menggerakkan rekan setim dalam membalas serangan Manchester City.

Di Estadio do Dragao, Porto (Portugal), seolah tak ada kata berhenti bagi Kante untuk terus berlari mengisi ruang lini tengah dan mengunci lawan, termasuk Kevin De Bruyne. Tak banyak pemain yang mau tampil seperti Kante yang terus bekerja dan tidak mencari pujian.

Di Chelsea, N'Golo Kante masih bisa terus belajar dan berkomunikasi dengan "gurunya" Claude Makelele yang kini bekerja sebagai technical mentor di tim akademi Chelsea.

Pertanyaannya, di usia 30 tahun, titik krusial pemain profesional mengambil keputusan, apakah Kante bakal mencoba keberuntungan di luar Chelsea? Atau menjalani kontrak hingga selesai 30 Juni 2023? @Weshley Hutagalung

Friday, April 23, 2021

Pemain Sepak Bola Terjepit di antara ESL dan UEFA

Wacana menggelar European Super League kini berstatus "standby". Itu menurut Presiden Real Madrid, Florentino Perez. Lalu, apakah kericuhan sepak bola di Eropa selesai? Tunggu, format baru Liga Champions bisa menjadi mimpi buruk lain bagi pemain.

Di bagian pertama tulisan saya, pemaparan pemasukan klub yang terganggu selama 2019 dan 2020, serta deretan jumlah utang para klub pencetus Liga Super Eropa seolah menjadi alasan ketika pandemi seperti tak berujung. Emangnya cuma 12 klub itu doang yang keuangannya babak-belur?

Kalau UEFA tak bisa memuaskan para elite klub Eropa itu, apakah wajar bila mereka melirik "rumah baru" yang menjanjikan memberikan kenyamanan lebih?

Dengan gertakan UEFA dan FIFA bahwa pesepak bola yang mengikuti European Super tak boleh tampil di Liga Champions/Liga Europa serta Piala Eropa dan Piala Dunia, sebenarnya pertarungan itu membunuh pemain.

Sepahaman saya, tak ada pesepak bola di dunia ini yang tak ingin membela tim nasional dan bermimpi tampil di Piala Dunia. Setuju kan?

"Kompetisi baru harus digelar untuk memastikan kesehatan finansial olahraga ini. Pada saatnya, kami akan bercerita banyak alasan menggelar Liga Super Eropa." Begitu kata Presiden Barcelona, Joan Laporta, pada TV3 di Barcelona.

Sekali lagi, apakah pandemi (dan sebelum pandemi) kesulitan keuangan itu hanya dirasakan klub-klub elite?

Pertanyaan berikut muncul: "Kenapa kompetisi yang hanya menyertakan 12 klub, plus 3 yang disebut akan menyusul, serta 5 pendatang bergantian, dilakukan diam-diam dan kemudian seperti petir di siang bolong? Apakah klub seperti Osasuna di Spanyol atau Leicester City di Inggris tidak diajak atau mereka menolak?"

Kembali ke pemain di klub penggagas European Super League (ESL). Setelah menerima gertakan dari Florentino Perez dkk, kabarnya sempat muncul bisik-bisik di kubu UEFA yang balik menggertak dengan mengatakan duel semifinal antara Chelsea vs Real Madrid mungkin saja ditunda. Apakah alasannya karena kedua tim tersebut masuk kelompok ESL? Bah, untung hanya bisik-bisik.

Semifinal satu lagi juga melibatkan tim ESL, yakni Manchester City. Namun, sang lawan, Paris Saint-Germain, tidak ada dalam 12 nama awal ESL. Jadi, tak ada alasan kuat UEFA untuk menghukum Man. City yang cipratan airnya mengenai PSG. Begitu angin bertiup dari markas UEFA.

Apakah Florentino Perez and the gang berbuat seperti ini untuk menyelamatkan sepak bola Eropa secara global dari cengkeraman UEFA? Big NO sih untuk pertanyaan ini. Anggapan bahwa mereka menyelamatkan diri masing-masing lebih tepat.

Benar sih kehadiran klub-klub besar itu menjadi magnet bagi penonton dan sponsor... gak ada yang meragukan. Tapi, berlagak sebagai penyelamat klub-klub Eropa dari rongrongan UEFA... apa iya?

Sadar gerakan (gertakan) mereka mendapat tentangan dari fans sendiri, kelompok 12 bubar jalan. bahkan, owner Liverpool FC, John W Henry, sampai harus membuat video permintaa maaf kepada suporter The Reds.

Hanya, inovasi UEFA yang merombak format Liga Champions pun tidak lebih baik. Lagi, pemain seperti alat bagi pengelola untuk mendapatkan uang lebih banyak. Berapa yang diberikan ke klub, berapa yang masuk kas (petinggi) UEFA?

Dalam hati saya bertanya, "Kalau JP Morgan berani menopang kompetisi European Super League, kenapa UEFA tidak mengirimkan proposal ke sana guna memperbesar hadiah bagi klub-klub peserta kejuaraan antaklub Eropa yang mereka gelar?"

Dengan membuka tempat bagi 36 klub Eropa bermain di Liga Champions sejak 2024 dan mengubah format agar pertandingan menjadi lebih banyak, tidak adakah waktu rehat dan pemulihan semangat bagi pemain agar bisa fokus dan fresh pada tanggung jawab pekerjaannya?

Bagi kubu ESL dan UEFA pasti paham, para pesepak bola saat ini bergelimpangan kemewahan akibat transfer menggila dan gaji "wah" dari klub. Mereka tahu, kiper David de Gea menerima gaji satu miliar rupiah per hari selama di Man. United.

Tapi, dengan menambah jumlah pertandingan dalam semusim, sulit membayangkan bagaimana pelatih meracik strategi agar pemainnya selalu dalam kondisi top guna meraih kemenangan. Dengan performa buruk akibat keletihan dan gampang cedera, bukankan vonis dari manajemen dan suporter klub seperti kapak algojo pembunuh karier?

Mengikuti ESL terancam tak bisa membela tim nasional. Mengikuti UEFA bakal keletihan menjalani jumlah pertandingan. Lalu, kepentingan pemain di mana?

Apakah lebih aman bagi pemain dengan tidak membela klub penggagas European Super League dan yang tak punya peluang lolos ke Liga Champions? Uang... jangan lupa pengelola sepak bola paham, pemain juga butuh uang dalam jumlah besar dan semakin besar. @Weshley Hutagalung

Wednesday, April 21, 2021

European Super League dan Kemandiran Klub Elite

 

Sepak bola dunia heboh. Yang bikin "gaduh" segelintir klub sepak bola Eropa, cuma 12. Namun, gagasan menggelar European Super League (harusnya) membuka mata dunia. Walau, dalam 48 jam setelah dilontarkan, kompetisi kaum elite tersebut dipetieskan alias ditunda kalau tidak mau disebut dibatalkan.

Apa jadinya bila 12 klub, plus 3 yang disebut menyusul, dan 5 klub "tamu" berkompetisi sendiri, keluar dari program rutinitas yang selama ini digelar UEFA sebagai badan sepak bola tertinggi di Eropa? Apa jadinya bila dalam 48 jam itu 6 klub Inggris tidak mundur dari ESL?

Mari lihat dari perspektif penggagas ESL. Adalah masuk akal kalau mereka merasa selama ini UEFA terlalu berkuasa atas klub-klub Benua Biru. Benarkah demikian?

Siapakah pemilik Juventus? Siapkah pemilik Manchester United? Siapakah pemilik Real Madrid? Pertanyaan ini bisa diteruskan kepada 12 klub yang namanya muncul di episode pertama drama ESL. Lalu, sejauh mana UEFA berhak mengontrol kehidupan mereka?

[center]Pertanyaan yang mirip pernah saya diskusikan bersama teman-teman beberapa tahun lalu ketika sepak bola Indonesia pecah dan terjadi dualisme. [b][i]"Apakah FIFA menguasai dan mengontrol hidup dan gerak-gerik seluruh sepak bola di dunia?"

Kesimpulannya diskusi kami waktu itu adalah begini: "Kalau tak mau diatur FIFA, ya jangan bermain sepak bola memakai aturan FIFA."

]Berarti boleh dong membuat aturan sendiri? Ya silakan, selama lawan yang mau dihadapi juga bersedia mengikuti aturan baru itu. Misalnya, bermain 9 vs 9. Lama pertandingan 3 x 35 menit. Ukuran lapangan pun bisa disesuaikan. Yang penting, gak ada aturan FIFA yang dipakai.

Boleh-boleh saja. Begitu pun dengan kompetisi yang dikuasai UEFA. Tapi kalau dikaitkan dengan kompetisi domestik, apakah ada klub yang tidak mau ikut aturan federasi di negara asal? Hanya, bukan ke situ arahnya.

Mari lihat laporan keuangan 12 klub penggagas ESL dari Delloit Football Money League. Ada pembanding pemasukan klub dari 2019 dan 2020... dan benarkah pandemi Covid-19 menjadi pemicu munculnya European Super League? Jangan buru-buru percaya.

Lihat juga berapa banyak utang yang dimiliki klub-klub ESL. Tottenham merasakan momentum membangun stadion baru menjadi tidak tepat ketika pandemi datang dan enggan hilang. Lihatlah jumlah utang mereka di antara 12 klub European Super League.

 

Apakah klub-klub elite ini tidak berhak mencari jalan guna memenuhi budget yang dibutuhkan untuk mengelola klub yang demikian mahal? Kalau UEFA yang "berkuasa atas mereka" hanya memberikan uang jajan 100 perak, wajar bila mereka melirik organisasi lain yang menjanjikan uang jajan 500 perak. Karena biaya hidup mereka mahal.

Patokan mahal mungkin bisa dilihat dari anggaran Manchester United untuk membayar pemain di seluruh level tim yang mereka punya. Jumlahnya mencapai 188 juta pound atau 3,8 triliun rupiah setiap tahun... ya triliun!

Selamat pandemi, ketiadaan pemasukan dari tiket penonton jelas membuat pengelolaan keuangan organisasi karut-marut. Mereka butuh sumber-sumber alternatif untuk menjaga kelangsungan organisasi klub yang berisikan pemain-pemain bergaji mahal.

Apakah keputusan menggelar European Super League, yang kemudian dihentikan (sementara), tidak perlu melibatkan suara dan sikap pendukung klub? Tak perlu ada pandemi, ide ini pun sudah lama mereka rancang. (bersambung) @Weshley Hutagalung

Friday, April 2, 2021

Ketika Sergio Aguero Melepas Kemewahan di Manchester City

Melepas penyerang andalan selama 10 tahun yang mencetak 257 gol dalam 384 penampilan bersama klub. Bakal seperti apa Manchester City tanpa Sergio Aguero? Atau seperti apa karier dan kehidupan Aguero setelah musim 2020-2021?

Kalau ditanyakan kepada Anda, siapa 5 legenda Manchester City... apakah jawabannya akan secepat ketika diminta menyebut legenda Manchester United?

Mungkin, warga Inggris yang menjadi fans Manchester City turun-menurun, menyebut 5 legenda klub tidaklah menjadi permasalahan. Tapi, beda ceritanya kalau pertanyaan diarahkan kepada fans sepak bola di Indonesia secara umum.

Apakah Sergio Aguero termasuk ke dalam kelompok legenda Manchester City? Bagi penikmat Liga Inggris sejak era Premier League, bisa jadi Aguero ada di antara nama Vincent Kompany, David Silva, atau Shaun Wright-Phillips?

Menarik melihat keputusan manajemen Manchester City tidak lagi menawarkan kontrak baru kepada Sergio Aguero. Kontrak striker Argentina berusia 32 tahun ini memang berakhir 30 Juni 2021. Ia bergabung bersama Man. City sejak 28 Juli 2011 dari Atletico Madrid.

Kepada media massa, Pep Guardiola tak yakin mereka mampu membeli striker baru dengan harga "wah" untuk mengisi posisi Sergio Aguero. Kata Pep, semua klub saat ini berjuang untuk bertahan akibat pandemi Covid_19.

Melepas Aguero tapi tak yakin dapat membeli Erling Haaland dari Boruss Dortmund? Kabarnya, agen Haaland, Mino Raiola, mematok angka 150 juta euro bagi klub peminat striker Norwegia itu. Nah, kenapa melepas Aguero? Apakah karena gajinya tak sebanding lagi dengan kontribusi di lapangan?

Lalu, klub mana yang menjadi pelabuhan Aguero berikut? Yang pasti, kemewahan dan sorotan perhatian yang selama ini didapat Aguero akan berbeda. Termasuk gajinya yang mencapai 230.135 pound atau sekitar 4,6 miliar rupiah per minggu... ya seminggu!

Usia 32 tahun memang belum bisa terbilang uzur bagi pemain sepak bola profesional yang paham menjaga pola hidup. Ceritanya berbeda bila si pemain dihajar cedera tak berkesudahan. Atau terpuruk dalam dunia malam dengan segala perangkapnya.

Berapa lama lagi Aguero akan bermain di level atas sepak bola? Putaran hidup itu akan dengan cepat bergerak bila Aguero gagal menerima kenyataan ia tak lagi ada di zona "mewah" sepak bola setelah dilepas Manchester City.

Bukankah kehidupan itu merupakan putaran dari kebahagiaan, kesedihan, masa kejayaan, dan fase pergumulan? Ketika Aguero harus bergumul memasuki masa sulit setelah dilepas Manchester City, yang dibutuhkannya adalah keyakinan bahwa dirinya belum habis... juga menerima dan beradaptasi dengan perubahan yang akan dihadapinya.

Dalam roda kehidupan, perjalanan Sergio Aguero di Manchester City akan berakhir musim 2020-2021. Namun, ia akan memulai petualangan berikut dengan pertanyaan: "Apakah Aguero siap memasuki fase kehidupan yang baru?" Lalu, bagaimana dengan kita? @Weshley Hutagalung

Thursday, March 25, 2021

Setelah Duel "Ecek-ecek", Bagaimana Perkembangan Catur Indonesia?

Siapa yang rutin mengikuti perkembangan catur? Siapa yang rutin mengikuti berita-berita dari cabang olahraga ini? Mereka yang menjawab "bukan saya" kemudian akrab dengan nama Dewa Catur, Dadang Subur, Irene Sukandar, dan tentu saja Dedi Corbuzier.

Bukan sepak bola atau bulu tangkis, adalah catur yang sontak menjadi cabang olahraga pembicaraan publik +62. Popularitasnya menjulang seiring "drama"  perseteruan Dewa Kipas dan Gotham Chess oleh sang penulis: Ali Akbar.

Terlepas dari kesuksesan Ali Akbar memainkan skenario duel sang ayah, Dadang Subur alias Dewa Kipas dengan Gotham Chess. Terlepas dari berhasilnya Dedi Corbuzier mengambil momentum diskusi publik +62. Terlepas dari bantuan GM Irene Sukandar dalam memanaskan "drama" karya Ali Akbar. Pertanyaan saya adalah: apa yang akan dilakukan pengurus catur Indonesia, PERCASI, setelah cabang olahraga binaannya ini sontak hangat dibicarakan orang banyak.

Bahkan, penonton Youtube Dedi Corbuzier yang mencapai lebih dari 1,2 juta orang saat me-live-kan duel "ecek-ecek" antara GM beneran dan tokoh Dewa Kipas di dunia maya, mengalahkan popularitas sepak bola. Maaf, saya memakai istilah duel "ecek-ecek".

Catur jadi tenar. Seolah sepak terjang Dewa Kipas sejajar dengan Utut Adianto, pecatur andalan kita yang sekarang duduk di kursi dewan terhormat di Senayan.

Apakah tayangan live duel Dewa Kipas vs Irene Sukandar di channel Youtube milik Dedi Corbuzier pada Selasa, 22 Maret 2021 adalah bagian dari strategi marketing PERCASI, sebagai rumahnya catur di Tanah Air?

Kalau benar itu adalah silent operation PERCASI untuk mengangkat pamor catur, saya salut dan acungkan 2 jempol. Saya kagum karena Irene mau "mengorbankan" nama baik dan mempertaruhkan gelar Grand Master yang ia miliki untuk melawan pecatur, yang kemudian oleh banyak pihak disebut jauh dari kelayakan berhadapan dengan atlet profesional seperti Irene.

Semua demi mengangkat pamor olahraga catur di Tanah Air. Tapi, apa iya PERCASI mau mengorbankan Irene melawan pecatur yang oleh Kristianus Liem (Kepala Bidang Pembinaan dan Peningkatan Prestasi PERCASI), disebut tidak paham filosofi bermain catur?

Bahkan, dikutip dari pemberitaaan sejumlah media di Tanah Air, Kristianus Liem mengatakan Dadang Subur alias Dewa Kipas tidak mengerti aturan main dalam permainan catur. Tentu yang dimaksud catur profesional. Kesalahan yang dilakukan Dewa Kipas bahkan dicap elementer, sangat mendasar.

Benarkah Dewa Kipas yang menerima bayaran 100 juta rupiah karena kalah duel melawan Irene, tak punya strategi bermain catur? Benarkah Dewa Kipas tak ada ide dan filosofi untuk dihadapkan pada duel melawan Grand Master dan ditonton hingga lebih dari 1,2 juta orang?

Lalu, buat apa duel itu dipanggungkan? Semua demi content? Semua karena perangkap skenario media sosial oleh putra Dewa Kipas yang bernama Ali Akbar?

Pertanyaan saya tak lagi di tataran keraguan (sinis) itu. Melainkan mengarah pada pengurus PERCASI saat ini. Ya, setelah berhasil mendapatkan perhatian publik, apa yang dimiliki pengurus untuk memanfaatkan momentum ini?

Mungkin saja ada program ke depan dengan membawa Irene Sukandar atau sang komentator imut saat duel live kemarin itu, Chelsea Monica, ke hadapan publik. Atau siapalah yang masih berstatus pecatur nasional namun punya daya tarik. Jangan sampai perhatian publik turun karena (gampang) teralihkan hal lain. Ingat, masyarakat kita berkarakter cepat lupa.

Apakah ada peluang bagi masyarakat terbuka untuk menantang Irene duel catur yang juga ditayangkan live di sebuah media dan berharap hadiah jutaan rupiah? Proses saringan pemilihan kandidat penantang pastilah dipahami pengurus PERCASI.

Adakah sponsor yang terlihat nyata di akun Youtube Dedi Corbuzier saat duel live sungguh tertarik membantu popularitas catur sehingga menjadi partner PERCASI?

Kalau Dedi bisa menggaet sponsor dan menyediakan hadiah total 300 juta rupiah untuk duel sesaat, harusnya PERCASI bisa lebih dari itu.

Kadang, momentum tidak bisa dipersiapkan. Ia muncul tiba-tiba untuk disergap lewat sebuah program. Dedi menyambar umpan yang dilambungkan Ali Akbar. Di hati saya terdalam berharap acara itu sebenarnya merupakan kerja sama antara PERCASI dan Dedi Corbuzier.

Untuk beberapa saat ke depan, rasanya kita masih akan membaca kisah-kisah lanjutan drama duel Dewa Kipas dan Irene Sukandar. Termasuk hujatan kepada Ali Akbar, sang penulis skenario. Tapi, secara program, apa yang akan dilakukan PERCASI? @Weshley Hutagalung - Jakarta, 23 Maret 2021

Saturday, March 6, 2021

Chelsea Ada untuk Memenangi Pertandingan

"Tugas saya adalah berusaha memenangi pertandingan, bukan menempatkan sejumlah pemain mahal bersamaan." Sebuah ucapan Thomas Tuchel yang patut dicatat dalam sejarah klub sepak bola Inggris, Chelsea FC.

Tulisan ini dibuat sebelum Chelsea menjamu Everton di pekan ke-27 Premier League 2020-2021. Nama Thomas Tuchel memang kini seperti wajib menjadi pembahasan atas pencapaian Chelsea.

Kalimat di awal merupakan ucapan Tuchel setelah Chelsea bermain 1-1 di markas Southampton, pekan ke-24, 20 Februari. Dalam jumpa pers, kepada Tuchel ditanyakan apakah tantangan terbesar baginya adalah membuat para pemain dengan bakat menyerang yang ada di skuat Chelsea tampil bagus.

Jawaban Tuchel seperti memperlihatkan pada wartawan bahwa ia paham arah pertanyaan. Ya, musim ini Chelsea berbelanja pemain mencapai 222 juta pound dengan sorotan pada 3 pemain "menyerang". Chelsea membeli Kai Havertz (gelandang serang, 72 juta), Timo Werner (striker, 47,7 juta), dan Hakim Ziyech (winger, 36 juta).

"My job is to win games, it's not to put some expensive guys together." Inilah kalimat yang keluar dari mulut Thomas Tuchel.

Kita dapat memahami, bagi Tuchel Chelsea adalah kumpulan pemain sepak bola yang dipersiapkan untuk meraih kemenangan. Ia tak peduli dengan harga transfer kedatangan mereka ke Stamford Bridge, maupun gaji "wah" yang diberikan manajemen klub. Apakah Tuchel berhasil "menguasai" kamar ganti The Blues?

Sejak Tuchel resmi bergabung bersama Si Biru dari Kota London, 26 Januari 2021, apa yang diperlihatkan pemain-pemain Chelsea di lapangan secara perlahan seolah membenarkan sikap manajemen klub yang memecat pelatih sebelumnya, Frank Lampard.

Kalau melawan Everton, Senin (8/3) atau Selasa pukul 01.00 WIB, Chelsea bisa mempertahankan gawangnya bersih dari gol, Thomas Tuchel akan menjadi manajer Chelsea pertama yang berhasil membawa timmya clean sheet di 5 laga kandang pertama sejak bertugas.

Di tangan Tuchel, pemain Chelsea tampil solid dan konsisten. Itulah pujian Carlo Ancelotti, manajer Everton yang pernah menukangi Chelsea (2009-2011). Tuchel tak harus menyusun starting line-up dengan memaksakan pemain-pemain baru dan mahal, atau mereka yang bergaji wah di Chelsea.

Tapi, pemain bergaji tertinggi di Chelsea, N'Golo Kante (5,7 miliar rupiah per pekan), kini seperti lahir kembali. Tuchel melihat potensi dan talenta, bukan lembaran finansial dari manajemen. Lewat sentuhan Tuchel, Kante bahkan seperti satu pemain dengan fisik 2 pria dan kebugaran prima yang tak berhenti bekerja untuk timnya.

Pemain muda, Mason Mount (22 tahun), kini dipuja-puji sebagai penerus Eden Hazard, bintang Chelsea yang digaet Real Madrid, Juni 2019. Secara struktur gaji pemain Chelsea musim ini, Mason Mount ada di urutan ke-19 dengan 1,5 miliar rupiah per pekan.

Akan seperti apa nasib Thomas Tuchel mengelola Chelsea dengan segala kemewahannya bila kemudian pemilik klub ingin melihat pemain-pemain yang dibeli mahal lebih sering diturunkan walau tidak masuk skenario tactical games sang pelatih?

Selama kemenangan dihadirkan, Tuchel bisa menjauh dari "pertarungan" melawan petinggi Chelsea seperti yang terjadi saat ia melatih klub sebelumnya, Paris Saint-Germain. @Weshley Hutagalung

Saturday, February 20, 2021

Lionel Messi, antara Pilihan dan Kebahagiaan

Seseorang pernah berkata, "Kamu bebas dalam menjatuhkan pilihan. Namun, kamu tak akan leluasa menentukan dampak dari pilihan itu." Saya terbayang Lionel Messi, FC Barcelona, Manchester City, dan Paris Saint-Germain.

Katanya, hidup itu adalah pilihan. Sejak pagi hari, kita punya pilihan untuk meneruskan tidur atau bangun dan memulai beraktivitas.

Begitu juga dalam perjalanan. Dalam mencapai tujuan, kita punya pilihan menempuh jalan yang dianggap akan lebih lancar atau memilih jalur lain dengan sejumlah alasan.

Memutuskan pilihan kerap menjadi ujian di mana level seorang atlet. Misalnya pebasket. Saat menguasai bola, ia harus memutuskan apakah akan mendribel bola, mengoper ke rekan, atau mencoba melempar ke ring lawan. Salah mengambil mengambil keputusan, siapa yang merasakan dampaknya?

Konsekuensi dari pilihan kita tentu memiliki risiko. Bahkan, dampaknya tidak hanya dirasakan sendiri, banyak orang harus ikut menanggung akibat dari pilihan kita itu. Seperti halnya Lionel Messi. Bisa membayangkan perasaan fans Barcelona yang menunggu keputusan Messi?

Setelah batal keluar dari FC Barcelona di akhir musim 2019-2020, apa keputusan yang akan diambil Lionel Messi setelah Liga Spanyol 2020-2021 kelar?

Tentu Messi punya beberapa opsi, walau yang mencuat ada 3. Pertama, bertahan di Barcelona. Kedua, memilih Paris Saint-Germain di Prancis. Ketiga, mengikuti panggilan Pep Guardiola di Manchester City.

Memutuskan sebuah pilihan bisa berarti mengembangkan dan memaksimalkan potensi yang kita miliki. Di manakah Messi akan terus mengembangkan talenta yang ia miliki?

Memiliki berbagai pilihan tentu berarti punya kesempatan membangun harapan yang lebih baik. Tak mungkin Messi mengambil keputusan kalau bukan karena ingin membawa ia dan keluarganya kepada kehidupan yang lebih baik.

Apapun keputusan Messi, ia tentu memperhitungkan dampaknya. Bertahan di tempat ia menjadi "raja" ketika merasa sudah tercukupi segalanya atau keluar dari zona nyaman dan memilih kehidupan baru dengan menguji kemampuan beradaptasi demi sebuah tujuan bernama: kebahagiaan! @Weshley Hutagalung

Tuesday, February 16, 2021

Liverpool Terkapar Bukan Pilihan

Juara bertahan Premier League kalah 3 pertandingan beruntun! Bukan hal biasa, tetapi bukan berarti putus asa. Begitu pesan yang ingin disampaikan Juergen Klopp, arsitek tim Liverpool FC.

Setelah kalah 1-3 di markas Leicester City (sebelumnya di Stadion Anfield kalah 0-1 menjamu Brighton & Hove Albion serta 1-4 dari Manchester City), sosok yang paling mendapatkan sorotan adalah Juergen Klopp.

Ya, manajer yang mengakhiri puasa gelar juara Liga Inggris selama 30 tahun itu seperti duduk di kursi pengadilan. Seolah, kemarau prestasi Liverpool di Premier League yang diakhiri lewat gelar juara musim 2019-2020 tak lagi menyisakan puja dan puji bagi Klopp.

Sudah habiskah serbuk ajaib Juergen Klopp di Liverpool? Apakah tak ada lagi taktik dan strategi permainan Liverpool yang mengejutkan lawan? Tekanan terhadap kepemimpinan Klopp diikuti dengan sejumlah dukungan.

Setelah kekalahan dari Leicester City pada Sabtu (13/4/2021), muncul spanduk-spanduk mendukung keberadaan Klopp di sekitaran Stadion Anfield.


Reaksi Klopp? Sungguh menarik. Ia mengaku berterima kasih atas spanduk dukungan itu, namun menurutnya hal tersebut tak perlu dilakukan. Bagi Klopp, saat ini bukan dia yang butuh dukungan khusus.

Juergen Klopp bersikeras, hal terakhir yang ingin ia lakukan ketika tim sedang terpuruk adalah curhat pribadi ketika sedang melakukan jumpa pers bersama tim.

"Ya, Liverpool sedang mengalami masa berat. Namun, kami selalu menyelesaikan masalah tim sebagai sebuah keluarga, 100 persen begitu!" Sebuah ucapan tegas dari Klopp saat jumpa pers seperti diberitakan BBC.

Liverpool jelas bukan tanpa masalah ketika hasilnya sangat buruk. Pilar-pilar di pertahanan cedera, dan Klopp memainkan variasi komposisi yang harus diakui belum menemukan ritme dan komunikasi yang pas... termasuk bagi kiper Alisson Becker.

Menang sebagai tim, kalah pun sebagai sebuah tim. Bukan nasihat yang baru, namun kerap dilupakan saat kekejaman olahraga menggerus yang namanya "kepercayaan dan kesabaran".

Tak ada pelatih yang mau melihat tim asuhannya terpuruk berkepanjangan. Begitu pula para pemain, kekalahan adalah sesuatu yang sangat dihindari di laga berikut. Ada tanggung jawab profesional, termasuk menjaga harapan dan kegembiraan yang ada pada seluruh pendukung Liverpool di dunia.

Mengalami kejatuhan adalah sebuah kecelakaan. Bila kita memilih nasib akan selalu jatuh dan terkapar, jelas itu sebuah pilihan. Liverpool bakal berhasil bangkit? Waktu yang akan memberikan jawabannya. @Weshley Hutagalung